Pendampingan Modifikasi Perilaku untuk Pelaku Bullying

Stefani Virlia MPsi

Stefani Virlia MPsi
Perilaku perundungan atau bullying masih saja terjadi. Tak hanya dilakukan orang dewasa bahkan usia anak – anak dan dewasa juga seringkali mendapatkan perilaku perundungan. Banyak faktor yang mendukung perilaku ini.
Salah satu diantaranya karena lingkungan dan tontonan yang berbau kekerasan. Selain itu, budaya Ospek di jenjang SMP, SMA hingga perkuliahan yang berbau kekerasan dan instruksi punishment juga menjadi salah satu penyebabnya.
Maka Pakar Psikologi Klinis Universitas Ciputra (UC) Stefani Virlia MPsi Psikolog menuturkan, perlunya konseling dalam bentuk modifikasi perilaku bagi pelaku perundungan. Cara ini sebagai usaha untuk menerapkan proses belajar maupun prinsip – prinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku. Namun, ketika pelaku memasuki usia dewasa ini menjadi sulit dilakukan.
“Dalam modifikasi perilaku kita ada berberapa pendekatan yang dilakukan. Bisa melalui positive reinforcement. Pendekatan ini akan memasangkan stimulus positif dengan perilaku. Atau bisa juga menggunakan negative reinforcement pasangan antara perilaku tertentu dengan penghilangan stimulus yang negatif,” jelas Stefani.
Perempuan kelahiran Jakarta 15 September 1988 ini menjelaskan, beberapa kasus perundungan yang melibatkan anak – anak atau remaja yang berstatus pelajar harusnya membutuhkan kerjasama intens dan solid dari sekolah dan keluarga agar kasus ini tak terjadi. Pasalnya, kasus perundungan yang terjadi di lingkup satuan pendidikan seperti Malang dan Jakarta cenderung ditutupi. Namun sebaliknya, seharusnya hal tersebut segera ditangani.
“Bagi korban perudungan untuk bersuara ini agak sulit dan cenderung menutup diri. Karena biasanya korban mengalami ini berkali-kali. Ini bisa menimbulkan depresi pada korban yang juga mempengaruhi perilakunya,” katanya.
Dalam kondisi ini, orang tua, guru dan teman terdekat harusnya bisa menangkap signal perubahan perilaku korban. Karena orang depresi biasanya membatasi kontak dan menganggap dirinya tidak berharga. Paling buruk dampaknya bisa berakibat pada bunuh diri. Sehingga jika sudah mengalami hal itu korban butuh pemulihan trauma. Karena bisa jadi mereka tidak mau sekolah lagi karena takut dan cemas.
Maka salah satu pencegahannya, Kepala Program Studi Psikologi UC ini menekankan pada pendidikan karakter yang harus diterapkan sejak usia dini. Atau sejak mereka mampu mengidentifikasi perilaku benar dan salah.
“Di mana mereka diajarkan atau dilatih untuk memiliki sikap empati pada teman dan pengembangan diri. Ini upaya preventif yang lebih pada eduksi dan akan terbawa sampai dewasa. Apalagi anak usia dini belajar lewat observasi dan role model orangtua mereka. Sehingga mereka akan meniru sesuatu yang positif dan terbawa hingga dewasa,” tandasnya. [ina]

Tags: