Pendar Sayu Mahasiswa Negeriku

rizka-alifahOleh :
Rizka Alifah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang

Mahasiswa dikenal sebagai kesatuan aksi penggerak perubahan dengan pengaruh terbesar dalam sebuah negara. Didukung dengan kekuatan fisik, nalar rasionalis, akhlak agamis, kapasitas keilmuan ideologis dan kritis sosial, mereka diharapkan mampu menjadi penyambung lidah rakyat dalam meluruskan langkah pemerintah. Maraknya isu-isu ketidakberesan lakon para aktor politik di atas panggung pemerintahan merupakan mangsa pokok bagi mahasiswa. Dalam prakteknya sejarah telah mencatat kontribusi aktif mahasiswa dalam berbagai momentum besar yang pernah terjadi.
Pernyataan tadi bukanlah sesuatu yang tidak berdasar, melainkan dengan melihat kiprah yang telah dilakukan mahasiswa. Maka, sesungguhnya mahasiswa layak menyandang leader of change. Setidaknya ada dua alasan fundamental yang mampu membuat mahasiswa menyandang gelar demikian. Alasan pertama, mahasiswa memiliki kadar keilmuan serta kesempatan memperoleh informasi lebih baik dan komprehensif dibanding masyarakat pada umumnya. Ditambah dengan kekuatan fisik yang masih prima. Karenanya mereka mampu menjadi identifikator perdana virus-virus yang berjangkit di ranah sosial politik.
Alasan kedua, waktu kuliah maksimal hanya menyita 20% dari keseluruhan waktu aktif yang mereka miliki. Mayoritas dan normalnya mereka juga belum disibukkan dengan kewajiban mencari nafkah atau mengabdikan diri dalam masyarakat. Peluang tersebut digunakan sebagai ajang menghimpun massa untuk mendiskusikan rencana-rencana pergerakan serta aksi revolusioner. Sebagai bentuk aplikasi akademik yang telah mereka peroleh sebelum terjun dalam masyarakat yang sesungguhnya.
Selain itu, mahasiswa mampu menempuh jenjang pendidikan di bangku kuliah yang sebagian besar biayanya berasal dari pemerintah. Namun dalam konteks ini pemerintah hanyalah sebagai penghimpun dana dari masyarakat. Dan lebih miris karena dalam prakteknya berlaku hukum “Si miskin dijerat wajib pajak, si hakim diminta wajib diam, si penguasa terpilih dituntut wajib balik modal, sementara pemerintah hanya tenang tutup mata”. Sehingga disini jelas kemanakah seharusnya pembelaan mahasiswa berkiblat.
Sejarah adalah sejarah, yang tidak mungkin terulang lagi dengan kejadian yang sama persis untuk kedua kalinya. Dengan kata lain, eksistensi mahasiswa harus terjadi kembali sebagai entitas yang lebih besar atau perlahan hilang sama sekali. Dari dua alternatif prediksi tersebut, mahasiswa justru seakan berjalan menuju pilihan kedua dengan menunjukkan degradasi kualitas keilmuan dan moral. Para aktivis kampus menunujukkan sikap yang mengecewakan, tidak jarang dari mereka bahkan menyalahgunakan posisinya sebagai alat tawar-menawar dengan pihak-pihak tertentu demi keuntungan pribadi.
Realitas ini menjadikan mahasiswa sulit untuk kembali menghimpun kekuatan dan melakukan gerakan-gerakan besar.Terakhir mahasiswa Indonesia dengan gerakan besarnya nampak pada tahun 1998 saat menjatuhkan rezim orde baru dan menggantinya dengan revolusi. Setelahnya belum nampak lagi gerakan besar mahasiswa dengan volume penuh serta membawa dampak yang signifikan. Berandai-andai jika menginginkan hasil yang signifikan, karena bahkan terlihatpun tidak. Hal ini dikarenakan gerakan mahasiswa Indonesia bersifat separatis dengan latar belakang isu yang berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing golongan. Terkadang perbedaan kepentingan tersebut justru berbenturan dan menjadi bumerang yang saling melemahkan satu sama lain.
Di samping itu, tuntutan peradaban telah menyulap mahasiswa menjadi generasi hedonis. Alat komunikasi dan style kekinian beralih fungsi sebagai hal primer dalam perkuliahan. Mereka berdalih kedua hal tersebut mampu membantu mengakses ilmu pengetahuan dan informasi tentang disiplin ilmu yang mereka ambil. Namun untuk selanjutnya, kepentingan itu dinomorduakan setelah dunia maya. Mayoritas mahasiswa sekarang adalah aktivis berbagai group di whatapps, facebook, instagram dan lain sebagainya. Karenanya waktu mereka habis untuk update di depan layar smartphone masing-masing.
Sikap hedonis tersebut pada akhirnya telah memudarkan sikap kritis mahasiswa-baik terhadap kepedulian sosial dan melek terhadap politik. Selain itu, kurangnya wawasan yang bersumber dari rendahnya kualitas dan kuantitas bacaan mahasiswa, kian melumpuhkan minat mahasiswa untuk bergerak. Dunia aktivisme telah kehilangan wibawanya. Jika ada sebagian kecil mahasiswa yang bergerak, maka bisa dipastikan 80% diantaranya adalah para aktivis yang kurang memahami hakikat gerakan mahasiswa. Keikutsertaan mereka tidak lain hanyalah sebagai formalitas belaka. Mahasiswa hari ini telah kehilangan jati diri sebagai kader bangsa. Padahal di pundak mereka memikul beban berat yakni harapan besar ummat sebagai penerima estafet tampuk kepemimpinan berbangsa.
Seandainya mereka tersadar akan kepentingan ini, dan tergerak untuk melakukan tindakan konkret pengontrolan, maka pemerintah akan membuat pertimbangan ribuan kali dalam pengambilan sebuah keputusan yang sekiranya akan membebani masyarakat luas. Karena itu, dipandang perlu mengembalikan mimpi-mimpi besar mahasiswa agar selaras dengan harapan masyarakat. Namun bukan hanya sekadar bermimpi besar dengan bukti beradu lisan di kampus. Akan tetapi, mimpi tersebut juga harus disertai kekuatan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Wallahu a’lamu bi al-shawab.

                                                                                                         ————– *** —————

Rate this article!
Tags: