Penderita Pedofilia di Jatim, Diobati atau Diberangus

SONY DSCSurabaya, Bhirawa
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) menjadi jalan pembuka kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu dua bulan kejahatan seksual dan kekerasan fisik terhadap anak terjadi di sejumlah daerah, terutama kasus pedofilia.
Masalah pedofilia merupakan masalah yang rumit karena sampai saat ini belum ada hukuman yang dianggap setimpal meskipun di negara ini sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pelaku-pelaku pedofilia sebagian besar juga merupakan korban dari kekerasan serupa.
Lantas, penderita pedofilia apakah bisa diobati atau harus diberangus? Topik inilah yang menjadi pembahasan hangat dalam diskusi umum yang digelar di Meeting Room 2 Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Senin (9/5).
Dalam diskusi ini disepakati penderita pedofilia merupakan kecenderungan seseorang (pria/wanita) yang telah dewasa untuk melakukan aktivitas seksual berupa hasrat maupun fantasi impuls seksual dengan anak-anak.
Pada umumnya pelaku dan korban pada kasus ini sudah saling mengenal, tinggal berdekatan dan hubungan tersebut telah berlangsung lama.
Dosen Fakultas Psikologi Untag Surabaya Dra Tatik Meiyuntariningsih MKes menyebut , pedofilia merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual. “Ada beberapa faktor penyebab seseorang melakukan penyimpangan ini, diantaranya adanya kelainan neurologis, adanya pelampiasan atau dorongan, dan akibat penyalahgunaan obat dan alkohol,” tuturnya.
Ia juga menuturkan bahwa faktor lingkungan, keluarga, dan budaya juga mempunyai peran penting dalam menjadikan seseorang mengalami perilaku menyimpang ini. Seorang anak yang sering mendapatkan hukuman fisik dan mendapat kontak seksual yang agresif lebih mungkin menjadi agresif dan impulsive secara seksual terhadap orang lain disaat dewasa nanti.
Hal ini juga diperkuat oleh sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa empat dari lima penderita pedofilia telah mengalami pelecehan seksual pada masa kecilnya.
Lalu, bagaimana cara mencegahnya? Dosen berhijab ini menuturkan bahwa ada beberapa cara mencegah terjadinya penyimpangan seksual, antara lain dengan menjauhkan anak dari berbagai macam rangsangan seperti membaca buku atau menonton film dewasa dan membayangkan seseorang yang dapat menggugah gairah seksualnya, menguatkan identitas diri sebagai anak laki-laki atau perempuan, membatasi pergaulan sejenis, menghilangkan pornografi di dunia maya, serta segera menikah (bagi yang sudah waktunya).
Berbagai pencegahan telah dilakukan dan apabila aktivitas pedofilia atau penyimpangan seksual pada anak masih tetap terjadi, berarti aparat hokum hendaknya mampu menerapkan hukuman yang dapat memberika efek jera kepada pelakunya.
Anik Purwanti, dari SCCC juga menuturkan bahwa pemerintah harus menentukan hukuman yang cocok bagi pelaku pedofilia. “Hal ini harus dilakukan agar predator-predator anak yang ada di luar sana dapat merasa takut untuk melancarkan aksinya,” ujarnya.
Anik juga menuturkan bahwa pemeberian sanksi bukan saja pemberian efek jera namun juga bagaimana si pelaku dapat mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya.
“Bisa jadi hukuman diberikan hukuman 15 tahun penjara dan pemeberian terapi secara psikologi kepada pelakunya. Apabila benar-benar ingin memberantas kasus (pedofil) ini maka dibutuhkan tanggung jawab, kesungguhan dari aparat penegak hukum. Dan yang paling penting tidak ada saling lempar tanggung jawab,” ujar perempuan yang juga menjadi dosen ini. [tam]

Keterangan Foto : Diskusi seputar penanganan penderita pedofilia digelar di Universitas 17 Agustus Surabaya menyikapi maraknya kejahatan seksual terhadap anak. [tam/hirawa]

Tags: