Pendidikan Abad 21 di Tengah Pandemi

Oleh:
Yogyantoro
Pendidik. Peserta Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Pusat Penguatan Karakter, Kemendikbud Tahun 2020 di Jakarta

Ada pepatah mengatakan: “Hati-hati dengan pemikiranmu karena pemikiranmu bisa menjadi kata-katamu, hati-hati dengan kata-katamu karena kata-katamu bisa menjadi tindakanmu, hati-hati dengan tindakanmu karena karena tindakanmu bisa menjadi kebiasaanmu, hati-hati dengan kebiasaanmu karena kebiasaanmu bisa menjadi karaktermu, hati-hati dengan karaktermu karena karaktermu bisa menjadi takdirmu.” Dalam konteks pendidikan kita saat ini, kata karakter telah banyak mencuri perhatian kita sekaligus menjadi masalah klasik untuk kita semua. Karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang artinya mengukir. Sifat utama ukiran yaitu melekat kuat diatas benda yang diukir. Sedangkan dalam bahasa Inggris, karakter artinya watak. Watak tak lain adalah perilaku. Perilaku yang baik disebut dengan karakter, sedangkan perilaku yang buruk disebut juga dengan tabiat.

Kata karakter semakin populer lebih-lebih setelah pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim membentuk unit organisasi baru yaitu Puspeka (Pusat Penguatan Karakter) dalam upaya menunjang pelaksanaan program Penguatan Pendidikan Karakter. Berbicara masalah karakter, maka tidak akan jauh dari masalah proses pelatihan, pembiasaan dan keteladanan. Nadiem Anwar Makarim mengatakan bahwa jika tidak ingin ketinggalan jauh di belakang, bekali pendidikan karakter dan kemampuan adaptasi anak sejak dini. Kebijakan besar yang ditetapkan oleh Mendikbud adalah internalisasi Profil Pelajar Pancasila di seluruh satuan pendidikan. Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang model pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, campuran, pembelajaran jarak jauh (PJJ) harus tetap menanamkan nilai-nilai Pancasila. Penyederhanaan kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam kurikulum darurat tidak menjadikan target pencapaian kurikulum sebagai harga mati.

Oleh karena itu, satu tindakan nyata yang dapat dilakukan sebagai guru dan orangtua salah satunya adalah menghidupkan literasi dalam model pembelajaran PTM terbatas, campuran atau PJJ sebagai upaya menumbuhkan karakter peserta didik.

Melalui literasi siapapun akan tergerak, terinspirasi, terakselerasi dan berubah kehidupannya karena cakrawala intelektualnya akan bertambah luas. Lebih-lebih di abad 21 ini, informasi begitu mudah didapatkan dimana saja dan kapan saja. Tentunya, menanamkan 6 (enam) kemampuan literasi dasar yaitu literasi bahasa dan sastra, literasi sains, literasi TIK ( Teknologi Informasi dan Komunikasi), literasi finansial, literasi numerasi dan literasi budaya dan kewarganegaraan akan menjadi penjaga gawang lapisan utama bagi diri kita dalam menghadapi pendidikan abad 21.

Karakter dan literasi adalah komponen dasar dalam proyeksi pendidikan abad 21. Alat untuk mengembangkan keterampilan abad 21 yaitu jaringan digital, teknologi informasi dan literasi. Sementara itu, meningkatkan minat baca, terutama pada generasi Y, yang lahir setelah tahun 1980, dan generasi Z, generasi milenial yang akrab dengan dunia digital membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Ketekunan dan kesabaran dalam memberikan pendidikan karakter melalui literasi harus menjadi prioritas utama di era pendidikan abad 21 ini. Permasalahan bangsa ini akan semakin menggunung jika penyakit kronis masih terus menggerogoti jantung pendidikan kita yang ditandai dengan semakin maraknya tindakan amoral seperti rasisme, human trafficking, terorisme, penggunaan obat-obatan terlarang, kekerasan oleh siswa terhadap siswa, oleh siswa terhadap guru, oleh guru terhadap siswa, dan oleh orang tua terhadap guru. Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) melalui Profil Pelajar Pancasila memuat 18 nilai -nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang harus dimiliki oleh peserta didik seperti beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong-royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.

Guru abad 21 dapat berperan sebagai fasilitator dan pendamping dalam proses pembelajaran yang berbasis jejaring. Peserta didik sekarang dapat dengan mudah mengakses sumber-sumber referensi melalui search engine, situs repository video dan memanfaatkan electronic mail dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran abad 21 yaitu blended learning atau gabungan antara metode tatap muka tradisional dan penggunaan media online atau digital. Guru dapat memberi tugas mencari referensi dari tayangan bermutu atau mengarahkan peserta didik untuk mencari atau download tayangan yang bersifat edukatif yang bisa menambah pengetahuan dan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Guru juga dapat mengarahkan peserta didik untuk mengikuti kegiatan yang bisa mengembangkan potensi mereka melalui kegiatan membuat eksperimen dengan media digital, kelompok belajar membuat karya-karya kreatif menggunakan software yang ada, melaksanakan proyek dengan memanfatkan sosial media, mobile learning dengan menggunakan perangkat canggih seperti smartphone, ipods, komputer tablet, melakukan riset sederhana, ekstrakurikuler atau kegiatan literasi, extensive reading, membaca karya sastra baik melaui media cetak maupun online dan lainnya.

Kirpal Singh mengatakan bahwa sastra mampu mendongkrak olah rasa dan pemikiran seorang siswa sehingga bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Literature is our linguistic heritage and a powerful resource which our schools and universities don’t give enough credence to. Yang cukup memprihatinkan adalah banyaknya grup band anak muda saat ini yang mengangkat lirik dengan bahasa yang sembarangan, mengabaikan norma sastra di syair-syair mereka. Kita sebagai civitas academica harus mencintai dan membaca karya sastra yang baik dan dengan sepenuh hati. Hal ini dapat menjadikan peserta didik menjadi lebih efektif dan membenci kekerasan. (Kirpal Siggh; Literature Applied, dalam Readers Digest, November 2011). Oleh karena itu, sekolah dapat menyelenggarakan secara rutin lomba menulis dan membaca puisi serta prosa dari karya-karya Rendra, Hamka, Sanusi Pane dan sebagainya yang dapat dieksplorasi pada fungsi yang lebih jauh seperti mempresentasikannya melalui website, Youtube atau blog pribadi.

Dengan menerapkan pola pembelajaran seperti tersebut diatas berarti seorang guru telah mengembangkan karakter pembelajaran abad 21 yang meliputi 4C yaitu communication (komunikasi) yaitu mengajarkan kemampuan komunikasi yang efektif, collaboration atau kerjasama, critical thinking and problem solving sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi dan creativity and innovation yaitu kemampuan berpikir berbasis penemuan.

Akhirnya, tulisan ini penulis tutup dengan kutipan dari Alfin Toefler yang menyatakan bahwa di era ini orang buta huruf adalah orang yang tidak menguasai ICT. Globalisasi adalah a boardless world yaitu dunia tanpa batas yang menawarkan teknologi dan konektivitas. Stakeholder di dunia pendidikan baik pemerintah, praktisi pendidikan, guru, pemerhati pendidikan, pengelola sekolah, keluarga dan masyarakat umum harus mampu membaca perubahan zaman. Jika mengajari peserta didik sekarang dengan metode yang kita gunakan dulu sama artinya dengan merampas masa depan mereka. Mari optimalkan teknologi dalam pedagogi siber bagi pembelajar sepanjang hayat (life-long learner).

——— *** ———

Rate this article!
Tags: