Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Sukesi(Catatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei)

Oleh
Sukesi
Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur

Angka Partisipasi Murni (APM) anak berkebutuhan khusus masih sekitar 34,2 persen (Kemendikbud, 2016). Data itu menunjukkan, bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum tersentuh layanan pendidikan. Kondisi ini acapkali dilatari karena sikap dan pandangan orangtua yang masih menganggap bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus sebagai adalah aib. Para orangtua malu dan cenderung tertutup kalau ada anggota keluarga yang terindikasi sebagai anak yang berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus sejatinya memiliki potensi yang sama bahkan luar biasa dibandingkan dengan anak normal. Syaratnya, seluruh pihak mau mengelola dan mengarahkan anak berkebutuhan khusus. Sudah selayaknya tidak ada pembedaan pada anak berkebutuhan khusus dan anak normal. Sebab, melalui perlakuan yang sama, anak berkebutuhan khusus mampu berprestasi. Lantaran itu, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus jangan pernah merasa malu.
Pendidikan merupakan salah satu dasar bagi anak sebagai golden ticket untuk tumbuh dan berkembang juga berpartisipasi, termasuk anak berkebutuhan khusus.   Berdasarkan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional maka setiap masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang sama, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 32  disebutkan bahwa: Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi para peserta didik yang memilki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial. Ketetapan dalam Undang-Undang No 20/2003 tersebut sangat memiliki makna yg kuat bagi pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan sebagai salah satu hak asasi anak.
Dalam Pasal 2 Amandemen ke empat Undang-Undang Dasar 1945 juga disebutkan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, begitu juga dalam pasal 4 yang berbunyi Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pendidikan Inklusi
Secara khusus, pendidikan inklusi sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009. Aturan tersebut menyatakan seluruh sekolah di provinsi ataupun kabupaten/kota wajib menyediakan pendidikan inklusi. Pendidik inklusi harus tersedia di tingkat SD, SMP, dan SMA. Namun, pada prakteknya, masih banyak guru yang canggung saat kedatangan Anak Berkebutuhan Khusus.  Upaya yang terus menerus terhadap anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan keberanian anak dalam berkreasi dan meningkatkan imajinasi siswa. Sekaligus menanamkan sikap sportivitas dan berkompetisi yang sehat.
Sangat jelas dan terang benderang semua yang menyangkut tentang aturan yang dibungkus dengan baik ke dalam Perundang-Undangan tentang masalah pendidikan anak berkebutuhan khusus termasuk masalah pembiayaannya. Dalam masyarakat yang tingkat integrasi dengan sistem hukumnya tinggi maka akan memiliki pengetahuan hukum yang relatif baik, merasa bahwa hukum itu ada dan mewakili kepentingan mereka, dan percaya bahwa sistem itu dapat dijadikan sandaran untuk mencapai keperluan  akan kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan.
Pendidikan inklusif akan memberikan hak pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pembangunan pendidikan nasional diarahkan untuk mengembangkan seluruh potensi kecerdasan manusia secara komprehensif dan holistik mencakup tiga aspek, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Bercampurnya anak yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik dalam lingkungan sekolah inklusif diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian, kerja sama, dan saling menghargai perbedaan. Melalui pendidkan inklusif, para guru dan kepala sekolah diharapkan lebih kreatif dan berinovasi untuk bisa melayani serta menyelenggarakan pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik yang beragam tersebut.
Gerakan inklusisf telah dimulai sejak tahun 2012. Sampai saat ini sembilan provinsi menjadi provinsi pendidikan inklusif, yaitu Kalimantan Selatan, Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat dan Bali.
Melalui program tersebut mampu menjangkau simpul-simpul anak yang sulit mendapatkan layanan pendidikan regular, seperti anak yang tinggal di pinggir hutan, anak jalanan, anak di daerah terpencil dan anak-anak di daerah perbatsan, semuanya bisa diselamatkan dari putus sekolah. Sejumlah isu yang masih menjadi kendala antara lain minimnya sarana dan prasarana yang aksesibel, keterbatasan jumlah dan kompetensi guru regular yang mampu melayani anak berkebutuhan khusus. Selain itu belum adanya aturan kebijakan yang kongkrit bagi karier guru pembimbing khusus (GPK).
Masalah pendidikan inklusif tidak bisa hanya diselesaikan oleh satu direktorat jenderal karena harus melibatkan stakeholder lainnya yang menangani pelatihan, rekrutmen, formasi guru, dan kepala sekolah. Hal lain yang tidak kalah penting keterlibatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai pemegang mandat otonomi daerah.
Belajar dari Korea
Pendidikan inklusif adalah metode pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO). Di Korea, bibit pendidikan inklusif dimulai pada 1998. Awalnya, sebelum ada kurikulum, anak berkebutuhan khusus diikutsertakan dalam kegiatan kesejahteraan pendidikan. Metode itu berkembang dan menjadi sistem pendidikan yang wajib ada di sekolah umum.
Di Korea, sistem itu dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, kehadiran di kelas. Kedua, partisipasi siswa dalam kelas, termasuk kegiatan praktek. Ketiga, akan terlihat hasilnya, yaitu anak berkebutuhan khusus siap terjun ke masyarakat umum. Di Saat anak berkebutuhan khusus belajar bersama, anak-anak akan bisa menerima kehadiran temannya yang berbeda.
Dalam kelas umum, anak berkebutuhan khusus yang mengalami intellectual disability atau ketidakmampuan secara intelektual bisa diikutsertakan. Karena itu, untuk menyusun kurikulum pelajaran, orang tua, psikolog anak, dan guru selalu diikutsertakan. Dalam program pelatihan, para guru mendapatkan materi seperti instruksi mengajar individu dalam kelas khusus, terapi pendukung, dan edukasi untuk mencegah pelecehan seksual, bullying, serta anak hilang. Untuk mengantisipasi anak hilang, sekolah memakaikan siswa berkebutuhan khusus gelang dengan cip detektor. Kepolisian juga punya data anak-anak yang berkebutuhan khusus di masing-masing wilayah. Basis datanya diperoleh saat penyaringan anak masuk sekolah.
Meski terdengar sangat terstruktur, masih banyak tantangan bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus di Korea. Antara lain kerja sama antar-guru pendidikan umum dan pendidikan khusus yang sering tumpang-tindih serta kurangnya ahli di bidang pendidikan inklusi. Dan kita mestinya bisa belajar dari penyelenggaraan pendidikan inklusi di Korea ini.

                                                                                                                   ——— *** ———-

Tags: