Pendidikan bagi Para Politisi

Judul  : Paideia Filsafat Pendidikan-Politik Platon
Penulis  : A. Setyo Wibowo
Penerbit  : Kanisius
Cetakan  : I, 2017
Tebal    : 267 halaman
ISBN    : 978-979-21-5147-3
Peresensi  : Junaidi Khab
Akademisi dan Pecinta Baca Buku asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Editor Penerbit Sulur Yogyakarta.

Dalam dunia politik, masyarakat kita sudah disuguhi semacam fanatisme pemahaman. Politik adalah kotor dan penuh kelicikan. Padahal, tidak demikian substansinya. Hal tersebut tergantung sejauh mana seorang politisi menggunakan politik dalam kehidupannya: berbangsa dan bernegara.
Kehadiran buku ini merupakan sebuah keresahan Setyo dalam melihat panggung politik yang dimainkan oleh para politisi.  Rentetan panggung politik dari masa ke masa memang tampak penuh lumpur ketidakbijaksanaan. Yang di bawah diinjak dan yang diatas diangkat. Hal itu tentu banyak dilakukan oleh para politisi yang sudah memangku kursi kepemimpinan.
Jauh sebelum kita mengenal berbagai pemimpin besar di dunia ini, entah lelaki atau perempuan, entah beragama atau tak beragama, Platon telah mengantisipasinya dengan memunculkan ide-ide rasional tentangnya. Pokok-pokok ajaran yang mesti diberikan guna memunculkan seorang pemimpin yang dibuat Platon 2500 tahun yang lalu sangat kita butuhkan saat ini mengingat perilaku pendidikan dan politik negeri ini butuh ide-ide segar (hlm. 19).
Sehingga, sangat dirasa perlu seorang politisi memiliki modal pendidikan yang memadai. Bukan sekadar pendidikan tentang masuk dunia politik. Tetapi, sebuah pendidikan yang bisa membawa arus politik ke arah yang mampu memberikan angin segar keadilan bagi masyarakat secara luas. Yang mana, hal tersebut perlu dipahami secara baik oleh para politisi.
Dalam dunia filsafat, dialektika merupakan pendidikan tertinggi. Sementara pengertian dialektika adalah proses berpikir yang konkret dan aktif, dimana rasio maju berkat diskusi menuju hal-hal yang intelektual dan inteligebel. Akhir dialektika adalah ketika nous (intelek) menangkap dengan intuisinya idea kebaikan (hlm. 131). Dengan kata lain, segala aspek tindakan seorang politisi harus mengarah kepada kebaikan yang riil bagi masyarakat.
Dalam hal dialektika, Sokrates (470-399 SM) dan Platon (428-348 SM) memberikan muatan etis untuk metode dialektika, proses pencarian definisi, berpikir menaik ke esensi suatu hal, sekaligus dibarengi purifikasi (katharsis) di mata kita diajak agar makin berkeutamaan (hlm. 132). Metode pendidikan Platon memang tergolong primitif – model dialektika, namun substansi dari model tersebut tentu akan mampu memberikan sebuah kesadaran bagi para politisi untuk menyinkronkan antara ceramah politiknya dengan fakta di lapangan.
Setelah konsep keadilan (dan kebahagiaan) – sifat politik Platon adalah memikirkan keadilan (hlm. 171) – dipahami secara benar, kita masih berhadapan dengan pertanyaan besar: bagaimana negara adil bisa dipraktikkan dalam kenyataan? Pendidikan (paideia) yang diyakini Platon menjadi sarana mereformasi tatanan masyarakat. Negara adil adalah sebuah tawaran reformasi tatanan masyarakat lewat strategi politik paling kuno, yaitu pendidikan. Platon sangat yakin bahwa peran pemimpin adalah “membentu warga negara”. Tugas para politis (filsuf Raja atau Ratu) adalah membentuk jiwa warganya dengan cara menjalankan perannya sebaik mungkin agar keadilan menjadi tatanan bagi semua warga negara (hlm. 279).
Melalui buku ini, Setyo ingin mengajak pembaca secara umum dan khususnya politisi agar jiwa serta kepribadiannya mampu menyerap nilai-nilai estetik pendidikan. Namun, yang sangat ditekankan agar para politisi tidak membabibuta dalam mengeksploitasi kebebasannya dalam berpolitik. Karena sebagaimana kita tahu, politik kadang hanya dijadikan media pesemakmuran oleh para politisi bagi golongan masing-masing yang alih-alih membawa bendera kebjiakan dan keadilan.

                                                                                    ————– *** —————–

Rate this article!
Tags: