Pendidikan di Era Disrupsi

Oleh:
Endang Mujiati
Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kabupaten Sidoarjo 

Kata disrupsi akhir-akhir ini muncul beriringan dengan istilah era Industri 4.0. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “disrupsi” diartikan sebagai “hal tercabut dari akarnya”. Fenomena disruption (disrupsi), merupakan situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru, (Rizal, Republika.co.id, 2017). Bisa jadi tatanan lama, bahwa semakin banyak pabrik, maka semakin banyak tenaga kerja terserap, sudah tidak berlaku.
Prediksi ke depan muncul tatanan baru yaitu penggunaan robot untuk menggantikan tenaga manusia sehingga lebih murah, efektif, dan efisien. Akibatnya hilang banyak pekerjaan karena diganti robot dengan sistem kerja otomatis, berimbas banyak pengangguran. Hal ini sulit dihindari, maka harus mengikuti arus perubahan agar tidak terlindas dan tetap dapat menjalani kehidupan yang mampu bersaing secara global. Oleh karena itu, perlu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) sebagai generasi penerus bangsa melalui pendidikan yang sesuai dengan zamannya.
Sitorus (2018) menyebut istilah pendidikan 4.0, untuk mengimbangi era disrupsi (era industri 4.0). Ciri utama pendidikan 4.0 adalah pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar mengajar (cyber system), sehingga transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan secara kontinyu tanpa harus selalu tatap muka di kelas. Dengan perkataan lain, materi pembelajaran dapat sampai kepada peserta didik setiap waktu tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Bagaimana teknik pelaksanaan pendidikan 4.0 agar SDM tetap sukses di era disrupsi? Pertama, menyiapkan perangkat teknologi digital untuk pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM). Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas komputer yang telah dimiliki masing-masing lembaga pendidikan. Sebagian besar lembaga pendidikan memiliki komputer yang biasanya untuk Ujian Berbasis Komputer. Bila komputer tidak memenuhi, dapat memanfaatkan handphone yang terkoneksi internet. Lembaga pendidikan hanya menyediakan koneksi internet yang memadai.
Kedua, menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini sudah dilakukan dengan melakukan pergantian dan rivisi kurikulum beberapa kali mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum secara nasional telah ditentukan, tetapi lembaga pendidikan dapat melakukan penambahan sesuai keadaan lembaga masing-masing, sehingga dikenal dengan istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada saat ini yang digunakan adalah kurikulum 2013 edisi revisi.
Ketiga, memastikan tenaga pendidik mempunyai kecakapan dalam memanfaatkan IT untuk pembelajaran. Peserta didik dapat berkonsultasi setiap waktu, tidak tergantung dalam ruang kelas. Bila perlu dilakukan pelatihan pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran. Pendidik juga dituntut melakukan perubahan pendidikan yaitu keluar dari zona aman dan nyaman yang sudah lama dilakukan untuk membentuk tatanan baru pendidikan sesuai kemajuan zaman.
Sebagai contoh: bila pendidik melakukan PBM dengan menjelaskan berbagai materi, maka peserta didik akan merasa jenuh, bahkan terkesan bahwa pendidik tersebut ketinggalan zaman karena materi yang dijelaskan sudah diakses dengan mudah oleh peserta didik dari internet atau buku.
Pendidik dapat membangun tatanan baru dengan membentuk kelompok diberi “masalah yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas”, didukung ilustrasi yang meyakinkan dengan memanfaatkan IT. Peserta didik mencari solusi dari permasalahan yang diberikan dengan mengumpulkan informasi yang dapat diakses melalui internet atau buku. Hasilnya dapat dipresentasikan atau dipertanggungjawabkan kelompok dalam diskusi kelas. Bisa saja permasalahan yang diberikan sama, tetapi solusi yang diajukan (hasil kerja kelompok) berbeda. Hal ini patut dihargai dengan diberi kesempatan kelompok, untuk membuktikan hasil belajar mereka dengan mengungkapkan argumen yang mendukung bahwa solusi yang dikemukakan adalah tepat. Kebiasaan pendidikan tatanan baru dengan memberi permasalahan terbuka dan menantang (kategori HOTS = High Order Thinking Skill) akan melatih peserta didik untuk berfikir kritis dan kreatif. Sudahkah pendidik Indonesia siap dengan tatanan baru?
Walker (2017), seorang guru di Finlandia dan penulis buku “Mengajar Seperti Finlandia”, telah merancang tes untuk kelas 6, contohnya: “Bayangkan kamu diminta untuk mencari tahu apakah pasta gigi masuk asam atau basa. Berfikirlah seperti seorang ilmuwan, apa yang akan kamu lakukan”? Jawaban yang diungkapkan peserta didik bisa bervariasi, disertai argumen yang mendukung. Pendidik menilai dan memberikan catatan yang dapat memberikan semangat yang membangun kreativitas muridnya.
Menurut Walker, jika pendidik ingin peserta didiknya mempromosikan penguasaan di kelas, maka dapat melakukan seperti pendidik Finlandia yaitu memodifikasi tes yang membuat peserta didik membuktikan jawaban mereka melalui pertanyaan yang sulit, menantang dan terbuka dalam pelajaran sehari-hari (diskusi kelas, dalam kerja kelompok, dalam penilaian formatif) maupun penilaian sumatif.
Keempat, penilaian secara outentik. Penilaian yang dilakukan pendidik, lembaga pendidikan maupun pemerintah hendaknya sejalan dengan arah perkembangan zaman yang melecit. Seyogyanya penilaian yang dilakukan dapat menghargai peserta didik dengan keunikan masing-masing. Penilaian secara menyeluruh dan rinci dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor dapat mengarahkan peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki demi kesuksesan bersaing secara global.
Generasi penerus merupakan aset bangsa yang mewarisi keberlangsungan suatu negara. Pendidikan yang tepat sesuai perkembangan zaman dapat mengikis dampak negatif di era disrupsi dan menyiapkan generasi penerus agar mampu bersaing secara global. Semoga generasi penerus dapat memimpin bangsa dan negara dengan penuh amanah sehingga menjadi semakin jaya, makmur, aman, tentram, damai serta sejahtera.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: