Pendidikan Inklusif di Nganjuk Minim Infrastruktur

6-foto B ris-inklusifNganjuk, Bhirawa
Pendidikan inklusif  yang dirintis di Kabupaten Nganjuk diharapkan akan membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk menempuh pendidikan di sekolah reguler. Namun sejak dua tahun terakhir, sarana dan prasarana pendukung pendidikan inklusif  sangatlah minim ditambah kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat.
Dinas Dikpora Nganjuk, hingga saat ini baru memiliki 16 tenaga pengajar yang memiliki kompetensi untuk menangani kelas inklusif. Mereka telah mengikuti pelatihan untuk master teaching kelas inklusif hingga fase lima. “Pendidikan inklusif  di Kabupaten Nganjuk telah dirintis sejak tahun 2012, sesuai Perbup No. 53 tahun 2011,” terang Kepala Bidang  Pendidikan Menengah Umum Dinas Dikpora  Nganjuk, Drs Ibnu Hajar. Msi.
Selain minimnya tenaga pengajar dengan kompetensi kelas inklusif, infrastruktur sekolah untuk murid berkebutuhan khusus juga tidak mendukung. Saat ini tidak seluruh sekolah didesain untuk murid berkebutuhan khusus.
Sehingga kontruksi bangunan sekolah akan menyulitkan aktivitas murid berkebutuhan khusus. “Memang belum seluruh sekolah dibangun untuk murid berkebutuhan khusus, tetapi sekolah yang telah memiliki murid berkebutuhan khusus kontruksi bangunan telah disesuaikan,” papar Ibnu Hajar.
Ibnu Hajar lantas mencontohkan SDN Werungotok 1 Nganjuk dan SDN Wilangan 1 yang desain bangunannya disesuaikan dengan murid yang berkebutuhan khusus. “Latar belakang pelaksanaan pendidikan inklusif agar anak bekrebutuhan khusus tidak kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan, jadi mereka dapat menempuh pendidikan di sekolah yang dekat dengan rumahnya,” ungkap Ibnu Hajar.
Ibnu Hajar juga menjelaskan saat ini sekitar 140 tenaga pengajar dari jenjang SD dan SMP masih mengikuti pendidikan kompetensi untuk kelas inklusif. Rencananya setelah lulus fase 5 para pengajar tersebut telah siap untuk menerima murid berkebutuhan khusus.
Sementara itu kalangan DPRD Nganjuk menilai deklarasi Nganjuk  sebagai kabupaten pendidikan inklusif sangatlah berlebihan. Karena belum ada satu persen sekolah reguler yang menerima murid berkebutuhan khusus. Selain itu acara deklarasi yang digelar di GOR Bung Karno yang menelan biaya besar tidak sepadan dengan pelaksaan pendidikan inklusif  di lapangan. “Kenapa harus ada deklrarasi mewah hanya untuk pendidikan inklusif, alangkah baiknya bila biaya deklarasi itu digunakan untuk biaya diklat kompetensi tenaga pengajar kelas inklusif,” tegas Arbayana, politisi Partai Demokrat.
Arbayana menambahkan, seharusnya Dinas Dikpora juga melakukan sosialisasi secara intensif tentang pendidikan inklusif. Karena masyarakat yang tinggal di pelosok dan memiliki anak berkebutuhan khusus belum memahami tentang pendidikan inklusif.
Lebih ironis lagi, lebih banyak guru atau tenaga pengajar yang tidak memahami tentang pendidikan inklusif. “Ini kondisi riil, saat sejumlah guru di pelosok saya tanya soal pendidikan inklusif mereka tidak tahu. Seharusnya sosialisasi bersamaan dengan pelaksanaan, bukan malah deklrasi didahulukan dan menghabiskan dana ratusan juta,” pungkas Arbayana. [ris]

Keterangan Foto : Deklarasi pendidikan inklusif  yang dilaksanakan Dinas Dikpora Nganjuk hanya seremonial, sementara infrastrutur minim.(ristika/bhirawa)

Tags: