Pendidikan Karakter dan Keteladanan

Oleh :
Ahmad Fatoni
Dosen Pendidikan Bahasa Arab FAI UMM 

Ada yang beranggapan bahwa keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh seberapa jenius otak setiap anak didik. Semakin ia jenius maka semakin dianggap sukses. Semakin ia meraih predikat juara kelas berturut-turut, maka semakin sukseslah ia.
Padahal, banyak anak didik yang sukses justru tidak mendapatkan prestasi gemilang di sekolahnya. Sebab kesuksesan tidak melulu terkait kecerdasan otak saja. Akan tetapi, kesuksesan ternyata lebih ditentukan oleh kecakapan membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Kecakapan membangun hubungan dengan tiga pilar (Tuhan, diri sendiri, dan sosial) tersebut merupakan ciri-ciri karakter yang dimiliki orang-orang sukses. Setiap hasil hubungan itu akan memberikan penyadaran tentang pentingnya pendidikan karakter sejak dini yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak didik.
Jamak dimaklumi, pembentukan karakter harus melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dalam konteks ini, guru hendaknya memiliki komitmen bagaimana mengajarkan dan menerapkan pendidikan karakter di sekolah, mulai dari teori, konsep, model, praktek, dan implementasi.
Peran Guru
Guru bukanlah sekadar petransfer pengetahuan semata, juga tampil sebagai teladan di hadapan siswanya. Prinsip “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” mengharuskan guru sebagai pamong (pembimbing) dalam segala proses pendidikan. Dengan kata lain, guru tidak cukup pandai tetapi sekaligus berperilaku terpuji. Itu sebabnya, pendidikan calon guru menjadi sangat penting untuk menghasilkan guru dengan karakteristik itu.
UU No. 14 pasal 23 ayat (1) memberi panduan dengan mengamanatkan agar “Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.” Jika amanat itu dilaksanakan, maka pemerintah akan punya stok guru yang cukup bermutu, berkarakter, dan siap disebar ke sekolah yang kekurangan guru di seluruh pelosok tanah air.
Pendidikan karakter yang ditanamkan oleh guru secara sistematis dan berkelanjutan, niscaya mencetak anak-anak didik yang cerdas baik secara akademis maupun emosional. Kecerdasan emosi akan menjadi bekal penting bagi peserta didik dalam membangun masa depan sebab ia akan lebih mudah berhasil menghadapi segala macam tantangan.
Tentu, tantangan yang akan dihadapi anak didik di masa mendatang akan lebih kompleks. Jenis pekerjaan dan keahlian sangat cepat berubah, sehingga sering kali apa yang dipelajari ketika sekolah sudah usang saat siswa lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat. Di sini guru dituntut menanamkan sikap karakteristik kepada anak didik agar menyesuaikan diri dengan belajar secara mandiri.
Agar mampu belajar mandiri di era teknologi, diperlukan kemampuan menggali informasi, berpikir kritis dan memecahkan masalah secara kreatif, bekerjasama secara lintas budaya. Kemampuan itulah yang oleh beberapa orang disebut dengan 21th Century Skills (Trilling dan Fadel, 2009). Kemampuan tersebut senyatanya menjadi inti pendidikan tanpa melupakan integrasi nilai-nilai emosional dan spiritual.
Nilai-nilai kehidupan yang berintegrasi dengan kecerdasan emosional dan spiritual akan menjadi modal besar ketika siswa lulus dan terjun ke masyarakat. Bukankah Ki Hajar Dewantara telah menegaskan bahwa hakikat pendidikan adalah daya upaya memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak. Ketiga unsur itu saling berkait erat menuju penyempurnaan karakter peserta didik.
Telah banyak hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Adapun faktor pencerdasan emosi dan spiritual seorang anak didik bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu bertakwa kepada Tuhannya, disiplin, kerja keras, pantang menyerah, pandai melihat peluang, rasa percaya diri, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, jujur, santun, rasa empati, kemampuan berkomunikasi, kreatif, inovatif, dan mandiri.
Butuh Keteladanan
Dengan demikian, pendidikan karakter tidak cukup dengan hanya memberikan pengetahuan semata, melainkan juga menetapkan aturan dan konsekuensi di lingkungan sekolah. Dalam peraturan sekolah, misalnya, peserta didik yang tidak membawa buku pelajaran maka konsekuensinya mendapatkan tugas tambahan. Ini harus jelas dan konsisten, serta dikomunikasikan kepada semua pihak termasuk orang tua.
Yang tak kalah pentingnya, penanaman karakter terhadap peserta didik membutuhkan keteladanan dari semua pihak. Kepala sekolah harus menjadi teladan bagi guru dan murid di sekolah. Begitu juga guru hendaknya betul-betul menjadi teladan di hadapan anak didik. Sebagaimana diketahui, bangsa ini bukan tidak memiliki banyak orang pintar, justru jumlahnya tak terhitung. Namun bangsa ini tampak kekurangan orang yang pantas diteladani.
Karena itu, sekolah sebagai salah satu instrumen penanaman nilai-nilai kebajikan semestinya mencerminkan suasana keteladanan. Terutama bagi para guru, mereka senyatanya menjaga sikap dan perilakunya di depan anak didik. Jangan sampai terdengar lagi kata-kata “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Penanaman pendidikan karakter kepada warga sekolah akan lebih efektif jika tidak hanya siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah dan tenaga non-pendidik di lingkungan sekolah, semuanya harus terlibat dalam proses penerapan nilai-nilai kebajikan. Dalam rangka itulah, perlu ada penekanan lebih kuat pada pendidikan karakter sebagai bagian penting dalam proses pendidikan yang tak dapat dipisahkan dari keteladanan.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: