Pendidikan Karakter untuk Keadaban Bangsa

muhammadrajabOleh:
Muhammad Rajab
Pengajar Bahasa Arab FAI Universitas Muhammadiyah Malang

Kebobrokan moralitas bangsa menjadi masalah yang serius bagi bangsa Indonesia. Berbagai macam kasus amoral sering kita dengar di media massa. Seperti kasus korupsi yang hingga sekarang menjadi pembicaraan serius di media massa. Tak cukup itu, kasus moralitas pelajar pun sebagai anak didik ikut mewarnai buruknya moralitas bangsa, juga akhlak para guru yang kurang bertanggungjawab. Sikap-sikap amoral ini menuntut segera adanya pembangunan karakter (character building) bagi generasi bangsa.
Dalam hal ini pendidikan masih menduduki urutan pertama membangun karakter bangsa. Sebagai penyanggah masalah karakter, moralitas, dan akhlak, maka pendidikan dituntut untuk menjawab problematika terkait kasus moralitas di atas.
Untuk membangun karakter tersebut tidak cukup dengan diam dan puas dalam model pendidikan yang selama ini berjalan di negeri ini. Pendidikan harus mengadakan perubahan. Pendidikan yang selama ini hanya lebih mengedepankan aspek kognitif atau kekayaan intelektual semata harus mampu mengadakan perubahan, sehingga pendidikan tidak hanya memperkaya wawasan keilmuan, tapi lebih dari itu, bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebenarnya, gagasan atau konsep pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi dicetuskan oleh pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Sementara Prof. Suyanto, PhD., menyebutkan sembilan pilar karakter berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia yang perlu dibangun dalam pendidikan karakter. Sembilan pilar tersebut yaitu, (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggungjawab, (3) kejujuran dan amanah, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama (6) percaya diri dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kebutuhan Mendesak
Penggalakan pendidikan karakter adalah kebutuhan yang mendesak untuk bangsa Indonesia saat ini. Hal ini merupakan sebuah tuntutan bagi bangsa Indonesia untuk membangun karakter bangsa. Soemarno Sudarsono (2009) mengungkapkan, ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pijakan untuk membangun karakter bangsa, yaitu kejujuran, keterbukaan, keberanian mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan berbagi.
Pendidikan karakter ini sesuai dengan tuntunan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Penggalakan pendidikan karakter ini diharapkan bisa merubah keadaan bangsa Indonesia dan dapat memperkuat eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Pasalnya, semakin hari eksistensi bangsa Indonesia semakin terkikis akibat rusaknya moralitas bangsa. Ini ditakutkan suatu saat nanti Indonesia benar-benar jatuh ke jurang yang hina dan menjadi negara yang yang tidak lagi memperhatikan nilai moralitas dan spiritualitas.
Membangun karakter bangsa (character building) melalui pendidikan karakter harus dilakukan secara kolektif-integratif. Kejujuran dan keterbukaan seperti yang diungkapkan Soemarno di atas harus dibangun di atas kerja sama yang kuat antarberbagai elemen. Terutama pemerintah sebagai elemen tertinggi dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah dalam hal ini harus membuka jalan bagi seluruh elemen yang terlibat dalam aktivitas pendidikan, mulai dari keluarga, masyarakat dan sekolah sebagaimana yang disebut oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Trilogi Pendidikan yang saling terkait satu sama lain.

                                                  ——————————- *** ———————————

Tags: