Pendidikan Kewargaan Kontra Radikalisme

Oleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Anggota Kaukus Penulis Muda Aliansi Kebangsaan dan Dosen UNIRA Malang 

“Terorisme adalah ancaman kemanusiaan!” (Saafroedin Bahar, Ketua Pengkajian Aliansi Kebangsaan)
Ledakan bom bunuh diri menyalak di bumi Jawa Timur. Yang membuat miris, pelaku peledakan adalah satu keluarga penuh. Terdiri dari pasangan suami istri: Dita Supriyanto dan Puji Kuswati, serta keempat anaknya: YF (18), FH (16), FS (12), PR (9). Belakangan diketahui bahwa Dita Supriyanto adalah pemimpin organisasi radikal Jamaah Ansharut Daulah (JAD) cabang Surabaya yang berbaiat ke Islamic State in Iraq and Syria (ISIS).
Gerakan organisasi radikalisme bukanlah sebuah gerakan yang tanpa pengaruh. Pada Oktober 2017, Alvara Research Center bersama Yayasan Mata Air merilis sebuah hasil penelitian bertajuk “Potensi Radikalisme Dikalangan Profesional Indonesia”. Hasilnya: (1). Persentase professional yang tidak pendukung pemimpin nonmuslim yang terpilih secara demokratis bias dikatakan cukup besar (29.7%), terutama dari kategori PNS; (2). Ada sebanyak 27.6% professional yang mendukung Perda Syari’ah karena dianggap tepat untuk mengakomodir penganut agama mayoritas; mayoritas berasal dari PNS dan Swasta; (3). Persentase professional yang setuju dengan Negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah mencapai 29.6%. PNS dan pegawai swasta yang menyatakan setuju bahwa Negara Islam harus perjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah lebih tinggi di banding BUMN; (4). Mayoritas professional menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi yang tepat untuk Negara Indonesia (84.5%), namun memilih ideologi Islam bisa dikatakan cukup tinggi (15.5%). PNS yang menyatakan ideologi Pancasila lebih tepat dibanding Ideologi Islam, lebih besar dibanding Swasta dan BUMN; (5). Profesional yang setuju dengan khilafah sebagai bentuk ideal Indonesia disbanding NKRI paling besar dikalangan PNS (22.2%), kemudian Swasta (17%). Mayoritas professional tidak setuju untuk berjihad menegakkan Negara Islam/khilafah, namun yang setuju untuk berjihad jumlahnya juga cukup besar (19.6%).
Lebih dari itu, radikalisme juga telah mengancam kalangan kaum terdidik. Setidaknya itu yang tergambar dari penelitian yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Convey Indonesia. Penelitian yang berjudul ” API DALAM SEKAM: KEBERAGAMAAN GEN Z” itu berhasil memotret bahwa pada level opini, siswa dan mahasiswa cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran. Hal tersebut tercermin dari persebaran antara opini radikal, toleransi eksternal, dan toleransi internal siswa. Dari ketiga kategori tersebut, pandangan keagamaan siswa yang paling intoleran terdapat pada opini radikal (58.5%) disusul opini intoleransi internal (51.1%) dan opini intoleransi eksternal (34.3%). Sedangkan dari sisi aksi, nampak bahwa siswa/mahasiswa memiliki perilaku keagamaan yang cenderung moderat/toleran. Mereka yang termasuk dalam kategori aksi radikal, hanya 7.0% dan aksi intoleransi eksternal 17.3%. Namun pada aksi intoleransi internal, cenderung lebih tinggi, yaitu 34.1%.
Hal serupa juga ditemukan pada survei yang dilakukan oleh The Wahid Institute yang berlangsung pada tahun 2016. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari total 1.520 responden di 34 provinsi, sekitar 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci, seperti nonmuslim, Tionghoa, dan komunis.
Lebih jauh lagi, dari berbagai penelitian, seperti yang dikutip oleh Fathurrahman Ghufron, radikalisme juga mengancam eksistensi generasi milenial. Kita bisa sebut misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Anas Zaidi dari LIPI yang menampakkan bahwa paham radikal telah menguasai kampus-kampus besar di Indonesia. Survey yang dilakukan oleh BNPT juga menyebutkan bahwa sebesar 39% mahasiswa sudah terpapar oleh paham radikalisme. Terakhir, sebuah penelitian bertajuk “Literatur KeIslaman Generasi Milenial” yang dilakukan oleh pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bekerjasama dengan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan PusPIDep Yogyakarta pada tahun 2017, menghasilkan sebuah narasi bahwa gerakan jihadi, tahriri, dan salafi, mulai mendominasi di banyak PT, dimana gerakan-gerakan tersebut menjadi embrio tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme.
Terakhir, survei Pew Research Project memperlihatkan mayoritas masyarakat Indonesia (79 persen) tidak mendukung keberadaan NIIS. Tingkat resistensi paling tinggi ditunjukkan Lebanon, Israel, Jordania, dan Palestina. Namun, ada sekitar 4 persen penduduk Indonesia yang bersikap sebaliknya. Artinya, diperkirakan kurang lebih 10 juta simpatisan dan pendukung NIIS. Rendahnya dukungan warga Indonesia terhadap NIIS dikonfirmasi oleh survei SMRC.
Revitalisasi Pendidikan Kewargaan
Thomas Lickona (2011) mengingatkan kepada kita akan pentingnya pendidikan. Menurut Thomas lebih lanjut, pendidikan memberikan perhatian terhadap gejala global yang memperlihatkan kecenderungan retaknya kehidupan keluarga, meledaknya budaya pop oleh dorongan industri media, menguatnya materialisme dan kecenderungan mementingkan diri sendiri di kalangan anak-anak muda, serta krisis yang ditimbulkan oleh gaya hidup baru.
Dalam konteks itulah, Yudi Latif, dalam beberapa artikelnya di media massa menawarkan apa yang dia sebut dengan “pendidikan kewargaan” dengan Pancasila sebagai basisnya. Hal ini menjadi sangat urgen untuk diketengahkan mengingat lumpuhnya nilai-nilai keadaban publik dalam suatu masyarakat majemuk yang sulit menemukan kehendak dan kebajikan bersama merupakan mimpi buruk bagi perkembangan bangsa ini. Untuk itu, perlu ada pembudayaan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai kewargaan multikultural melalui proses pendidikan karakter. (Kompas, 4/5/2017).
Dengan begitu, diharapkan muncul apa yang diistilahkan oleh Airlangga Pribadi Kusman dengan “pedagogi berwawasan Pancasila”. Maksudnya ialah, sehubungan dengan praktik pembinaan Pancasila aktual, metode pedagogi kritis dapat menyumbang peran edukasi untuk membentuk warga negara yang peduli terhadap warga negara yang lain. Juga memiliki daya kritis untuk menginterogasi berbagai bentuk ketidakadilan yang lahir dari relasi kuasa yang asimetris. (Kompas, 13/12/2017).
Untuk menuju kesana, Fathurrahman Ghufron menawarkan langkah-langkah yang harus ditempuh yakni: radical in mind, yakni penguatan gagasan dan ide merevitalisasi Pancasila sebagai “semangat pencerahan”. Kedua, radical in attitude, yakni membumikan setiap sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, radical in action, yakni merumuskan kebijakan aksional bernapas Pancasila yang diperuntukkan kepentingan orang banyak.

——— *** ———-

Tags: