Pendidikan Lingkungan Masih Sebatas Teks

Ketut Prasetyo

Ketut Prasetyo
Pendidikan lingkungan dalam konteks pembentukan karakter bangsa di tengah arus percepatan globalisasi sangat diperlukan dalam proses pembelajaran anak-anak Indonesia. Salah satu penulis buku Pendidikan Lingkungan Indonesia : Dasar Pedagogi dan Metodologi Ketut Prasetyo mengungkapkan jika pendidikan lingkungan sangat dibutuhkan dalam sudut pandang objek pendidikan formal dan non-formal.
“Pendidikan ada formal dan non formal. Kalau kita ngomong pendidikan lingkungan keduanya menjadi objek kita bersama” Ungkapnya.
Sehingga, katanya, pendidikan lingkungan tidak hanya perlu diterapkan dalam lingkungan sekolah melainkan juga luar sekolah. Namun sayangnya, lanjut lulusan program studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Universitas Negeri Jakarta ini memaparkan bahwa dalam implementasinya pendidikan lingkungan tidak benar-benar diterapkan dalam diri anak-anak bangsa. Ia menilai bahwa pendidikan lingkungan yang selama ini diajarkan di sekolah hanya sebatas tekstual, bukan mengarah pada pemahaman kontekstual permasalahan lingkungan. Misalnya, dalam lingkungan sekolah ada peraturan untuk tidak membuang sampah sembarang, namun ketika di luar sekolah mereka melakukan dengan seenaknya.
“Nah, ini kan tidak dilakukan pembiasaan penekanan peraturannya. Jangan sampai disekolah dididik, tapi diliar sekolah mereka tidak menerapkan itu. Pendidikan kita hanya sebatas di sekolahan, belum sampek meresap ke konsep keterampilan maupun simpati siswa” imbuhnya. Lebih lanjut, Pendidikan lingkungan yang diajarkan kepada anak-anak saat ini dalam implementasinya hanya sebatas menghafal, bukan memahami, menganalisa, hingga mengungkapkan gagasan.
“Tugas seorang pendidikan bukan lagi sekedar kognitif, melainkan mendorong daya Kritis anak” paparnya. Sebagai lembaga pendidikan, tambahnya pendidik memberikan pemahaman kepada anak untuk mengembangkan daya kritis anak.
“Mengembangkan Kekritisan anak ini penting. Jangan hanya dihafal melainkan, ajak anak atau siswa dalam berpikir kritis, seperti mengapa terjadi banjir, mengapa terjadi pencemaraan dan sebagainya” sahutnya. Selain itu, Ia juga menuturkan jika tanggung jawab masalah lingkungan tidak hanya dibebankan kepada pihak sekolah dan pemerintahan, melainkan juga masalah kita bersama sebagai masyarakat.
“Dalam membentuk paradigma dan mindset atau pola pikir masyarakat bahwa lingkungan merupakan bagian dari kehidupan kita, itu PR kita bersama. Karena tidak mudah mengubah paradigma yang sudah terlanjur berkembang dalam kehidupan masyarakat” paparnya.
Dalam sebuah konsep yang dipaparkan H.L BLUM, tutur wakil Rektor III, dalam mendidik ada tiga ranah yang harus dicapai lembaga pendidikan. Anatara lain, konigtif, afektif dan sikomotor, ketiganya harus jalan. Setelah dia mengetahui, dia akan berempati dan simpati yang kemudian akan dilaksanakan.
Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menilai jika konteks lingkungan merupakan bagian dari lingkup sustainable development, di mana lingkungan bukan lagi sebuah warisan. Melainkan ‘milik anak cucu’ bangsa Indonesia. “Nantinya lingkungan itu akan kita kembalikan kepada anak cucu kita” sahutnya.
Sebagai seorang akademisi yang terfokus pada pendidikan lingkungan, Ketut Prasetyo berharap agar pendidikan lingkungan jangan hanya diatas kertas. Namun harus diimplementasikan secara kontekstual pemahaman.
“Kita berharap agak pendidikan lingkungan kita menuju pada pendidikan penbangunan kesejahteraan lingkungan. Kita boleh berpikir secara global, namun aksi kira harus tetap lokal. Tidak hanya dalam berbicara namun aksi nyata. Harus ada perubahan paradigma pada setiap diri anak-anak bangsa” tandasnya. [ina]

Tags: