Pendidikan (Zonasi) Keluarga yang Terlupakan

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya; Dosen FISIP Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari tahun ke tahun terus menyisakan persoalan. Demikian pula dalam PPDB tahun 2019 ini. Salah satunya disebabkan oleh diberlakukannya sistem zonasi dalam PPDB tahun ini. Sistem zonasi mengacu pada kedekatan jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah tujuan. Ini sesuai Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB Tahun 2019.
Proporsi siswa yang diterima melalui jalur zonasi mencapai 90 persen, sisanya lewat jalur prestasi 5 persen dan 5 persen lagi melalui jalur perpindahan orangtua. Dalam sistem zonasi ini juga diatur jarak maksimal tempat tinggal calon peserta didik ke sekolah yang dituju maksimal 5 kilometer. Artinya, jika jarak tempat tinggal siswa di luar/lebih dari 5 kilometer dinilai sudah di luar zonasi.
Kebijakan diberlakukannya sistem zonasi ini, dijiwai semangat mulia untuk memangkas kesenjangan dan mempercepat pemerataan kualitas pendidikan. Harapnnya, dengan sistem zonasi, sebaran siswa berprestasi bisa merata. Sehingga tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit yang diserbu siswa berprestasi dengan sekolah nonfavorit. Semua sekolah berpotensi favorit karena memiliki siswa berprestasi.
Beberapa Catatan
Bahwa tidak ada yang salah dengan ikhtiar pemerintah melalui sistem zonasi yang ingin memeratakan kualitas pendidikan. Tidak ada orangtua yang tidak ingin anak-anaknya bisa menikmati sekolah yang berkualitas. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjadikan semua penyelenggara pendidikan memberikan pelayanan yang terbaik.
Sayangnya, dalam konteks penerapan sistem zonasi ini, muncul kesan pemerintah tidak cukup paham dengan kondisi dan kualitas pendidikan di masing masing daerah. Pemerintah terlalu memaksakan diri untuk mempercepat proses pemerataan pendidikan tanpa melihat kondisi masing-masing daerah. Ada sekolah yang memiliki fasilitas (pendidikan) seperti laboratorium dan sejenisnya begitu lengkap. Di sisi (zonasi) lain, ada sekolah yang jangankan memiliki fasilitas seperti laboratorium lengkap, bangku dan meja untuk belajar siswa pun alakadarnya.
Demikian juga dari proporsi SDM gurunya. Ada sekolah yang memiliki SDM guru lengkap dengan bekal kemampuan (akademis dan non-akademis) memadai. Sementara di zonasi tertentu, tidak dimungkiri masih ada sekolah yang anak didiknya terpaksa diajar kakak kelas atau bahkan rekan sekelasnya karena keterbatasan guru.
Semestinya, jika tujuan sistem yang dibangun ini untuk memeratakan kualitas pendidikan, semua perangkat pendukungnya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Semua fasilitas sekolah dan SDM gurunya harus merata secara proporsional di semua zonasi.
Sistem zonasi kaku yang tanpa didahului pemerataan proporsi fasilitas dan SDM pendidikan, hanya membelenggu siswa yang dulunya berprestasi.
Pemberlakukan sistem zonasi sungguh akan menjadi tidak efektif bahkan justru akan memperlebar jurang kesenjangan kualitas pendidikan jika fasilitas pendidikan yang ada belum merata. Artinya, ketika suatu wilayah antar zonasi mesih terjadi kesenjangan kualitas penyelenggaraan pendidikan, maka sistem zonasi hanya akan semakin mengukuhkan kesenjangan tersebut.
Zonasi Keluarga
Bahwa terlepas dari debat panjang terkait dengan pemberlakukan sistem zonasi, satu pesan yang bisa kita petik adalah bahwa sistem zonasi sesungguhnya juga ingin menegaskan betapa pentingnya pendidikan keluarga? Mengapa?
Tidak lain adalah karena lingkungan keluarga adalah zonasi terdekat dengan anak. Sayangnya, justru makin banyak orangtua yang melupakan dan mengabaikan pendidikan dalam keluarga. Masih banyak orang tua yang salah kaprah dalam memahami pendidikan. Misalnya dengan menyekolahkan anaknya di sekolah favorit yang biasanya berbiaya tinggi, anaknya akan menjadi pintar dan memiliki sikap terpuji. Persoalan berikutnya, orang tua hanya pasrah tentang baik buruknya anaknya kepada guru atau lingkungan sekolah.
Beberapa contoh di atas memberikan tanggung jawab pendidikan anak hanya kepada guru dan lingkungan sekolah atau bahkan pada pemerintah setempat. Akibatnya seolah bagi keluarga kaya, maka akan mendapatkan pendidikan baik, sedangkan bagi keluarga miskin, maka akan mendapatkan pendidikan kurang baik. Bukan itu saja, seorang psikolog pendidikan pernah mengatakan, sekolah yang baik atau tepat untuk anak kita adalah sekolah mempunyai tujuan yang sama dengan konsep pendidikan orang tua yang akan diberikan kepada anak-anaknya. Artinya, sekolah-sekolah yang mengaku bertaraf internasional atau favorit belum tentu menjadi sekolah tepat bagi anak-anak. Peran orang tua lebih dominan dalam pendidikan anak. Guru atau lingkungan sekolah atau bahkan kebijakan pemerintah hanyalah membantu orang tua.
Konsep pendidikan anak yang tepat sentralnya ada pada orang tua. Orang tua mempunyai kendali penuh untuk mengantarkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik. Keluarga memainkan peran penting dalam pendidikan anak. Keluarga menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan di samping sekolah.
Berhasil-tidaknya pendidikan anak amat bergantung pada sejauh mana peran keluarga dalam proses pendidikan anak. Berbeda dengan pengajaran, pendidikan jauh lebih sulit, tidak cukup mengandalkan sekolah, sehingga perlu keterlibatan aktif keluarga. Selain itu, sebelum seorang anak masuk ke sekolah, keluarga adalah tempat pendidikan pertama. Dapat dikatakan, keluarga adalah tempat pertama seorang anak mengenal dunia.
Urgensi Literasi dalam Keluarga
Dari paparan di atas menunjukkan menunjukkan bahwa keluarga belum menjadi bagian penting dari proses pendidikan secara optimal. Ini terjadi bukan hanya pada keluarga yang secara ekonomi masuk kategori tidak mampu, melainkan juga kategori mampu.
Keluarga terlalu mengandalkan sekolah sebagai tempat pendidikan. Pada saat yang sama, sekolah rupanya juga kerap kali tidak optimal dalam mendidik; lebih banyak mengajar. Dari pelajaran umum, agama, hingga kesenian atau yang lainnya, sekolah mampu memberikan pengajaran dengan baik sesuai kurikulum yang ditetapkan negara. Namun, tidak banyak sekolah yang mampu mendidik anak sampai tumbuh sebagai pribadi mandiri, berkarakter kuat, dan kritis.
Hal tersebut membuat anak jadi pintar dan cerdas secara ilmu pengetahuan, menguasai mata pelajaran yang diajarkan, tetapi tidak saleh secara kepribadian dan perilaku karena siswa lalai dididik dengan benar. Pada akhirnya, manusia yang lahir dari pengajaran, bukan pendidikan, kering dari nilai-nilai spiritual. Kecerdasan emosional dan spiritualnya lemah. Padahal, seseorang akan mencapai tingkat optimal kemanusiaannya ketika dapat menyelaraskan ketiga kecerdasan yang dimiliki: kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Pembangunan karakter (character building) tidak akan berhasil tanpa menyelaraskan tiga kecerdasan ini.
Jangan heran, orang tua saat ini masih dihadapkan dengan problem-problem penyimpangan dan kenakalan pelajar. Misalnya, konsumsi narkoba, minuman keras, seks bebas, tawuran antarpelajar atau antarsekolah, hingga tindakan kriminal yang dilakukan pelajar, baik itu terhadap teman sekolahnya sendiri maupun sekolah lain, juga tindak-tindak kekerasan lainnya. Kita bisa menemukan kenyataan miris ini di berbagai tempat. Tidak hanya di dunia nyata, perilaku menyimpang itu juga dapat kita temukan di dunia maya seperti internet. Kemajuan teknologi internet dengan berbagai media-media sosial di dalamnya, telah ikut juga mengubah perilaku pelajar.
Pada titik inilah, memperkuat keluarga sebagai basis pendidikan anak menjadi penting dan urgen. Tetapi, tidak semua keluarga punya semangat dan etos yang sama untuk ikut berperan dalam proses pembangunan karakter anak melalui pendidikan di rumah. Rendahnya kesadaran akan pentingnya peran keluarga dalam keberhasilan pendidikan anak menjadi penyebabnya.
Rendahnya kesadaran ini sesungguhnya disebabkan rendah dan lemahnya tradisi literasi. Negara-negara maju selalu kuat tradisi literasinya, sejak kanak-kanak, dalam keluarga. Sehingga, ketika dewasa pun tradisi itu kuat melekat. Oleh karena itu, keluarga harus melek literasi agar terbangun mindset ilmiah. Keluarga yang punya tradisi literasi kuat akan sangat membantu perkembangan anak dalam proses pendidikannya di sekolah. Anak mungkin akan bisa melampaui apa yang telah didapatkannya di sekolah. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang punya tradisi literasi kuat akan menjadi anak yang tidak hanya pintar, cerdas, berwawasan luas, tetapi juga punya etos, kepekaan dan empati serta kepribadian yang baik dan kuat.
Wallahualam Bhis-shawaab
———- *** ———-

Tags: