Penegakan Hukum dan Budaya Ewuh Pakewuh

Oleh :
Adam Setiawan, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.

Secara expressis verbis Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Di balik itu ada alasan historis yang kuat mengapa Negara Republik Indonesia mencantumkan secara tegas ide negara hukum, Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.

Seperti diketahui negara Republik Indonesia pernah merasakan dua rezim otoriter yang sarat akan orientasi daulat kekuasaan yang memarginalisasi daulat hukum. Tepatnya rezim Orde Lama dan puncaknya pada rezim Orde Baru.

Hukum hanya ditempatkan sebagai subordinasi dari politik, bukan rahasia umum lagi kalau penegakan hukum tidak dilaksanakan sebagamaina mestinya, karenanya pameo penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas bersifat aksiomatis.

Oleh karena itu tepat rasanya pasca runtuhnya rezim Orde Baru, reformasi dilakukan secara masif salah satunya melalui reformasi konstitusi (constitutional reform) yang salah satu poin perubahan menyebutkan secara tegas dalam UUD NRI 1945 bahwa Negara Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum (rechsstaat), mengingat gagasan negara hukum diadopsi guna sebagai perisai untuk menangkis lahirnya kekuasaan absolut.

Bicara soal negara hukum, tentunya saat ini kita menaruh harapan besar terhadap pemerintah untuk konsisten menegakkan hukum secara adil dan memprioritaskan kepentingan publik (rakyat). Namun kenyataan empirik di tengah pandemi Covid-19 kondisi penegakan hukum (law enforcement) mengalami dekadensi dilihat dari beberapa hasil survei misalnya hasil survei Charta Politika tahun 2020 menunjukan penilaian kondisi penegakan hukum mengalami penurunan. Kemudian survei Litbang Kompas Oktober 2020 menunjukan 54,4% responden merasa tidak puas dengan upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah.

Minimnya Keadilan

Sebagai catatan kualitas penegakan hukum yang ada dapat dianalogikan seperti berlari di atas treadmill, berlari berkeringat namun hanya di tempat yang sama. Dengan kata lain penegakan hukum saat ini mengalami stagnanasi.

Dapat dilihat dari praktik penegakan hukum yang ada misalnya merujuk pada kasus yang menimpa penyidik senior KPK Novel Baswedan “penyiraman air keras Novel Baswedan” terdapat disparitas Putusan, seperti diketahui vonis terhadap masing-masing terdakwa hanya diberikan hukuman 2 Tahun dan 1,5 Tahun. Sedangkan dalam kasus yang hampir serupa penyiraman air keras dijatuhi hukuman hingga belasan tahun.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengapa terdapat perbedaan hukuman yang cenderung tidak adil.

Beralih dari kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, penegakan hukum tidak dilakukan secara adil dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq yang diduga menimbulkan kerumunan di beberapa lokasi. Padahal jika dibandingkan selama kampanye pilkada banyak calon kepala daerah yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan namun tidak jelas tindak lanjutnya.

Perihal tulisan ini penulis tidak membenarkan terhadap seluruh kegiatan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan, penulis hanya menekankan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan merupakan suatu keniscayaan, sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum yang baik harus mengakomodir kepastian hukum, keadilan maupun kemanfaatan. Maka dari itu demi menumbuhkan rasa kepercayaan publik proses penegakan hukum harus dilakukan secara imparsial.

Ewuh Pakewuh

Pameo penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas kini mengalami perubahan seiring narasi yang berkembang di ruang publik bahwa penegakan hukum tajam ke oposan (kadrun) tumpul ke cebong. Istilah cebong, kampret dan kadrun yang diambil dari nama binatang ini tidaklah tepat digunakan karena istilah demikian akan menjadi preseden buruk dalam dunia pendidikan dan sejarah perpolitikan negera ini.

Terlepas dari istilah tersebut, perlu dicermati penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terkesan berat sebelah menyasar pada kubu yang tidak sealiran dengan pemerintah.

Dibuktikan dengan beberapa kasus yang menimpa para pendukung pemerintah hingga kini tidak jelas tindak lanjutnya. Yang menjadi pertanyaan Penulis apakah penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dipengaruhi dengan budaya ewuh pakewuh. Budaya ewuh pakewuh merupakan sikap sungkan atau rasa segan serta menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior (Soeharjono:2011).

Menurut Tobing ewuh pakewuh tidak hanya terjadi terhadap atasan atau senior melainkan muncul akibat individu sudah mengenal atau banyak menerima suatu kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu tersebut akan sulit untuk menolak atau mengabaikan (Tobing:2010).

Sudah banyak kajian ilmiah yang membahas mengenai budaya ewuh pakewuh khususnya yang bersinggungan dengan realitas birokrasi.

Dari kajian ilmiah yang ada sebagian besar konklusinya menyatakan bahwa budaya ewuh pakewuh memberikan dampak negatif. Jika dianalisa budaya ewuh pakewuh merupakan kerikil yang harus dihindari saat upaya penegakan hukum dilakukan karena pertama, budaya ewuh pakewuh akan mengganggu profesionalitas penegak hukum; kedua, integritas penegak hukum dan ketiga, merusak tatanan sistem yang sudah baik. Oleh karena itu sudah seyogianya penegakan hukum dilakukan secara imparsial mengedepankan prinsip equality before the law.

———- *** ———–

Tags: