Penentu Atas Ditahan atau Tidaknya Tersangka di Kejati Jatim

dr Faizal Arief saat melakukan pemeriksaan terhadap jaksa di lingkungan Kejati Jatim, Kamis (28/7). [abednego]

dr Faizal Arief saat melakukan pemeriksaan terhadap jaksa di lingkungan Kejati Jatim, Kamis (28/7). [abednego]

Sosok dr Faizal Arief, Dokter Kejati Jatim yang Luput dari Perhatian
Kota Surabaya, Bhirawa
Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-56 di Kejati Jatim selalu diselingi dengan prestasi kinerja antar kejaksaan di daerah-daerah. Begitu juga dengan penghargaan yang diberikan terhadap jaksa yang berprestasi. Namun, dari rangkaian kemeriahan peringatan hari Bhakti Ahyaksa di Kejati Jatim, ada satu sosok yang luput dari perhatian. Padahal, perannya juga penting terhadap lancarnya penanganan kasus, pidana umum atau pidana khusus.
Dialah kedua yang berkuasa setelah Kepala Kejati Jatim dalam menentukan tersangka bisa ditahan atau tidak, atau saksi yang sudah uzur bisa dimintai keterangan atau tidak.
Sosok yang luput dari perhatian itu ialah dokter kejaksaan. Di Kejati Jatim, dokter yang bertugas di klinik kejaksaan berkantor di Jalan A Yani Surabaya itu bernama dr Faizal Arief. Dua tugas pokok Faizal di Klinik Kejati Jatim yakni melayani PNS kejaksaan dan keluarganya, juga keluarga pensiunan jaksa.
“Di sisi lain, tugas kami juga membantu penyidik memeriksa kesehatan pihak berperkara, seperti tersangka, saksi, maupun tahanan kejaksaan,” katanya saat ditemui Bhirawa di ruang praktiknya, Kamis (28/7).
Soal penanganan pihak berperkara, pria kelahiran Banyumas Jateng ini dikenal objektif di lingkungan Kejati Jatim. Ia akan membuatkan resume medis sesuai hasil pemeriksaanya. “Kalau pasien, baik tersangka yang akan ditahan atau saksi yang akan diperiksa kesehatannya memungkinkan diproses, ya kami sampaikan sesuai yang kami lihat dan diagnosisnya,” ungkapnya.
Namun, lanjut Faizal, jika ditemukan indikator gangguan kesehatan yang perlu ditindaklanjuti pada tersangka, ia memberikan rekomendasi ke penyidik agar dimintakan second opinion (pendapat pembanding) dari dokter ahli, atau bahkan direkomendasikan dirujuk ke rumah sakit. “Di sini biasanya second opinion atau rujukannya ke RSUD dr Soetomo atau RSAL,” terang dia.
Menangani pasien berperkara, papar Faizal, bukan tanpa tantangan. Acap kali Ia harus berlawanan dengan second opinion dari dokter yang dibawa oleh tersangka, yang berupaya agar lolos dari penahanan. “Tapi kami tetap berpegangan pada hasil pemeriksaan kami. Jika ternyata tidak ditemukan indikator gangguan kesehatan, kami tetap keluarkan resume medis sebagai rujukan yang memungkinkan untuk ditahan,” bebernya kepada Bhirawa.
Bahkan, lanjut pria 32 tahun ini, ada tersangka yang pernah merayunya dengan imbalan materi untuk mengeluarkan resume medis yang menerangkan bahwa tersangka sakit, agar lolos dari penahanan. “Pernah ada, tapi kami tetap sesuai tupoksi, resume sesuai apa yang kami lihat, sesuai hasil diagnosis. Saya tolak (suap tersangka itu),” tegas Faizal.
Bukan hanya pada pihak berperkara, Faizal juga tegas kepada jaksa. Kerap ada jaksa yang meminta surat keterangan sakit kepadanya untuk digunakan izin tidak masuk kerja. Padahal, si jaksa tidak sakit. “Kami tetap keluarkan resume medis sesuai hasil pemeriksaan. Kalau tidak sakit, ya resumenya tidak sakit,” tutur dia.
Karena sikap tegasnya itu, Faizal beberapa kali menerima sindiran tak enak dari beberapa jaksa yang gagal meminta surat sakit bolos darinya. “Kalau didamprat belum pernah, tapi disindir-sindir saja. Tapi pada umumnya komunikasi kami dengan jaksa dan pegawai di sini baik,” pungkasnya. [Abednego]

Tags: