Penetapan Upah Minimum 2022, Naik atau Tetap?

Oleh :
Wahyu Hidayat R
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Berbeda halnya dengan penetapan Upah Minimum (UMP/UMK) tahun 2021, penetapan Upah minimum tahun 2022 pada bulan November ini menjadi menarik untuk di kaji. Format baru penetapan dan Penyesuaian UMP/UMK berdasarkan PP no 36 tahun 2021 memunculkan berbagai penafsiran ditengah kemudahan dan kepastian penggunaan formula perhitungan UMP/UMK. Apalagi kemenaker telah merilis aplikasi sistem informasi pengupahan ( wagepedia.kemnaker.go.id) untuk menghitung besaran UMP/UMK tahun 2022. Kemudahan dalam menghitung UMP/UMK tahun 2022 melalui program kalkultor upah minimum ini membuat siapapun bisa mengakses besaran UMP/UMK tahun 2022 tanpa menunggu pengumuman resmi pemerintah provinsi.

Hasil hitung kalkulator upah minimum yang mengacu pada formula perhitungan PP 36 tahun 2021 sangat berbeda jika dibandingkan dengan formula perhitungan UMP/UMK pada PP 78 tahun 2015. Jika pada perhitungan UMP/UMK sebelumnya ditentukan oleh besaran Pertumbuhan ekonomi dan Inflasi Nasional yang mendorong kenaikan UMP/UMK setiap tahunnya, maka perhitungan UMP/UMK dengan formula PP 36 tahun 2021 ini menunjukan hasil UMP/UMK naik atau UMP/UMK tetap. Secara tidak langsung formulasi yang mengacu pada UU Cipta Kerja tahun 2020 ini telah mampu mengerem laju kenaikan UMP/UMK secara signifikan.

Sebagai gambaran di Provinsi Jawa Timur, upah minimum provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar Rp. 1,891,567 naik 1,22% dibanding UMP 2021 sebesar Rp. 1,868,777. Kenaikan UMP tahun 2022 ini masih lebih kecil dibanding kenaikan UMP tahun 2021 yang mencapai 5.65 %. Kenaikan UMP 2021 Jawa Timur menjadikan satu-satunya provinsi yang prosentase kenaikan UMP nya tertinggi di Indonesia, termasuk Jawa Timur sebagai salah satu provinsi yang tetap menaikkan UMP di tengah edaran kemnaker yang memutuskan tidak ada kenaikan UMP karena faktor pandemi covid 19.

Formulasi perhitungan UMP/UMK mengacu pada PP 36 tahun 2021 memang memunculkan hasil UMP/UMK naik atau tetap. Dalam kasus perhitungan UMP tahun 2022, UMP Jawa Timur yang hanya naik 1.22% tentu memunculkan ruang diskusi yang panjang. Ada kepentingan pemerintah provinsi dalam hal ini Gubernur yang dianggap akomodarif dengan serikat pekerja (mengacu pada kasus penetapan UMP tahun 2021) dan kalangan pekerja yang menginginkan kenaikan UMP/UMK 7%-10% yang tidak mengacu pada PP 36 Tahun 2022. Apalagi kenaikan UMP 2022 ini Jawa Timur pada dasarnya masih di bawah inflasi Jawa Timur sebesar 1.92%. Bisa jadi dengan kondisi seperti ini, Gubernur jawa Timur masih berupaya untuk mencari celah kemungkinan kenaikan UMP 2022 yang dianggap proporsional dengan kondisi Jawa Timur. Pertanyaan besarnya, apakah kondisi saat ini akan mengulang kembali ketika Gubernur Jawa Timur membuat kebijakan yang mendorong kenaikan UMP 2022 di atas tingkat inflasi jawa Timur ?.

Berbeda halnya dengan perhitungan penyesuaian UMP 2022 di tingkat Provinsi, perhitungan penyesuaian UMK 2022 pada kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi sangat variatif. Dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur terdapat 10 Kab/Kota ( Kab.Pacitan, Kab.Gresik, Kab.Sidoarjo, Kab.Pasuruan, kab. Jombang, Kab Mojokerto, Kab. Jember, Kab. Malang, Kab. Probolinggo dan Kota Pasuruan) hasil hitung UMK 2022 menunjukan penurunan, yang artinya pada 10 Kab/Kota tersebut besaran UMK 2022 akan sama dengan UMK 2021 tidak ada kenaikan. Sementara itu pada 29 Kab/Kota lainnya di Jawa Timur besaran UMK 2022 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0.61 % jauh di bawah tingkat inflasi jawa Timur sebesar 1,92%.

Yang menarik, daerah Kab/kota yang selama ini menduduki ring 1 investasi di Jawa Timur dengan UMK tertinggi , yaitu Kab. Gresik, Kab. Sidoarjo, Kab. Pasuruan dan Kab. Mojokerto justru UMK 2022 tetap. Ini artinya pada daerah-daerah tersebut terjadi penurunan konsumsi masyarakat perkapita secara signifikan. Sedangkan 29 Kab/Kota lainnya di Jawa Timur yang rata-rata kenaikan UMK 2022 hanya mencapai 0.61 % (tertinggi Kota Madiun 1,.83%) di bawah tingkat inflasi jawa Timur 1,92% tentu akan memunculkan banyak ketidakpuasan terutama di kalangan serikat pekerja. Kondisi ini akan semakin mendorong kuatnya Tarik ulur besaran kenaikan UMK 2022 setelah resmi diajukan pemerintah. Kecilnya prosentase kenaikan UMK 2022 hasil formula perhitungan penyesuaian UMK berdasarkan PP 36 tahun 2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja akan semakin sulit untuk menurunkan disparitas UMK antar wilayah.

Kecilnya prosentase kenaikan UMK 2022, mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah untuk mengerem laju kenaikan UMK seperti periode sebelumnya cukup berhasil. Salah satu alasan yang mendorong pemerintah mengerem laju kenaikan UMK melalui PP 36 tahun 2021 adalah anggapan bahwa besarnya upah minimum di Indonesia terlalu tinggi (Menaker, 2021).

Tinggi rendahnya upahnya minimum di Indonesia memang tergantung dari sudut pandang pengguna dan regulator upah (pemerintah), namun bagi kalangan pekerja persoalannya apakah kenaikan dan tetapnya UMK 2022 ini mampu menjawab dan memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja yang dalam realitasnya belum bisa menutup pengeluaran riil pekerja disesuaikan dengan tingkat upah yang diterima pekerja. Belum lagi relasi pekerja dan pengusaha yang cenderung meletakan pekerja di bawah subordinat pengusaha, sehingga banyak kalangan pekerja yang tidak memiliki pilihan apalagi di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk.

Pada akhirnya, implentasi penetapan upah minimum (UMP/UMK) berdasarkan PP 36 tahun 2021 akan memunculkan penafsiran yang berbeda antara pemerintah , pengusaha dan pekerja. Bagi pemerintah, formulasi penyesuai upah minimum secara langsung mampu mengerem prosentase kenaikan UMK. Bagi Pengusaha, semakin kecil prosentase kenaikan UMK di tengah situasi pandemi ini tentu akan lebih meringankan. Bagi pekerja, kenaikan UMK atau UMK tetap dengan format baru PP 36 tahun 2021 tetap menjadi persoalan karena upah yang mereka terima apakah masih dapat menutup kebutuhan dan pengeluaran riil para pekerja ditengah meningkatnya kebutuhan hidup.

Problem besar dalam sistem pengupahan tidak bisa dilihat dari satu sisi bahwa upah minimum di Indonesia dianggap terlalu tinggi, namun praktek pengupahan di lapangan justru menunjukkan kenyataan yang berbeda.Hasil kajian menunjukkan, banyak diantara pengusaha justru menggunakan patokan upah minimum sebagai upah maksimum termasuk tidak membedakan masa kerja. Hasil pemantauan upah minimum menunjukkan masih banyak kalangan pengusaha (54%) yang belum membayar pekerja sesuai upah minimum yang berlaku. Barangkali inilah tantangan terbesar pemberlakukan sistem pengupahan baru yang mengacu pada PP 36 tahun 2021. Keberhasilan dalam mengerem kenaikan upah minimum (UMP/UMK 2022) seharusnya diimbangi dengan kemampuan pemerintah untuk menegakkan aturan bagi para pengusaha yang tidak membayar upah minimum sesuai ketentuan.

————- *** ————-

Tags: