Pengalaman (tidak) Berprestasi

Karikatur SepakbolaATLET kontingen Indonesia pada SEA Games sudah tiba di kampung halaman masing-masing. Tetapi tidak kepala tegak, melainkan tertunduk, karena tidak berprestasi. Posisi Indonesia dalam SEA Games, merupakan “buah”  pembinaan olahraga selama empat tahun terakhir. Kini, Indonesia dilihat (oleh negara tetangga), cukup hanya dengan sebelah mata. Karena prestasi olahraga identik dengan situasi negara, secara politik maupun ke-ekonomi-an.
Paradigma meyakini, bahwa prestasi ke-olahraga-an, inharent dengan tingkat kemakmuran suatu bangsa. Hal itu tergambar dari statistik perolehan medali selama kesertaan dalam SEA Games. Indonesia baru masuk tahun 1977 (SEA Games ke-9), dan langsung menjadi juara umum. Kita pahami, saat itu situasi politik Indonesia dalam tren “harmonisasi” oleh orde baru. Parpol (partai politik) cuma tiga institusi.
Sejak peratama kali mengikuti SEA Games di Kuala Lumpur itu, berturut-turut tetap menjadi “incumbent” pada tahun 1979, 1981, dan 1983. Pembinaan olahraga prestasi dikelola bersama, antara pemerintah dan masyarakat kalangan pengusaha (konglomerat). Walau secara formal, alokasi anggaran dalam APBN tergolong pas-pasan. Selama hampir satu dekade itu situasi perekonomian Indonesia sedang mulai melaju pesat. Pertumbuhan (ekonomi) tercatat tak pernah kurang dari 7%.
Setelah empat kali berturut-turut menjadi juara umum SEA Games, pernah dihentikan Thailand, pada tahun 1985. Tetapi berhasil menjadi juara umum lagi, terturut-turut lagi sebanyak 4 kali lagi (1987, 1989, 1991, dan 1993). Lalu dikalahkan Thailand lagi (1995). Namun sekali lagi bisa merebut juara umum tahun 1997. Lalu “istirahat panjang” selama 12 tahun. Indonesia terakhir menjadi juara umum pada SEA Games ke-26, di Palembang, tahun 2011.
Seharusnya, Indonesia tidak perlu bosan menjadi juara umum SEA Games. Seperti Amerika Serikat (AS) yang tidak pernah menjadi juara umum Olympiade.   Indonesia sudah 10 kali juara umum, 2 kali runner-up, dan 4 kali di posisi ketiga kejuaraan SEA Games. Menyimak pengalaman prestasi itu, kontingen merah-putih seharusnya menjadi “macan” olahraga prestasi kawasan Asia Tenggara. Posisinya tak lepas dari tiga besar.
Menyimak statistik lain (jumlah medali), totalnya telah diraih sebanyak 4.410 medali. Yakni, terdiri dari 1.602 emas, 1.413 perak, dan perunggu 1.395 keping. Posisi kedua diraih Thailand, dengan total 4.146 keping (1.513 emas, 1.318 perak dan 1.315 perunggu). Artinya, potensi untuk membangun kembali prestasi olahraga masih terbuka lebar. Konon, hanya perlu “menyesuaikan” pola pembinaan berbasis kesejahteraan atlet (dan pelatih).
Emas (prestasi) paling spektakuler, diperoleh ketika menjadi tuan rumah SEA Games ke-19 di Jakarta (tahun 1997). Sekaligus juara umum dengan memperoleh 194 emas. Prestasi ini belum terpecahkan oleh juara umum SEA Games negara manapun. Pada SEAG ke-27 (2013) di Myanmar terdapat 33 cabor. Kontingen Indonesia meraih medali emas 64 keping. Posisinya menempati urutan keempat.
Mengambil pengalaman (tidak berprestasi) pada SEA Games ke-28 Kuala Lumpur, tidak bisa tidak, harus berbenah. Posisi kelima baru kali ini dialami, karena paceklik medali (hanya diperoleh 47 emas). Tren melorot masih tetap mengancam, karena di bawah Indonesia terdapat Filipina. Pada SEA Games ke-27 di Myanmar, masih pada posisi keempat, dengan meraih 64 keping emas. Jika Thailand juara lagi pada dua kali SEA Games mendatang, maka posisi “juara abadi”  (medali terbanyak) akan lepas dari Indonesia.
Melorotnya preastasi kontingen Indonesia pada ajang SEAG,  diantaranya disebabkan tidak fokus. Hampir seluruh perhatian hanya tercurah pada politik dan perebutan kekuasaan. Termasuk konglomerat, lebih memilih “membina” politisi dibanding membina atlet. Bahkan banyak pengusaha turut aktif dalam kegiatan politik praktis, ogah mengurus cabang olahraga.

                                                                                                               ———   000   ———

Rate this article!
Tags: