Pengamat Pendidikan: Jangan Jadikan Pendidikan Profit Oriented

Drs Martadi

Jika Tetap Dilakukan, Disparitas Pendidikan Meningkat
Surabaya, Bhirawa
Kluster pendidikan tak luput dalam pembahasan RUU Omnibus law Cipta Kerja. Dalam paragraf ke 12 pasal 65 menyebut Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Tak ayal hal tersebut memantik persoalan baru dalam dunia pendidikan. Bahkan tak sedikit yang menyebut jika aturan tersebut mencederai dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31.
Pengamat dan Praktisi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Martadi menilai jika aturan tersebut bisa berpotensi dan mengarah pada komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.
“Saya tidak sependapat (adanya kluster pendidikan dalam Omnibus Law). Saya khawatir jika pendidikan dikategorikan sebagai kegiatan usaha ini akan berpotensi menghasilkan profit oriented. Di mana lembaga baru yang berusaha menyelenggarakan layanan pendidikan berbayar bahkan tak terjangkau masyarakat tertentu,” ujar Martadi kepada Bhirawa, Minggu (11/10)
Dijelaskan Martadi, pendidikan berdasarkan profit oriented akan memunculkan persolan meningkatnya disparitas pendidikan. Di lain sisi tugas pemerintah adalah mengurangi disparitas di berbagai daerah di Indonesia.
“Sekarang saja (dengan sistem pendidikan nirlaba, red) kesenjangan masih terjadi. Antara sekolah satu dan lainnya kualitasnya tak sama. Kalau (kebijakan) tidak hati-hati akan menjadi pendidikan tertentu yang eksklusif, jadi ada pendidikan tertentu yang hanya dinikmati orang-orang tertentu. Celakanya jika itu pendidikan asing,” jabar dia.
Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pendidikan yang “Franchise” seperti lembaga pendidikan dari Singapura atau berbagi negara lainnya. Bukan tanpa alasan, Martadi menuturkan hal tersebut karena segmen pendidikan Indonesia sangat potensial. Di mana kalangan menengah ke atas butuh layanan pendidikan bermutu berani bayar mahal. Alhasil, yang terjadi justru menjadi peluang dibuatnya usaha pendidikan yang hanya dinikmati sebagian masyarakat Indonesia.
“Meskipun beberapa alibi yang disampaikan pemerintah dan DPR, pendidikan usaha hanya berlaku untuk daerah khusus KEK (kawasan ekonomi khusus) tapi menurut saya apapun itu, di KEK pun, undang-undang tidak boleh membedakan. Tidak mengenal daerah manapun harusnya UU diberlakukan sama. Begitu pun pendidikan tidak boleh ada pemilahan antar daerah,” tegasnya.
Jika kluster pendidikan dalam RUU Omnibus Law paragraf ke 12 pasal 65 tetap dijalankan, pihaknya khawatir akan semakin luas dampak yang akan ditimbulkan karena tak sedikit perusahaan besar yang melirik pendidikan potensial sebagai profit oriented.
“Artinya UU (RUU Omnibus Law) ini secara historis bertentangan dengan pendidikan kita, karena pendidikan kita nirlaba. Kedua, Pendidikan kita harus menekankan pada kebudayaan Indonesia di mana salah satu landasan filosofisnya yang harus dikedepankan,” kata dia.
Jika ini menjadi profit, imbuhnya maka akan bertentangan dan mencederai UUD 1945 pasal 31 yang menyebut “bahwa semua warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Dan Pemerintah harus menyiapkan dan menjamin fasilitas itu setiap warga negara”.
“Ini (lewat RUU Omnibus Law, red) seolah-olah pemerintah melepaskan tanggung jawab dan memberikan ke swasta untuk memberikan layanan. Pendidikan dan masyarakat disuruh membayar itukan logika yang menurut saya tidak senafas dengan spirit UUD 45 pasal 31 ayat 1 dan ayat 2,” urainya.
Karenanya, sebagai pegiat pendidikan Martadi meminta agr pemerintah mengeluarkan pasal 65 dalam RUU Omnibus Law yang mengatur soal kluster pendidikan. Bahkan ia menyebut jika bisa masyarakat melakukan gugatan ke MK, mengingat kebijakan tersebut memgancam berbagai entitas pendidikan yang sudah ada. seperti sekolah negeri dan swasta.
“Maka ini menjadi consern di gugatan MK. Seperti pasal 65 tertentu yang harus dibatalkan. Jika Perpu tidak bisa MK tidak bisa, maka segera presiden mengeluarkan perpres yang harus menyatakan sikap tegas bahwa pasal 65 harus dibatalkan, tututan saya itu. Jadi tidak ada deskriminasi pendidikan. Pendidikan jangan ada embel-embel potensi laba. Begitu ada peluang maka ini akan bergerak ke (daerah) lain,” pungkasmya. [ina]

Tags: