Pengasuhan Keluarga dalam Membentuk Karakter Anak di Jepang

Oleh :
Nur Kumala Hapsari Meilani
Penulis adalah mahasiswa Prodi Kejepangan Universitas Airlangga (Unair), Surabaya

Ketika gempa bumi besar melanda bagian timur laut Jepang, dunia dibuat takjub oleh kekuatan mental orang Jepang. Mereka menempatkan kepentingan umum dan keselamatan standar di atas kepentingan pribadi.

Kita sering mendengar tentang budaya antre mereka yang tertib dan cerita tentang dompet yang hilang yang selalu kembali. Karakter mental dan kepribadian orang Jepang tentu tidak muncul begitu saja.

Pendidikan di sekolah memiliki peran yang signifikan, berjalan dinamis dengan tradisi dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga di rumah. Bersamaan dengan sekolah, keluarga merupakan faktor penting dalam pembentukan karakter di Jepang.

Dari sinilah kerjasama, komunikasi, dan keharmonisan antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun. Tidak dilakukan secara intensif di sekolah, sehingga ada pembagian peran dan tanggung jawab yang terpisah antara guru dan orang tua.

Pada akhir pendidikan taman kanak-kanak, ketika anak-anak harus memberi kesan singkat setelah menerima ijazah, banyak dari mereka, bahkan hampir semuanya, akan berbicara tentang Gambaru. Indonesia memaksa sekolah mengejar nilai melalui jalan pintas dengan mengabaikan proses pembentukan karakter siswa. Jika character building menjadi poin esensial pendidikan nasional, kita bisa mulai mewujudkannya di lingkungan keluarga di rumah.

Pola asuh orang tua dapat dipengaruhi oleh budaya atau adat istiadat masyarakat di suatu negara itu sendiri, seperti dalam masyarakat Jepang yang disebut ikuji yang berarti mengasuh, membesarkan dan mendisiplinkan anak.

Pengasuhan yang tidak seimbang juga dapat mempengaruhi kepribadian anak, misalnya, kasus single parent di Jepang, ibu harus menanggung beban yang meliputi memantau perkembangan fisik dan mental anak, melindungi anak , mendidik anak, dan memenuhi kebutuhan ekonomi. Antara tahun 2005 dan 2015, jumlah kelahiran di Jepang menurun dari 1.062.530 menjadi 1.005.677. Pada periode yang sama, kekerasan terhadap anak meningkat dari 34.472 menjadi 103.286 (Badan Pusat Statistik, 2021) Selama sepuluh tahun itu, kasus kekerasan terhadap anak usia 0-2 per 1.000 anak seusia menunjukkan peningkatan tajam dari 2 menjadi 7 kasus (Goto et al., 2020).

Pada abad kedua puluh satu, orang tua telah menyadari bahwa anak-anak dapat berperilaku baik, kooperatif, dan sopan tanpa pernah dihukum secara fisik Pernyataan ini menunjukkan perubahan signifikan dalam mendidik anak dalam Amerika. Sementara itu, Jepang sedang mengalami proses transisi serupa namun lebih lambat.

Dalam tulisannya, Baba dkk (2020) menjelaskan bahwa pelarangan hukuman fisik pada anak di Jepang baru berlaku pada April 2020. Mengubah hukum saja tidak cukup untuk mengubah perilaku masyarakat. Menyadari kondisi ini, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan memulai kampanye pada tahun 2019 untuk melarang “Ai no Muchi”, istilah yang mengacu pada disiplin kekerasan. Kesamaan Pekerjaan dan Biro Kebijakan Anak dan Keluarga, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Distribusi Kesejahteraan mempromosikan kampanye tentang pengasuhan anak tanpa hukuman fisik.

Menurut Baba et al. (2020), anak berjenis kelamin laki-laki, tinggal bersama saudara kandung, memiliki orang tua muda, berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah, berisiko tinggi mengalami pemukulan dalam keluarga. Hasil penelitian Baba menunjukkan tiga temuan, yaitu: pola asuh tradisional, ketimpangan sosial, dan kebutuhan untuk keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

Masalah pertama dan ketiga saling terkait. Dalam studi mendalam tentang keluarga Jepang dengan dua anak, ada perbedaan pola pengasuhan tergantung pada urutan kelahiran dan jenis kelamin anak. Putra pertama lebih tahan dengan pola asuh ayah. Seorang ayah dalam budaya Jepang ingin anak pertamanya menjadi panutan bagi keluarga. Bahkan dalam budaya barat, sebuah penelitian dari Belanda menjelaskan bahwa seorang ayah dengan sikap stereotip menurut peran gender menggunakan kontrol fisik dalam anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan sebagai strategi pengasuhannya.

Tindakan dalam mengubah dinamika keluarga memperkuat strategi khusus gender keduanya memiliki tanggung jawab yang sama di masyarakat dan di rumah dapat mengurangi paradoks lama yang mengarah pada kekerasan terhadap anak-anak, termasuk pemberlakuan hukuman fisik dalam keluarga Jepang.

Shimoda mengatakan, jika seorang ibu mengabaikan anaknya, maka anak tidak akan tumbuh menjadi orang yang dihormati dan dihargai. Dalam pola asuh, ibu-ibu di Jepang memiliki polanya masing-masing.

Dalam pola asuh anak usia 0-1,5 tahun, ketika anak masih membutuhkan perlindungan dari ibunya, ibu merawatnya dengan sentuhan fisik. Contohnya antara lain menyusui, memandikan, dan tidur bersama. Tujuannya agar tercipta hubungan yang erat dan aman antara ibu dan anaknya (Putri & Izmayanti , 2015).

Dalam pola asuh anak usia 1,5-3 tahun, ibu-ibu Jepang selalu menjaga makanan keluarga yang bergizi dan mendukung kesehatan anak-anaknya. Selain itu, para ibu Jepang mulai menanamkan pendidikan moral dalam disiplin, sopan santun, dan nilai-nilai budaya yang diyakini masyarakat. Selain pendidikan akhlak, ibu-ibu Jepang juga sudah mulai melatih anak-anak tentang tantangan ilmiah seperti berhitung, menguasai bahasa, dan kosa kata untuk mempersiapkan anaknya masuk sekolah. Ibu-ibu Jepang membimbing mereka untuk bergaul dengan baik dan memiliki perilaku yang baik untuk berbaur dengan masyarakat. Pendidikan rasa malu juga diajarkan kepada anak-anaknya. Rasa malu ini ditanamkan dengan sangat baik oleh ibu Jepang kepada anak-anaknya. Anak-anak harus memahami arti rasa malu sedini mungkin.

Di Jepang, pola asuh untuk menumbuhkan rasa takut dan malu juga diterapkan sejak kecil dalam budaya Minangkabau dan budaya Sunda (Firdaus, 2019). Ibu akan kembali bekerja ketika anaknya masuk sekolah dasar untuk mendapatkan uang tambahan guna menambah biaya pendidikan anaknya. Selain orang tua, pemerintah juga berperan penting dalam setiap tahapan membesarkan anak di Jepang, pemerintah memberikan tunjangan pengasuhan anak, tempat konsultasi, fasilitas taman bermain anak, dan tempat diskusi.

Kecerdasan untuk menyiapkan manusia yang berilmu dan terdidik sangat berperan dalam menciptakan generasi muda yang berkepribadian unggul. Orang tua dan pemerintah memperhatikan kesejahteraan dan pengasuhan anak, seperti memberikan tunjangan pengasuhan yang diterima ibu-ibu Jepang setiap tiga bulan sekali. Guru juga berperan dalam mencetak pemuda Jepang yang berkarakter baik. Dengan kepedulian dari orang tua terutama ibu, ditambah dukungan dari pemerintah, sekolah, dan masyarakat Jepang, memainkan peranan penting. Orang Jepang percaya bahwa pendidikan yang baik akan mengangkat derajat seseorang, sehingga membuat generasi muda Jepang selalu ingin belajar dan memiliki target pendidikan tinggi. Pengajaran empat kebajikan yang diajarkan oleh budaya Jepang seperti semangat kerja keras, antusiasme, dan jibun no koto o jibun de suru (tanggung jawab). Sementara itu, citra pembentukan karakter Jepang di Indonesia masih menjadi panutan.

Orang tua Jepang menanamkan semangat kebersamaan di rumah seiring bertambahnya usia anak-anak mereka. Orang tua Indonesia, tidak ada hubungannya dengan pembentukan karakter anak. Uniknya di kedua budaya tersebut, semangat kebersamaan berbanding terbalik dengan keinginan untuk berkumpul. Begitu juga dengan keluarga Indonesia yang suka berkumpul secara bersama-sama berdampak negatif pada penanaman nilai-nilai kerja keras, semangat, dan tanggung jawab. Dalam keluarga Indonesia, penanaman kerja keras berasal dari budaya penghindaran dan orientasi jangka panjang.

Ajaran tanggung jawab dan semangat berasal dari budaya menahan diri, sedangkan dimensi budaya tidak bisa menjelaskan asal mula kebersamaan yang tidak ada kaitannya dengan pembentukan karakter anak. Sedangkan dalam pola komunikasi keluarga Jepang, penanaman semangat berasal dari budaya penghindaran ketidakpastian. Dimensi budaya tidak bisa menjelaskan asal mula kebersamaan dan kerja keras. Hakikat kebersamaan diajarkan seiring bertambahnya usia anak, dan semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin mereka mengajarkan tentang pentingnya kerja keras.

Disini terlihat bahwa selain kondisi orang tua yang berbeda, latar belakang budaya dan kebijakan pendidikan pemerintah di Indonesia dapat membuat pendekatan yang berbeda ketika mengajarkan empat nilai budaya Jepang yang baik di Indonesia pada tingkat sekolah. Pelajaran tentang kerja keras dan semangat dipengaruhi oleh kebiasaan orang Indonesia. Sedangkan rasa tanggung jawab dan semangat berasal dari kebiasaan menahan diri, serta nilai kerja keras berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang cenderung berorientasi jangka panjang.

———- *** ———

Tags: