Pengemis dan Realitas Sosial

28-pengemisOleh :
Syarifah Itsnaini
Mahasiswa jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang
Setiap hari, setiap kali penulis akan berangkat ke kampus maupun akan pulang dari kampus di daerah Tlogomas, Malang, maka di situ pula penulis akan melihat pemandangan yang lazim terlihat  dan sudah merupakan kegiatan yang selalu penulis saksikan setiap harinya. Banyaknya pengemis yang bertebaran di sudut-sudut jalan dan juga warung-warung yang banyak menghiasi kota dingin itu.
Banyak di antara pengemis yang penulis saksikan yang bahkan sangat tidak pantas jika berprofesi sebagi pengemis jika di nilai dari segi penampilannya. Dengan pakaian yang cukup layak bagi ukuran pengemis, menyandang tas yang agak kumal, dan juga memegang kecrek-kecrek yang berasal dari tutup minuman bekas, mereka menjalani  profesi mereka dengan langkah yang ringan. Hal itu jelas, selain merusak pemandangan kota,  juga berakibat kepada pudarnya citra baik dari suatu pemerintah kota di dalam menyejahterakan rakyatnya.
Harus diakui bahwa keberadaan pengemis dan pengamen adalah masalah sosial. Dan masalah pengemis adalah domain pemerintah, baik pemda, pemkot, maupun pemerintah pusat serta tanggung jawab kita bersama. Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) sejatinya telah melakukan penanganan Pengemis. Pengemis telah diberikan bekal pendidikan keterampilan dan tempat tinggal di panti sosial dengan harapan agar mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mengemis. Namun, lantaran sulit mendapat kerja, pengemis yang telah diberi pembinaan itu kembali lagi harus mengemis. Persoalan pengemis ini juga bukan hanya monopoli urusannya Negara Indonesia saja.Di beberapa negara makmur dan negara maju juga mempunyai masalah yang serupa. Amerika Serikat, Australia, bahkan Arab Saudia juga mempunyai masalah yang serupa.
Di USA, pernyataan departemen tenaga kerja AS pada bulan April menyatakan terdapat sebanyak enam juta orang yang menerima tunjangan pengangguran yang notabene kemungkinan besar juga berprofesi sebagai pengemis. Faktor penyebab menjadi pengemis jalanan dari faktor eksternal adalah tidak mempunyai modal untuk membuka usaha sendiri, susah mencari pekerjaan, tingginya penghasilan dari mengemis, keturunan dari orang tua yang menjadi pengemis, pasrah menerima nasib, pengaruh perkawinan dan lingkungan tempat tinggal yang mayoritas menjadi pengemis. Sedangkan faktor internal adalah karena penyakit, malas.
Motivasi mereka menjadi pengemis karena mencari uang dengan cara yang mudah. Maka memang harus di akui, menjadi pengemis adalah hal yang sangat mudah, tanpa perlu repot-repot menyiapkan lamaran kerja untuk di ajukan ke beberapa tempat kerjapun, uang tetap dapat di peroleh hampir setiap hari. Akan tetapi, menilik dari semua kenyataan ini, hakikat dari berusaha mencari pekerjaan yang halal tanpa meminta-minta tetap lebih baik daripada mengemis, di sini penulis mengutip pernyataan dari Bapak Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang mengedepankan semboyan ¨Kaya bermanfaat, miskin bermartabat¨.
Pada tanggal 16 desember 2013 kemarin, Pemkot Malang sempat membuat aturan tegas kepada pengemis, anak jalanan, dan gelandangan yang beroperasi di Kota Malang. Yakni hukuman kurungan maksimal tiga bulan dan denda paling banyak Rp50 juta. Sanksi ini diterapkan setelah draf rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Penanggulangan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis disahkan DPRD pada akhir Desember 2013.
Pada Bab X ketentuan pidana pasal 23 disebutkan, ada empat kriteria yang dikenakan sanksi kurungan maksimal. Yakni pengemis atau gelandangan. Kedua, pengemis atau gelandangan secara perorangan atau kelompok yang berusaha mempengaruhi orang lain agar menimbulkan rasa belas kasihan.
Dengan merujuk kepada ketentuan Pemkot malang di atas, seharusnya para pengemis yang bertebaran di sekitar kota Malang memang sudah tidak ada, akan tetapi fakta yang terjadi di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Para elit pemerintah sekarang masih di sibukkan dengan pemilu yang akan di laksanakan pada 9 April mendatang. Mengacu pada Pemilu yang serentak akan di laksanakan pada tanggal 9 april ini,  maka seharusnya para caleg yang terpilih untuk satu periode kedepan wajib hukumnya mengambil langkah memecahkan masalah ini. Tidak hanya di Kota Malang tapi di semua wilayah karena masalah pengemis jalanan adalah masala nasional.
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan harus mengarah bagaimana persoalan kemiskinan dapat dikurangi secara bertahap. Seperti tersedianya lapangan pekerjaan yang luas serta pembatasan kebijakan yang didasarkan kong-kalikong dengan pengusaha seperti pembangunan pusat perbelanjaan Mall dan supermarket. Secara garis besarnya yaitu program berbasis pemberdayaan masyarakat terlebih dahulu harus di kedepankan.
Menurut hemat penulis sendiri, dengan keberadaan pengemis yang semakin bertebaran di beberapa kota di Indonesia, khususnya kota Malang, selain dapat menurunkan hakikat manusia sebagai makhluk yang terlahir dengan kemampuan berusaha yang mulia, karena bagaimanapun tangan di atas pasti akan selalu lebih baik daripada tangan yang di bawah, juga dapat menghambat laju perkembangan negara kita menuju negara maju sehingga dapat mengejar Negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mendahului kita. Karena dengan sumber daya manusia yang baik, maka terbentuknya negara yang baik dan sejahtera akan segera terealisasikan.
Maka mulai dari sekarang, dengan memulai dari diri sendiri, mari kita canangkan kota bebas pengemis, misalnya dengan contoh kecil, tidak memberi kepada mereka yang meminta-minta di sekitar kita, agar mereka berpikir, bahwa masih banyak pekerjaan mulia yang dapat di lakukan selain mengemis.

Rate this article!
Tags: