Pengendalian Peningkatan Kemiskinan Ekstrem di Indonesia

Oleh
Haris Zaky Mubarak, MA
Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia.

Sampai saat ini, kondisi global masih berada dalam fase pemulihan ekonomi secara nyata. Imbas merebaknya wabah pandemi Covid-19. Selang waktu tiga tahun sejak wabah pandemi berlangsung pada 2020, tekanan dampak kian merusak sendi – sendi ketahanan kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk dalam menjaga ketahanan ekonomi sosial yang mengalami tekanan kuat akibat pembatasan sosial demi menekan persebaran wabah Covid-19. Tentu ini menjadi endemi masalah yang sangat besar. Karena itu wajib kiranya seluruh negara melakukan pemulihan menghadapi tekanan ini.

Belum selesai pergulatan masalah masyarakat dunia terhadap wabah, awal 2022 dunia kembali dikejutkan dengan tekanan invasi politik Rusia ke Ukraina. Situasi kehidupan masyarakat dunia nyatanya menjadi semakin berat karena dua negara yang berkonflik ini memiliki peran ekonomi yang sangat penting dalam sistem ketahanan pangan, komoditas dan energi secara global.

Implikasi yang penuh ketidakpastian akibat Covid-19 dan masalah geopolitik global menyebabkan masifnya tekanan inflasi dalam angka tinggi, bahkan banyak negara dunia sedang mengalami resesi yang hebat dimana laju pertumbuhan ekonomi negara mengalami nilai penurunan selama dua kuartal berturut-turut. Indikator resesi ini ditandai dengan turunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka pengangguran. Kontekstual inilah yang menyebabkan makin suburnya pertumbuhan kemiskinan pada lintas kehidupan masyarakat.

Terjadinya guncangan ekonomi hebat akibat pandemi disertai dengan utang yang terlalu berlebihan, serta investasi yang kurang efisien tampak semakin menyudutkan beban daya ungkit ekonomi negara. Selain itu, deflasi tak terkendali juga bisa menjadi penyebab resesi. Deflasi sendiri memiliki arti harga yang turun dari waktu ke waktu menyebabkan upah berkontraksi berlanjut ke penekanan harga. Hal ini membuat aktivitas perbelanjaan terhenti. Pada posisi ini fundamental ekonomi negara menjadi semakin rapuh, terlihat dari data indeks pertumbuhan ekonomi yang macet. Terjadinya krisis ekonomi biasa terlihat dari drastisnya penurunan kemampuan belanja pemerintah, daya beli masyarakat yang rendah, dan kenaikan harga bahan pokok yang tinggi adalah wujud implementasi dari keterpurukan kondisi ini.

Hadirnya Inflasi

Secara rasional resesi memiliki perbedaan yang jauh dengan krisis dimana dampak dari resesi bisa jadi lebih besar dan luas dalam rentang waktu yang lebih panjang dibanding krisis ekonomi biasa. Terjadinya kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertent disebabkan bertambahnya peredaran uang di masyarakat, biaya produksi yang meningkat serta ketidakseimbangan permintaan dan penawaran.Dampak inflasi membuat daya beli masyarakat menurun. Jika daya beli menurun dalam kurun waktu tertentu, otomatis pertumbuhan ekonomi menurun yang berujung pada resesi.

Desakan inflasi dapat berpotensi pula menjadi penyebab terjadinya krisis, bahkan resesi. Sementara itu, yang paling ditakutkan terjadi jika resesi tak kunjung berakhir adalah depresi ekonomi. Sampai saat ini inflasi menyapu berbagai negara di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara lain. Setidaknya 60% negara memiliki tingkat inflasi tahunan di atas 5%. Pada negara berkembang, inflasi bisa berada di atas 7%. Berdasarkan data Trading Economic pada April 2022, ada 10 negara dengan inflasi tertinggi dengan urutan pertama diduduki Venezuela dengan tinggi inflasi mencapai 222%, kemudian disusul oleh Zimbabwe (96,40%), dan kemudian Turki yang hampir mencapai 70% (Trading Economic, 2022)

Inflasi global diperkirakan sebesar 6,2%, atau 2,25% lebih tinggi daripada perkiraan Januari lalu.Bahkan Internasional Monetary Fund (IMF) telah menurunkan perkiraannya untuk 143 negara tahun ini yang menyumbang 86% dari produk domestik bruto (PDB) global (IMF, 2022). Hal ini jelas harus diperhitungkan banyak negara-negara yang ada di dunia saat ini karena inflasi yang lebih tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Tak pelak staglasi menjadi ancaman banyak negara. Stagflasi merupakan laju inflasi yang melampaui ekspektasi, sementara perkiraan pertumbuhan mengalami penurunan yang sangat cepat. Stagflasi dijelaskan dengan ciri di mana harga barang terus tinggi sementara penghasilan tidak naik. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran pada masyarakat.

Sampai saat ini, harga kebutuhan pokok pasaran makin bertambah naik, sementara nilai tukar masih lemah. Adapun lapangan pekerjaan semakin sulit, gaji dan upah tidak bertambah naik, sementara harga kebutuhan pokok terus naik. Sejak masa pandemi terjadi kenaikan kemiskinan ekstrim Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI), jumlah penduduk miskin sebesar 26,50 juta orang pada bulan September 2021. Jumlah tersebut turun 1,04 juta orang dari Maret 2021 dan turun 1,05 juta orang dari September 2020. Sementara itu, presentase penduduk miskin pada September 2021 yaitu sebesar 9,71 persen, turun 0,43 persen dari Maret 2021 dan turun 0,48 persen dari September 2020. (BPS RI, 2021)

Dalam analisa ini,penurunan kemiskinan di desa terjadi lebih cepat jika dibandingkan perkotaan. Pada Maret sampai September 2021, kemiskinan di kawasan perkotaan turun sebesar 0,29 persen. Sementara pada kawasan pedesaan turun sebesar 0,57 persen. Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah. Presentasenya yaitu 4,56 persen per September 2021. Selanjutnya Jakarta dan Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah kedua dengan 4,67 persen. (BPS RI, 2021)

Pada level berikutnya, ada Provinsi Bali dengan jumlah presentase 4,72 persen dan Kalimantan Tengah yang memiliki 5,16 persen tingkat kemiskinan. Selanjutnya, Kepulauan Riau berada pada urutan selanjutnya 5,75 persen. Kemudian disusul Sumatra Barat dengan 6,04 persen. Selama periode Maret 2021 sampai September 2021, garis kemiskinan naik sebesar 2,89 persen, yaitu dari Rp. 472.525 per kapita pada bulan Maret 2021 menjadi Rp 486.168 per kapita per September 2021. Indikasi ini jelas bukan hal yang lumrah. Disinilah pemerintah semestinya bertindak cepat merespon nilai peningkatan kemiskinan Indonesia.

Ada 3 langkah yang sesungguhnya dapat diambil pemerintah dalam mengendalikan terjadinya peningkatan kemiskinan ekstrim di Indonesia. Pertama, Pemerintah harus dapat mengendalikan grafik kemiskinan secara multi dimensional. Dalam rasional ini program pengentasan kemiskinan seyogyanya tak hanya memprioritaskan aspek ekonomi semata tapi juga memperhatikan tata kelola dimensi lain. Dengan kata lain, segala pemenuhan kebutuhan pokok perlu mendapat prioritas, namun harus dapat mengejar target mengatasi kemiskinan non ekonomik.

Kedua, optimalisasi strategi pengentasan kemiskinan hendaknya diarahkan pada konteks kemampuan dan produktivitas, strateginya adalah meningkatkan kemampuan dasar dari masyarakat miskin untuk memperbaiki pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan pendidikan, keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking), serta informasi pasar.

Ketiga, pemerintah harus melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, pengambilan keputusan. Dalam implementasinya, pemerintah harus membentuk banyak kolaborasi dalam fasilitasi bersama yang melibatkan banyak orang profesional dan swadaya masyarakat sehingga ekosistem sosial dan ekonomi dapat terelaborasi dengan baik. Dalam prosesual ini, proses dialog berbagai pihak yang berkepentingan terutama masyarakat miskin akan meningkatkan kesadaran dan kepedulian sehingga memberi aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat. Jika kolaborasi ini terus menerus dipelihara maka akan menjadi satu kesatuan yang saling mendukung dalam pemberantasan kemiskinan ekstrim di Indonesia.

———– *** ————

Tags: