Penghapusan Bantuan SMA/SMK di Surabaya Disesalkan

Foto: ilustrasi

Gitadi: Ini Kebijakan Emosional Akibat Pelimpahan
Surabaya, Bhirawa
Pemkot Surabaya telah menghapus anggaran untuk membantu penyelenggaraan SMA/SMK di Surabaya dengan nilai Rp180 miliar. Sebagai gantinya, anggaran untuk pendidikan non formal digenjot hingga lima kali lipat lebih tinggi.
Kebijakan tersebut diambil lantaran khawatir akan terjadi peningkatan anak putus sekolah secara drastis setelah pengelolaan SMA/SMK dialihkan ke provinsi. Cukup disayangkan. Sebab kebijakan tersebut diambil hanya karena sikap emosional pemerintah.
“Dugaan saya sedikit banyak ada faktor emosional. Sehingga, data yang diajukan masih berdasarkan asumsi. Ini kebijakan emosional akibat pelimpahan urusan ke provinsi,” terang pakar kebijakan publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas, Senin (21/8).
Menurut Gitadi, kurang fair jika hanya karena dikelola provinsi kemudian dikatakan angka putus sekolah akan naik. Seperti diketahui, Pemkot Surabaya telah meningkatkan sasaran angka pendidikan non formal dari 641 Warga Belajar (WB) menjadi 5981 WB. Anggarannya pun meningkat dari Rp2 miliar menjadi Rp 11 miliar.
“Ada yang lebih substansi. Tapi karena emosi dari Pemkot Surabaya sehingga mengorbankan sesuatu yang lebih substansi. Yaitu anak SMA/SMK yang sebenarnya masih bisa dibantu,” tutur Gitadi. Akan lebih baik, lanjut Gitadi, mengatasi angka putus sekolah jika dirundingkan dengan pemprov. Yaitu dengan sharing anggaran. “Kira-kira provinsi mampu berapa, kota berapa. Toh sama-sama duitnya negara,” tutur dia.
Gitadi menegaskan, pemerintah baik eksekutif maupun legislatif jangan menggunakan kaca mata kuda untuk kepentingan publik yang lebih luas. Karena jika dikatakan setelah dikelola provinsi anak putus sekolah lebih banyak. Logika ini bisa dibalik, karena pemkot tidak mau bantu lagi anak putus sekolah lebih banyak. “Karena faktor emosional tadi justru merugikan anak SMA/SMK yang nota benenya adalah anak-anak warga Surabaya,” tandasnya.
Dosen FISIP Unair ini berharap, pemerintah memiliki sikap yang lebih arif dan bijaksana untuk melihat peraturan perundang-undangan terkait kepentingan publik lebih luas. Birokrat dan legislatif yang memiliki sifat negarawan mestinya punya sikap-sikap seperti itu.
“Dengan adanya prediksi putus sekolah itu seharusnya bisa tidak terjadi jika pemkot mau membantu. Logikanya seperti itu, dicegah jangan sampai putus sekolah,” pungkas dia.
Sementara itu, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman menuturkan, upaya untuk mencegah kenaikan angka putus sekolah akan terus dilakukan. Sekolah, baik swasta maupun negeri akan dipantau secara khusus terkait hal ini.
“Karenanya, anak-anak yang rentan putus sekolah itu harus benar-benar didampingi baik oleh guru BK maupun sekolah secara umum. Jika persoalannya ekonomi, maka harus ada keringanan SPP, bahkan gratis,” tegas Saiful.

Tags: