Penguatan Fungsi Pengawasan DPRD

A'an EffendiOleh:
A’an Efendi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember

Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 149 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.
Penyebutan urutan fungsi DPRD (pembentukan perda-anggaran-pengawasan) bukanlah sekedar penyebutan tanpa makna tetapi yang disebut pertama menunjukkan fungsi utama DPRD dan baru fungsi yang disebut selanjutnya. Oleh sebab itu penyebutan urutan fungsi DPRD tidak dapat dibolak-balik dan harus mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 149 ayat (1) UU Pemda. Dengan demikian, fungsi utama DPRD adalah fungsi pembentukan perda baru disusul fungsi anggaran dan paling terakhir fungsi pengawasan.
Namun demikian, penempatan prioritas fungsi DPRD bukanlah harga mati yang tak bisa diotak-atik lagi. Bisa saja karena kondisi atau kebutuhan atau perkembangan dalam masyarakat menyebabkan dilakukannya perubahan terhadap urutan prioritas fungsi DPRD.
Andai itu terjadi maka lebih tepat kalau fungsi pengawasan ditempatkan sebagai fungsi utama DPRD dan bukannya fungsi pembentukan perda. Pengawasan adalah instrumen vital untuk menjamin bahwa pemerintah daerah tetap bekerja rel hukum atau pada batas-batas kewenangannya dan tidak menggunakan wewenangnya untuk merugikan warga negara.
Alasan Penguatan
Ide menempatkan fungsi pengawasan sebagai fungsi utama DPRD haruslah dilandasi alasan yang kuat dan rasional. Pertama, merujuk pada pemikiran filosof John Stuart Mill yang menyebutkan bahwa fungsi utama dari badan perwakilan rakyat adalah fungsi pengawasan (The proper office of a representative assembly is to watch and control the government) (Chen Friedberg & Reuvan Y. Hazan, 2012:2). Kedua, fungsi rutin DPRD sesungguhnya bukanlah fungsi pembentukan perda dan fungsi anggaran tetapi fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan adalah fungsi sehari-hari yang dijalankan oleh DPRD.  Ketiga, DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah bersama pemerintah daerah dan oleh sebab itu DPRD sesungguhnya adalah badan eksekutif. Fungsi hakiki dari badan eksekutif adalah melaksanakan peraturan bukan membuat peraturan meskipun badan eksekutif memiliki kompetensi membuat peraturan. Keempat, merujuk pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa materi muatan perda berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 14 UU 12/2011 sesungguhnya memberikan batasan mengenai perda apa saja yang dapat dibuat oleh pemerintah daerah.
Batasannya adalah perda itu untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas perbantuan, menampung kondisi khusus daerah, atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Seharusnya di luar batasan oleh Pasal 14 UU 12/2011 tidak perlu dibuat perda kecuali memang sangat diperlukan untuk dibuat sebuah perda.
Kelebihan Pengawasan DPRD
Pengawasan terhadap pemerintah daerah tidak hanya dilakukan DPRD tetapi juga dilakukan oleh pemerintah pusat, pengawas internal, badan peradilan, lembaga independen (Ombudsman dan semacamnya), masyarakat melalui partisipasi masyarakat, maupun oleh media massa.
Pengawasan DPRD memiliki karakteristik tersendiri dan sekaligus itu merupakan kelebihannya dibandingkan dengan pengawasan lainnya. Pertama, pengawasan DPRD adalah pengawasan politik (political oversight) karena dilakukan oleh lembaga politik. Kedua, pengawasan DPRD meliputi pengawasan ex ante dan ex post sekaligus. Pengawasan ex ante adalah pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya suatu perbuatan yang tujuannya mencegah terjadinya perbuatan yang merugikan. Pengawasan ex post adalah pengawasan setelah terjadinya perbuatan yang tujuannya memperbaiki kesalahan dan kerugian akibat perbuatan itu. Melihat fungsinya yang strategis maka sangat penting sekali untuk terus dikembangkan mekanisme pengawasan ex ante yang efektif guna mencegah munculnya potensi penyimpangan-penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam konteks UU Pemda, pengawasan ex ante misalnya persetujuan DPRD terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Pengawasan ex post diantaranya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Karakteristik pengawasan DPRD yang ex ante dan ex post sekaligus tidak dimiliki misalnya oleh lembaga peradilan maupun ombudsman yang pengawasannya selalu bersifat ex post. Ketiga, fungsi pengawasan DPRD dapat bersifat aktif yang berarti pengawasan itu dilakukan atas inisiatif atau kehendak DPRD sendiri maupun sifatnya pasif yang berarti bekerjanya pengawasan itu karena ada permintaan dari pihak ketiga yaitu karena adanya pengaduan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pengawasan oleh lembaga peradilan maupun Ombudsman yang bekerjanya selalu bergantung pada permintaan oleh pihak yang dirugikan. Tanpa ada permintaan dari pihak yang dirugikan maka pengawasan tidak bekerja.
Langkah Awal yang Penting
Secara tepat Pasal 57 UU Pemda menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah terdiri atas kepala derah dan DPRD. Artinya kepala daerah dan DPRD adalah sama-sama penyelenggara pemerintahan daerah yang keduanya memiliki kedudukan sederajat dan tidak ada yang lebih tinggi satu sama lain. Namun, ketentuan Pasal 57 UU Pemda yang sudah baik ini menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan pasal lainnya dalam UU Pemda yaitu Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 148 ayat (1) yang menyebut bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kedudukan diartikan sebagai posisi suatu lembaga terhadap lembaga lainnya (Philipus M. Hadjon, 1997:x) sedangkan unsur berarti kelompok kecil dari kelompok yang lebih besar (Kamus Bahasa Indonesia, 2008:1784). Dengan demikian, dari sudut pandang UU Pemda posisi DPRD hanyalah bagian terkecil dari kelompok organisasi penyelenggara pemerintahan daerah. Posisi DPRD tidak sama dengan kepala daerah. Yang demikian tentu saja menjadi hambatan yang serius untuk mewujudkan gagasan penguatan fungsi pengawasan DPRD.
Bagaimana mungkin suatu lembaga yang posisinya lebih kecil diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga lain yang posisinya lebih besar. Dalam rangka penguatan kedudukan DPRD yang berarti itu pula penguatan fungsi pengawasannya maka langkah awal penting yang harus dilakukan adalah tidak lagi menempatkan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah tetapi sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama pemerintah daerah.
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah kepala daerah dan DPRD. Apa yang diatur dalam Pasal 57 sudah sangat tepat dan perlu pengubahan Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 148 ayat (1) dengan menghapus kata unsur sehingga rumusannya menjadi DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.

                                                                                                     —————- *** —————–

Rate this article!
Tags: