Penguatan ‘ILMU’ Anak Dalam Era Digitalisasi

Oleh
Dr Lia Istifhama, M.E.I
Wakil Sekretaris MUI Jatim

Tagline ‘Anak Terlindungi Indonesia Maju’ dalam Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli lalu menjadikan momentum orang tua untuk semakin meningkatkan kepedulian anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Melindungi anak tentunya dapat dilakukan dalam banyak aspek, sekalipun aspek perlindungan dari bahaya kekerasan (terutama kekerasan seksual) menjadi porsi utama. Semua bentuk kepedulian merupakan ikhtiar melindungi masa depan anak dari potensi lost generation.

Wujud kepedulian dapat dibentuk dengan banyak cara, diantaranya dengan membangun spiritualisme ‘ILMU’. ILMU yang dimaksud adalah Iman dan imun, Logika berpikir (koginitif), Mimpi (cita-cita) anak, serta Usia anak. Tentunya akan sangat menarik dan penting, jika konsep ‘ILMU’ direlevansikan dalam perspektif agama.

Iman dan Imun.

Seperti kita ketahui, bahwa situasi pandemi menjadikan imunitas (kekebalan tubuh) adalah hal penting yang harus dijaga. Namun tentunya, imunitas tidak dapat dibenarkan jika menurunkan kadar iman (tingkat religiusitas) seseorang. Dalam sebuah hadis disebutkan pentingnya kesehatan (imun) setelah aspek keyakinan (iman): “Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik daripada kesehatan.” (HR. Ibnu Majah).

Iman dan imun bukanlah kewajiban orang dewasa untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk anak-anak yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini, Iman adalah pondasi yang menjadi keterlekatan pertumbuhan moral anak. Jika pondasi agama baik, yaitu terdapat didikan perilaku ‘ubudiyah, maka seyogyanya moral dan tata krama anak pun berkembang positif.

Bagi anak, jika iman dan imun terjaga, maka perkembangan moral, fisik, dan psikisnya akan berkembang secara baik. Perkembangan fisik tak lepas dari asupan nutrisi dan gizi bagi anak. Tentunya, tercapainya iman dan imun yang tercukupi bagi anak, sangat ditentukan peran orang tua (kaum dewasa) adalah menguatkan hal tersebut mengingat anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Jika perkembangan mereka baik, maka menjadi stimulus terbentuknya SDM yang cerdas dan unggul menuju Indonesia maju.

Logika Berpikir (Kognitif).

Dalam hal ini, bagaimana anak memiliki pola pikir dan penalaran/pemahaman sesuai perkembangannya. Dikaitkan pendidikan, aspek ini disebut kognitif, yaitu pemikiran atau kemampuan untuk berpikir. Perkembangan aspek kognitif anak ditentukan pertumbuhan usianya. Sebagai contoh, pada usia 7-11 tahun, seorang anak mampu melakukan pengurutan, klasifikasi terhadap objek maupun situasi tertentu, hingga memahami konsep sebab-akibat secara rasional dan sistematis. Kemudian saat anak di atas 11 tahun, maka ia mampu menarik kesimpulan atas apapun yang dibaca atau dianalisanya.

Kualitas kemampuan berlogika pada anak, ditentukan dari aktivitas literasi, yaitu keterampilan membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu. Dalam pengertian tingkat keahlian tertentu, maka logika berpikir anak disesuaikan usia serta kemampuannya. Hal ini yang disebut dalam Islam sebagai Rabbani, yaitu pembelajaran secara bertahap, yaitu dimulai dari ilmu pengetahuan yang sederhana berangsur menjadi ilmu pengetahuan yang besar (sulit).

Pentingnya mengasah logika anak juga disebabkan kemampuan menghafal yang kuat saat ditempa di usia kanak-kanak. Bekal pengetahuan dan hafalan yang cukup bagus saat seseorang masih kanak-kanak, akan menjadi bekal terbentuknya kecerdasan di usia dewasanya, dalam sebuah hadis dijelaskan: “Hafalan anak kecil adalah seperti tatahan pada batu dan hafalan orang sesudah tua adalah seperti menulis di atas air.” (HR. Khatib dari Ibnu Abbas).

Mimpi dan Cita-cita.

Dalam agama (Islam), dijelaskan kewajiban orang tua: “Sesungguhnya adalah termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya mengajarinya menulis, memberinya nama yang baik dan mengawinkannya apabila telah sampai umur.” (HR. Ibnu Najar dari Abu Hurairah).

Dengan begitu, agama telah menekankan bahwa peran orang tua sangat besar membentuk pribadi positif sejak anak di usia kanak-kanak hingga usia dewasa. Terlebih, jika orang tua memahami makna syubbanul yaum rijalul ghod, yaitu pemuda sekarang yang kelak menjadi pemimpin. Maka tidak ada alasan bagi orang tua untuk mengabaikan pentingnya peran mereka menjaga kelangsungan bangsa ini. Bagaimana potret Indonesia ke depan, adalah bergantung pada bagaimana didikan yang didapat anak-anak sekarang ini.

Problem pandemi, yaitu implikasi adanya sekolah daring, sangat jelas terlihat. Ketakutan banyak pihak atas potensi lost generation, tidak dapat dianggap isapan jempol belaka. Mengingat, generasi Z (kelahiran 1995-2012) dan Generasi alpha (diatas 2012), merupakan dua generasi yang kehidupannya sangat identik dengan digitalisasi. Yang (seharusnya) menjadi pertanyaan dalam benak orang tua sekarang adalah: “Diantara youtuber dan dokter, manakah yang menjadi mimpi dan cita-cita anak?”

Akan sangat patut disesalkan, jika kemudian anak-anak memiliki brainstorming bahwa profesi dalam dunia digital terlihat lebih menarik, menguntungan, dan membanggakan daripada profesi lainnya yang menuntut keilmuan tinggi.

Usia Anak.

Dalam Islam diterangkan sebuah hadis: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”. Dengan begitu, pentingnya pola pendidikan yang adaptif dengan perkembangan zaman.

Direlevansikan pendidikan, kita semua mengakui bahwa saat ini digital telah menjadi ‘ruh’ pendidikan. Menyikapi hal tersebut, maka dibutuhkan peran penting orang tua agar anak tetap memiliki lingkungan sosial sesuai usia mereka. Mengingat, pembelajaran daring (digital) telah menggantikan aspek motorik anak dengan aspek ‘sentuhan pada gadget’.

Dalam hal ini, meskipun digitalisasi adalah identitas perkembangan zaman, namun bukan berarti diikuti secara bebas tanpa ada filterisasi dan pemanfaatan yang tepat. Merupakan tugas kita semua agar digital tidak identik dengan hiburan maupun panjat sosial semata melainkan juga sarana edukasi. Kemudian, bagaimana digital dimanfaatkan sebagai sarana membangun interaksi sosial (ukhuwwah Islamiyyah) dan mereduksi potensi bullying, hoax, dan hate speech. Dengan begitu, digital akan lebih banyak membawa aspek maslahat (manfaat).

Pada akhirnya, menjaga Spiritualitas ‘ILMU’ Anak adalah peran penting yang bisa diambil para orang tua. Jika Iman dan imun anak terjaga, maka Logika berpikir (koginitif)-nya akan berkembang baik sehingga mereka memiliki Mimpi (cita-cita) yang positif dan kehidupan yang normal seperti perkembangan Usia-nya.

———– *** ———–

Tags: