Penguatan Kawasan Perbatasan Mutlak Dilakukan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Menjaga kedaulatan dan keamann NKRI di wilayah perbatasan darat, perlu dibangunan jalan sepanjang perbatasan. Jalan tersebut selain mempercepat mobilitas patroli keamanan, juga sangat menunjang peningkatan perekonomian rakyat. Diperlukan pula kehadiran drone atau pesawat tanpa awak sebagai pelengkap kekuatan intelejen negara. Mengingat sebagai negara kepulauan dengan batas laut yang begitu luas, keamanan perbatasan Indonesia sangat utama.
“Pesawat drone yang sudah bisa dibuat oleh ITB, kini tinggal mendanai untuk produksinya. Menjaga keamanan laut, kami sudah mengusulkan ke pemerintah untuk membuat 97 kapal patroli cepat dengan biaya sekitar Rp 6,2 triliun. Kapal cepat patroli laut bisa mengejar dan menangkap para illegal fishing yang kini tengah diuber Menteri Kelautan dan Perikanan,” papar Mayjen TB Hasanudin Komisi I DPRRI dalam diskusi Pilar Negara bertema Menjaga Kedaulatan Wilayah Laut NKRI di lobi gedung MPR RI, Senin (22/6). Nara sumber lain yang dihadirkan, pakar hukum internasional Prof Hikmahanto Yuwono.
Lebih jauh Hasanudin menyatakan, Pulau Sepadan Ligitan yang dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional harus menjadi pelajaran dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Dari pengalaman tersebut maka 92 pulau terluar, perlu semua dilengkapi dengan petugas keamanan. Kini baru 12 pulau saja yang dilengkapi petugas keamanan. Pulau Nipah yang pernah mau tenggelam, telah direklamasi, diuruk dan ditinggikan seluas 2 hektare, kini bisa dibanggakan sebagai pulau terluar milik Indonesia.
“Menghadapi tuntutan negara tetangga, wilayah perbatasan memang harus dibenahi, diperbaiki dan diperkuat. Kemampuan diplomasi bukan hanya pintar cuap-cuap, tetapi juga harus disertai kekuatan pertahanan di perbatasan. Kalau perlu kita tancapkan Bendera Merah Putih di sana,” tegas Hasanudin.
Menurut Prof Hikmahanto, berkah luar biasa negara kepulauan, memberi tantangan besar bagi Indonesia oleh lautnya yang begitu luas. Tantangan tersebut antara lain, Indonesia harus mampu menghalau kapal-kapal asing yang masuk ilegal ke wilayahnya. Seperti kapal Australia yang secara ilegal masuk wilayah laut Indonesia, sewaktu menghalau kapal imigran pencari suaka. Tindakan Australia seperti ini semestinya bisa dimasukkan ranah pelanggaran HAM, dan dilaporkan ke PBB dan UNHCR.
“Untuk menyeret Australia ke ranah hukum internasional, kepolisian harus investigasi dari nahkoda kapal, awak kapal dan pencari suaka yang dikabarkan diberi uang 5.000 dollar Australia per orang. Suap itu dilakukan Australia dengan uang negara,  agar kapal yang ditumpangi para pencari suaka kembali ke Indonesia,” jelas Hikmahanto.
Dia juga mengingatkan isu Pulau Ambalat yang kaya mineral yang kini juga diklaim sebagai wilayah Malaysia. Provokasi Malaysia atas pulau Ambalat juga sudah sering dilakukan, hal ini harus dihadapi Indonesia dengan protes keras berulangkali. Agar internasional juga memahami bahwa ada kedaulatan Indonesia di Ambalat. Namun dia tidak setuju membawa permasalahan Ambalat ini ke Mahkamah Internasional. Trauma dengan Sipadan Ligitan, dia cenderung memilih membawa sengketa Ambalat ini ke perundingan saja.
“Dengan tetangga serumpun, sesama negara ASEAN, tidak layak kita membawa sengketa perbatasan ke ranah internasional. Kita selesaikan secara baik-baik saja lewat perundingan,” nasehat Hikmahanto. [ira]

Tags: