Penguatan Literasi dalam Membangun Kecakapan Hidup Peserta Didik

Oleh
Daroe Iswatiningsih
Dosen Pendidikan Bahasia Indonesia dan Kepala Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam bidang pendidikan, peserta didik diajarkan dan ditumbuhkan berliterasi. Tahapan berliterasi yang diajarkan pada mereka setahap demi setahap, yakni mulai pengenalan simbol bunyi bahasa, pengenalan angka serta menulis dan membaca.

Kemampuan berliterasi peserta didik akan berkembang sejalan dengan usia dan jenjang pendidikan yang telah dilaluinya. Demikian halnya pada guru, tentu sudah sangat melek literasi. Namun demikian, apakah guru telah mampu mendayagunakan seluruh potensinya dalam menginternalisasikan literasi sesuai profesi yang digelutinya. Alwasilah (2012) menyebutkan terdapat tujuh prinsip dasar literasi yang berkembang saat ini, yakni (1) literasi sebagai kecakapan hidup (life skills), (2) literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif, (3) literasi merupakan kemampuan memecahkam masalah, (4) literasi sebagai refleksi penguasaan dan apresiasi budaya,( 5) literasi sebagai refleksi (diri), (6) literasi merupakan produk kolaborasi, dan (7) literasi merupakan kegiatan menginterpretasi.

Pandangan tersebut sesuai dengan fenomena kehidupan saat ini dan penting dikuatkan pada peserta didik. Guru harus mampu membaca situasi dan kondisi yang dialami perserta didik dalam memanfaatkan teknologi berupa gawai. Umumnya anak-anak hampir tidak pernah lepas dari dari gawai di genggaman. Kemampuan berliterasi peserta didik masih sebatas pada kemampuan reseptif, yakni mengonsumsi dan menerima informasi, baik berupa pesan, gambar, permainan yang kurang mampu dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif.

Peserta didik hanya sebagai penikmat dan kurang mampu mendayagunakan teknologi dan berbagai informasi yang mudah ditemukan mengembangkan kecakapan hidup, memecahkan masalah, sebagai refleksi diri, membangun kolaborasi serta mengapreasiasi dan menginterpretasi seni, budaya dan perkembangan sains dan teknologi. Hal ini menjadi perhatian dan pekerjaan rumah bagi orang tua, guru, dan masyarakat.

Pemerintah telah menetapkan wajib belajar dua belas tahun bagi masyarakat usia sekolah. Sebelum usia sekolah yang diwajibkan, anak-anak dapat mengikuti pembelajaran di usia dini, yakni PAUD dan TK. Pada usia ini anak-anak tidak diwajibkan untuk menguasai membaca dan berhitung (calistung).

Anak-anak diharapkan dapat menikmati masa kanak-kanaknya dengan bermain, beradaptasi di sekolah dan bersama teman-teman sebanyanya. Penumbuhan karakter sosial, emosional, kultural, religi, moral dan kultural penting ditanamkan.

Pemerintah bersosialisasi mengenalkan karakter melalui belajar sambil bermain. Guru diharapkan mampu menggunaka metode bercerita aagar membuat aanak senang untuk belajar.

Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia pada usia belajar, yang diperkirakan pada kelas dasar telah melek literasi. Namun apakah mereka mampu mengimplementasikan literasi – yang umumnya dikuasai secara reseptif – dalam kehidupan sehari-hari? Penguasaan literasi bagi peserta didik diharapkan mampu digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan kecakapan hidup. Minimal dalam menyelesaikan permasalahan (solusi) yang dihadapinya. Sebagai contoh, generasi muda dapat mengembangkan potensi diri setelah lulus sekolah.

Mereka dapat mengisi kekosongan waktu atau menciptakan lapangan kerja sendiri, mampu mengisi waktu secara kreatif yang bernilai produktif, memberikan bantuan dan berbagi informasi yang bermanfaat kepada orang lain, seperti peluang kerja, kesehatan, berwirausaha, dan sebagainya. Untuk itu, sistem sekolah dan guru diharapkan mampu membangun kecakapan hidup bagi peserta didik.

Makna Kecakapan Hidup
Saat Indonesia dilanda pandemi Covid 19 selama dua tahun lebih, pendidikan mengalami penyesuaian dalam pembelajaran, yakni dilakukan secara online atau daring. Pembelajaran berlangsung jarak jauh dan memanfaatkan jaringan internet selama proses pembelajaran.

Kondisi tersebut memunculkan banyak kendala pada awal pelaksanaan, seperti gagap teknologi, terbatasnya kuota internet, jaringan internet tidak stabil, bahkan beberapa daerah belum memiliki jaringan internet, kondisi lampu mati menjadi penghambat pembelajaran dan yang lain. Namun, dengan berjalannya waktu pembelajaran secara daring dianggap biasa, apalagi dengan bantuan pemerintah berupa kuota internet bagi peserta didik, guru maupun dosen.

Belajar menjadi lancar meski ada beberapa kendala yang sifatnya insidental. Hingga pada akhirnya belajat secara daring membuat jenuh peserta didik dan orang tua menjadi lebih sibuk dalam mendampingi dan membantu menyelesaikan tugas-tugas anak. Belum lagi bagi orang tua yang berekonomi lemah, banyak waktu tersita untuk anak.

Pemerintah juga membuat kebijakan baru yang tertuang dalam Surat Edaran Pemerintah Nomor 4 tahun 2020 dan Surat Edaran Pemerintah Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan pendidikan di masa darurat akibat Covid 19 serta pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah (BDR).

Pemerintah berharap bahwa dalam kondisi darurat pandemi covid 19 pembelajaran memberikan kecakapan hidup bagi peserta didik khususnya dalam menjaga dan mengantisipasi agar tidak tertular dan menularkan vieus corona.

Lebih dari itu, guru diharapkan dapat memberikan materi selama proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kecakapan hidup peserta didik saat belajar dari rumah (BDR).

Tentu hal ini membutuhkan pemikiran, sikap kritis dan kreatif pada guru untuk melaksanakan pembelajaran yang benar-benar bermakna bagi peserta didik dalam menguatkan kecakapan hidup dalam kondisi apapun, terlebih di masa pandemi covid 19.

Secara konseptual kecakapan hidup diartikan sebagai sebuah kesanggupan atau kemampuan yang dimiliki seseorang untuk hidup. Agar seseorang dapat hidup dan bertahan hidup dalam sebuah lingkungan masyarakat maka dibutuhkan bekal berupa kemampuan.

Kecakapan hidup (life skill) yang dimiliki seseorang dapat berupa kemampuan mengambil keputusan, berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, berpikir kreatif, membangun interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sekitar, bersikap empati, dan mampu mengelola emosi.

Beberapa sikap yang terbangun tersebut agar dapat menjadi sebuah karakter tentu membutuhkan pendidikan terus menerus. Untuk itu, pendidikan merupakan landasan dasar dalam menumbuhkan kecakapan hidup seseorang, baik yang dibangun dalam lingkungan keluarga serta dalam pendidikan formal.

Kecakapan hidup tidak hanya berorientasi pada bidang akademik namun di luar itu juga dapat mendukung kehidupan sehari-hari seseorang menjadi lebih baik. Dengan dibekali kecakapan hidup yang memadai seseorang mampu menjalani hidup dengan berbagai problema hingga menemukan jalan keluar untuk mengatasinya. Hal ini menjadikan seseorang menjalani kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan serta mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian guna mengembangkan diri.

————- *** ————–

Tags: