Kapal pembawa emas suasa pernah singgah sebentar saja
Sisa-sisa tiang bertengger di dermaga
Menancapkan rindu tentang jejak-jejak moyang
Para petualang bersilih memburu kisah masa lalu
Terangkai jelas bayang-bayang kepedihan pengangkut peti-peti saudagar
Napas pedati dari kejauhan, tak lagi karuan
Sehabis membawa goni-goni milik para kompeni
Sekawanan bangau datang memantau
Sebagian memilih untuk menetap dan bersarang
Mengumpulkan serpihan-serpihan yang telah berkarat
Menempel di dinding-dinding kapal
Menyatu karang, menghilang kenang
Sedang yang lain memilih terbang
Kicauan garang serupa hempasan ombak
Mengisyaratkan pergi untuk kembali datang
Dalam perang mengembalikan masa kecil yang berulang-ulang
Sesekali menantang hari datang
Bayang, 2020
MALIN SI BUJANG PEMBANGKANG
Di sini, dulu seseorang merengek ingin ke pulau seberang
Bercita-cita menjadi saudagar kaya dan punya bini elok rupa
“Wahai anakku, seseorang itu bernama Malin”
Konon ia tumbuh menjadi anak durhaka
Dan di pantai ini, ia dikutuk menjadi batu oleh ibunya
Waktu seakan berjalan begitu kencang
Tanah Minang selalu mengimbau pulang
Sebab sejauh apapun bangau terbang
Akan kembali jua ke sarang
Kini, di pantai ini, ku saksikan hampir setiap hari
Para nelayan kembali datang
Sehabis mengarungi lautan demi seorang penagih utang
Tak lupa pula para pelancong silih bertandang
Menyaksikan rupa si bujang yang pembangkang
Bayang, 2020
NYANYIAN PESISIR
Di tanah moyangku
Bau busuk ikan-ikan kering
Merambah rumah-rumah kumuh di pesisir
Air laut membaur butir-butir pasir
Asin seperti keringat kuli pengangkut bulir-bulir padi
Mengasah duka sepanjang hari
Koto Berapak, 2020
DI TEPI PANTAI
Berdiri di tepi pantai ini, aku merasa menjadi lelaki seutuhnya
Berusia seratus tahun lagi akan sanggup aku lewati
Demi perang melawan diri
Menyematkan tanda kematian di kening sendiri
Suara lirih para nelayan
Mengingatkan tentang sesuatu yang pernah melekat waktu itu
Kecuali tentang dirinya yang sekarang
Telah menjelma apa saja
Perahu, jala, ikan, dan ombak yang ku saksikan
Menghantam semua kenang
Sebagaimana semua orang, aku diterjang kerinduan
Bila tiba waktunya, hal yang paling ingin ku dengar adalah
Suaranya yang datang dari laut lepas
Kematian tak menyurutkan langkah
Berlayar sampai masa tak ada kabar
Koto Berapak, 2020
SENANDUNG JALA NELAYAN
Mengapa aku yang menjerat untuk memusnahkan angan
Biar tak seperti angin, yang tak berwujud
Bila bisa, aku memilih menjadi batu
Diam menunggu di palung yang paling dalam
Tapi apalah daya, nasibku tak seperti itu
Aku hanya bisa melekat diantara sampan-sampan
Mengikat kematian di tengah lautan
Tak berkutik walau tahu kerasnya ombak menimpa
Beginilah aku, dingin tak berkesudahan
Basah berkepanjangan
Saat ikan-ikan tertumpuk di belanga
Para nelayan begitu riang
Walau orang-orang silih berganti menagih hutang
Sedang aku, kembali diam menanti giliran
Koto Berapak, 2020
NASIB NELAYAN
Lelaki tua itu menghampiri bibir pantai
Ombak berpiuh dan angin berdesir
Menyetubuhi mayang telinga
Terucap kata-kata yang muskil diterjemahkan
Kemudian ia melepas tali pada perahu yang tersimpul sentak
Menjelang malam, menjelang karam
Bersilih antara hidup dan mati
Jala-jala terpasang pada malam hari
Membenam harapan pada ikan yang tengah berlari-lari
Perahu melingkar-lingkar seperti gergasi di lautan yang tak lagi biru
Dan nasib mengecil tersisih ke tepi
Tapi besok mungkin saja ia kembali
Membawa ikan-ikan atau jala yang tak berisi
Koto Berapak, 2020
PANTAI CAROCOK
Di sepanjang pasir painan
Penyu-penyu berjalan lamban
Aku dan ibu mengamati setiap jejak yang tertapak
Mengulang segala kenang
Kami menyebutnya Pantai Carocok
Riak-riak ombak menyibak sejarah benteng portugis
Dan di ujung sana
Pulau Cingkuak menyisakan luka pada Mandame Van Kempen
Cerita tentangnya hambar terdengar
Tak seperti air laut, yang tak sengaja menyentuh daun telinga
Bahkan desiran angin tak mampu menghapus air mata
Hingga menandaskan semua kenangan, meninggalkan pelan
Aku haus dalam dongengan ibu!
Koto Berapak, 2020
NONI DI BAYANG SANI
Dulu sekali, bocah-bocah kumal mendorong-dorong pedati
dipenuhi karung berisi padi
Di tanah terjarah ini banyak ditanami bulir-bulir air mata
Kemudian dipupuk dengan darah-darah mentah
Sedang noni-noni kompeni menikmati riak-riak air terjun Bayang Sani
Batu-batu bening memantulkan rona wajah yang dipenuhi amarah
Bibir bergerak ke kanan dan mata melirik ke kiri
Mengamati inci demi inci
Kini, aku sedikit berbahagia
Air terjun itu perlahan-lahan mengukir kenang untuk masa antah-berantah
Namun aku terus dihantui dalam samar bayang sejarah
Koto Berapak, 2020
Biodata Singkat:
Sepno Fahmi lahir di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Merupakan anggota Dapur Sastra Jakarta (DSJ), Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Beberapa puisi pernah dimuat di beberapa media massa, Facebook: Sepno Fahmi. WhatsApp: 0812 6680 5090.
————– *** —————–