Penindasan ABK Indonesia Karena Abaikan Dokumen Perlindungan

Prof Mathias Tambing

Jakarta, Bhirawa.
Perbudakan dan kekerasan terhadap pekerja/buruh, dimanapun dimuka bumi ini, adalah tindakan melanggar Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti halnya praktek perbudakan terhadap Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan berkendara China Kong Xin 629. Harus diusut tuntas dan disertai sanksi hukum tegas, agar kasus serupa tidak terulang lagi.
“Berdasarkan bukti dari penyelidikan dan data fakta yang telah dikemukakan para ABK korban penindasan ini, pemerintah sudah selayaknya melayangkan protes keras kepada pemerintah China. Dan segera melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan yang meng-operasikan kapal ikan tersebut,” tandas Ketua ITF (International dan Transportworkers’ Federation) Indonesia, Prof Mathias Tambing, terkait kasus penindasan pada ABK Indonesia di kapal ikan. Bahkan
Telah viral di media, bahwa sejumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan “Kong Xin 629” berkendara China, mengalami perbudakan kerja. Yakni dengan cara: dipaksa bekerja 18 jam sehari dengan upah hanya USD 120 atau Rp1,8 juta per bulan. Dalam hal makan dan minum, ABK tertindas itu hanya diberi sulingan air laut. Bukan air mineral seperti yang diberikan pada ABK lainnya. Tentang lauk lauk makan, ABK Indonesia itu juga hanya diberi ikan umpan pemancing tangkapan. Akibatnya 3 orang ABK Indonesia itu sakit dan meninggal. Ironis ya, mayat ke 3 ABK itu dibuang di laut.
“Perbudakan di kapal, memang sering dialami para ABK. Tapi pemerintah sulit menyelesaikan persoalan ini, karena tidak lengkapnya data kerja ABK. Apalagi, banyak ABK sering dipindah, dari satu kapal ke kapal yang lain, tanpa prosedur jelas. Kondisi semacam ini, menyulitkan KBRI untuk melacak perusahaan kapal tempat ABK bekerja. KBRI juga sulit melacak Agen perusahaan yang merekrut dan menempatkan ABK,” tambah Prof Mathias.
Disebutkan, perbudakan sering terjadi karena pengusaha atau Nakhoda kapal, memanfaatkan kelemahan ABK yang tidak memiliki dokumen perlindungan. Pada umum nya perbudakan terjadi di kapal perusahaan milik China dan Taiwan. Kapal yang menindak ABK tersebut biasanya berlayar di perairan Asia, juga beroperasi sampai Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Lautan Atlantik. 
“Berdasarkan ketentuan internasional, pengusaha kapal harus memberikan dokumen perlindungan ber-standar ILO (International Labour Organization), kepada semua ABK. Sebab, kapal-kapal ikan tersebut menjelajah lautan seluruh dunia. Sehingga perusahaan wajib menerapkan ketentuan Internasional juga. Baik perlindungan maupun kesejahteraan terhadap ABK-nya, tanpa memandang asal negara,” papar Prof Mathias.
Disebutkan, dokumen perlindungan, meliputi hak dan kewajiban ABK, kondisi kerja dan keselamatan kerja di kapal, upah dan kesejahteraan ABK. Semua hal itu tercantum dalam Perjanjian Kerja Laut (PKL) maupun Collective B argaining Agreement (CBA) yang ditandatangani oleh pengusaha kapal dan ABK. Semua ABK wajib memiliki PKL sebagai pedoman kerja, sekaligus solusi, jika terjadi masalah, terkait pekerjaan.
Ironis ya, banyak ABK yang tidak memahami hal ikatan kerja tersebut, dan menganggap sepele, usai diterima kerja di kapal. Bahkan banyak ABK tidak memiliki PKL, padahal PKL sangat penting sebagai pedoman bekerja. Utamanya, bila menghadapi masalah, misalnya; gaji tidak dibayarkan atau dipaksa bekerja di luar jam kerja yang telah ditentukan, tanpa dihitung lembur dsb. 
“Saya mendukung langkah Bareskrim Polri yang telah mulai melakukan investigasi, mengungkap kemungkinan terjadinya tindak pidana diam kasus perbudakan di kapal ini. 
Investasi menyeluruh untuk mengungkap perbudakan modern ini, mulai dari proses perekrutan ABK, sistem perlindungan, PKL, syarat dan kondisi kerja maupun kesejahteraan ABK di Kapal,” tutur Ketua ITF Indonesia, Mathias. [ira]

Tags: