Penolakan Pasien Miskin Melanggar HAM

(Dampak Balapan Adu Mahal Tarif Rumah Sakit)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Social Politik

Layanan (fasilitas kamar) setara hotel bintang 4, menjadi ciri khas rumahsakit (RS) eksklusif bertarif mahal. Ongkos pelayanan kesehatan lebih tinggi, dengan hadirnya dokter spesialis dengan tarif beda (khusus orang kaya). Serta obat impor yang ditambah pajak. Tetapi seluruh yang mahal-mahal itu, tidak disertai kepastian (jaminan) sembuh. Meninggal dunia pun, bukan dianggap sebagai kegagalan layanan medis.
Jadi, mengapa harus berobat ke rumahsakit dengan arif mahal? Saat ini, beberapa RSUD (rumahsakit milik pemerintah daerah) yang bertarif murah, lebih menjamin ketenteraman pasien. Bahkan banyak pula Puskesmas di daerah se-antero Jawa telah memiliki fasilitas layanan kesehatan memadai. Bukan hanya di kota-kota besar (Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta). Di kota-kota sedang, seperti Malang, Sidoarjo, Tegal, Sukabumi, dan Cianjur, juga memiliki fasilitas rawat inap.
RSUD milik pemerintah kabupaten dan kota, telah memiliki layanan dokter spesialis senior, namun tetap murah. Lebih lagi dengan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan kartu BPJS, layanan kesehatan bisa gratis. Sampai operasi (tindakan bedah), dan cuci darah, juga gratis. Seluruhnya ditanggung melalui proses parca-bayar BPJS. Walau harus diakui, masih perlu perbaikan layanan BPJS, terutama biaya pengganti obat. Keluarga pasien masih sering membeli obat di luar rumahsakit yang kehabisan stok obat.
Selain obat, juga masih perlu penjelasan prosedur perujukan. Karena tidak setiap pasien bisa langsung berobat pada faskes (fasilitas kesehatan lanjutan, seperti RSUD). Melainkan wajib melalui pelayanan awal pada faskes tingkat pertama setingkat Puskesmas atau klinik terdekat. Bahkan rujukan juga dibatasi sebanyak 15%. Artinya, tidak mudah dirujuk ke RS peserta Jamkes. Masyarakat kecele.
Pada sisi lain, Puskesmas saat ini dapat menangani sebanyak 144 jenis diagnosis. Termasuk diagnosis yang semestinya dilakukan oleh dokter spesialis. Misalnya, pneumonia dan bronkopneumonia, serta tuberkulosis (TBC) paru tanpa komplikasi (penyakit dalam lain). Begitu pula penanganan anemia defisiensi besi pada kehamilan, seharusnya ditangani dokter spesialis Obstetri ginekologi (Sp OG, kandungan).
Audit dan Akreditas
Pelayanan tupoksi spesialis, lazimnya memerlukan peralatan khsusus. Untuk TBC misalnya, dibutuhkan pemeriksaan intensif tes Mantoux  selama 48 hingga 72 jam. Berarti harus rawat inap. Di Jawa Timur, contohnya, beberapa Puskesmas dengan klasifikasi pelayanan rawat inap biasanya juga memiliki dokter spesialis. Tetapi dokter spesialis tidak selalu standby 24 jam di Puskesmas, karena dibutuhkan di tempat lain. Namun siap (on-call) manakala dibutuhkan.
Saat (tahun 2017) ini, seluruh Puskesmas telah menjalani akreditasi. Serta di-audit oleh Dinas Kesehatan Daerah. Sebenarnya, audit periodik dan akreditasi RS merupakan amanat Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Audit kinerja (fungsional) dan audit medis, dinyatakan pada pasal 39. Audit bersifat wajib, berlaku untuk RS pemerintah dan swasta. Pada sisi lain, masih terdapat UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga mengamanatkan hal serupa.
Layanan kesehatan patut memperoleh pemeriksaan (audit) lebih sistemik. Karena berhubungan langsung dengan upaya perbaikan derajat kesehatan masyarakat, yang di-amanat-kan konstitusi. Dikategorikan sebagai hak asasi manusia (HAM). UUD pasal 28H ayat (1), menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Bahkan konsstitusi (UUD) perlu mengulang peraturan tentang kesehatan dengan pasal lebih lex-specialist. Yakni pada pasal 34 ayat (3), dinyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Bahkan pada kerjasama dunia tentang indeks pembangunan manusia, urusan kesehatan di-posisi-kan pada urutan nomor satu (di atas pendidikan).
Begitu pula audit pengawasan RS (dan Puskesmas) bukan hanya meliputi kinerja fungsi kesehatan (layanan medis). Melainkan juga standar tarif. Setidaknya tiga UU mengatur tarif layanan kesehatan, dengan frasa kata “fungsi sosial.” Misalnya dalam (UU) Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada pasal 2, dinyatakan, “…diselenggarakan berasaskan Pancasila profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.”
Dilindungi Empat UU
Begitu pula regulasi lain, diantaranya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU Kedokteran pada pasal 49 ayat (1) menyatakan:  “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.” Frasa kata “kendali biaya,” dimaksudkan sebagai tarif yang terjangkau masyarakat. Hampir seluruh dokter telah mematuhi UU Praktik Kedokteran. Tetapi belum seluruh RS mematuhi UU tentang Rumah Sakit.
Bahkan tren saat ini, banyak didirikan rumahsakit  eksklusif, dengan ciri khas tarif tinggi! Bagai lomba adu mahal biaya pengobatan. RS dengan tarif mahal, memiliki kecenderungan menolak pasien dari kalangan rakyat miskin. Yang terakhir, pada bayi Debora (berusia 4 bulan), bagai “tersandera” biaya perawatan. Seharusnya Debora segera dimasukkan ruang PICU (pediatric intensive care unit). Namun karena orangtuanya belum sanggup melunasi uang muka (Rp 19 juta), hanya dimasukkan di IGD (instalasi gawat darurat).
Nampaknya, manajemen RS selalu kukuh pada prosedur pembiayaan dengan tarif mahal. Penolakan perawatan sesuai kebutuhan pasien, merupakan pelanggaran terhadap empat undang-undang (UU) sekaligus. Yakni, UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Serta UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Juga melanggar UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Pemerintah seyogianya bersikap tegas untuk melindungi kepentingan masyarakat. Juga diperlukan peraturan batas atas tarif rumahsakit. RS senantiasa juga wajib diaudit secara fungsional, dan perlu upaya “penyehatan” rutin. Terutama pengawasan pemerintah terhadap visi pendiriannya sebagai fungsi sosial kesehatan. Walau setiap rumahsakit memiliki hak berkembang melalui laba (keuntungan) operasional. Realitanya, tiada RS (milik pemerintah maupun swasta) yang merugi.
Tidak berasa komersial, dan tidak bertarif mahal saja, sudah cukup memperoleh laba. Namun sebagai sarana publik, masih banyak RS mengedepankan asas komersial. Padahal seluruh dunia meyakini (dan meng-anggap) bahwa layanan kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM). Bukan altar komersial, melainkan institusi berfungsi sosial.
Pada penjelasan UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasal 2, dinyatakan,  “Yang dimaksud dengan “fungsi sosial rumah sakit” adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.”
Maka fasilitas instalasi apapun dalam RS (termasuk PICU) seharusnya bisa diakses oleh pasien keluarga miskin. Sektor kesehatan dipahami sebagai urusan strategis. Bahkan pada kerjasama dunia tentang MDGs (Millennium Development Goals) urusan kesehatan di-posisi-kan pada urutan nomor satu (di atas pendidikan).

                                                                                                               ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: