Penopang Kemandirian Energi, Pendorong Perekonomian Nasional

Percepatan Pemanfaatan dan Pengembangan Energi Gas Bumi
Oleh:
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

20-pgn-pipaPotensi kekayaan gas bumi di tanah air yang melimpah bukan sekadar dijadikan cerita indah yang hanya akan diperdengarkan  saat bangsa ini terpuruk.  Potensi itu sungguh nyata dan sudah seharusnya bisa dimanfaatkan secara cerdas untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.
Tahun 2003 adalah pertama kalinya Indonesia mengalami defisit minyak akibat tingkat konsumsi minyak dalam negeri melebihi tingkat produksi yang mampu dikelola. Pemerintah selanjutnya melirik potensi energi lain yang melimpah namun belum digarap secara serius yakni gas bumi. Dibandingkan dengan minyak, energi gas bumi memiliki banyak kelebihan di antaranya menghasilkan emisi yang lebih sedikit dibandingkan minyak dan batubara sehingga tidak mencemari udara, selain itu gas bumi bersifat tidak korosif, tidak  beracun dan lebih efisien.
Begitu berlimpahnya cadangan gas bumi, membuat pemerintah Indonesia secara jor-joran melakukan ekspor gas bumi dalam bentuk mentah.
Tujuannya adalah ke negara-negara yang sedang mengembangkan industri petrokimia seperti negara Malaysia, Singapura, Taiwan maupun Korea Selatan.
Ironisnya, ketika negara-negara tersebut maju industri petrokimianya, justru Indonesia sebagai gudangnya gas bumi terlena dengan tidak mengembangkan industri yang berbasis gas secara serius. Akibatnya, untuk kebutuhan akan barang-barang olahan dari gas  misalnya petrokimia, Indonesia malah impor ke negara-negara tersebut. Nilainya sangat besar, impor produk petrokimia per tahun mencapau US$ 14 miliar alias Rp 182 triliun. Tentu sangat menguras devisa negara, hasil ekspor gas tak sebanding dengan nilai impor produk-produk olahan gas.
“Kita impor produk petrokimia sampai sekitar US$ 12-US$ 14 miliar, jadi kalau kita jual gas sebetulnya kita rugi lah kalau hanya sekadar jual gas,” kata guru besar dari Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Industri (ITS) Prof Dr Iwan Vanany saat ditemui Bhirawa di ruang kerjanya, Kamis (15/9) kemarin.  Karena itu, cara pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk gas bumi, harus diubah.  Indonesia tak boleh lagi hanya menggali dari tanah lalu mengekspor kekayaan alam mentah-mentah, tapi harus mengolahnya menjadi barang jadi yang bernilai tinggi.
Menurut Iwan, dalam hal pengembangan industri gas bumi, di tahun 1980-an, Indonesia sesungguhnya termasuk salah satu negara yang pertama kali menerapkan teknologi LNG untuk keperluan ekspor dengan tujuan utama Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ekspor gas bumi belakangan dilakukan juga melalui pipa ke Singapura dan Malaysia dan juga Taiwan. Namun beberapa tahun terakhir ini pemerintah berupaya untuk mengalihkan ke pasar domestik sebagai pengganti minyak yang produksinya sudah menurun seperti halnya konversi minyak tanah ke LPG. Selain itu, lanjut Iwan faktor peningkatan kebutuhan gas dalam negeri yang tinggi pada tahun-tahun terakhir ini juga ikut mendorong hal ini. Sektor utama pengguna gas bumi Indonesia adalah sektor listrik, dan industri.
Guru besar kelahiran Denpasar, Bali ini mengingatkan para pemimpin bangsa ini segera bangkit dan berpikir jangka panjang agar potensi energi gas bumi di tanah air ini bisa dimanfaatkan secara optimal.
“Negeri ini punya kampus dan pakar  Iptek yang mestinya bisa mengelola potensi gas di bumi, tetapi mengapa gas bumi justru lebih banyak dimanfaatkan negara lain untuk pengembangan industri mereka,” kata Iwan.
Saat masih kuliah di Malaysia, jelas Iwan dirinya selalu menjadi ledekan  teman-teman kuliahnya mengapa Indonesia dengan potensi gas yang besar justru industri petrokimianya kurang berkembang dibandingkan dengan Malaysia dan Taiwan.
Menurut Iwan ledekan itu wajar, mengingat kedua negara (Malaysia dan Taiwan) memiliki industri petrokimia yang besar justru pasokan gas nya berasal dari Indonesia. Iwan  melihat saat ini industri petrokimia di kedua negara ini maju pesat. Malaysia bukan negara yang punya banyak gas. Negara tetangga itu adalah importir gas bumi, 40% kebutuhan gasnya berasal dari Indonesia. Ironisnya adalah, Indonesia kemudian mengimpor petrokimia dari Malaysia. Iwan mengaku sangat malu melihat kenyataan ini.
“Malaysia punya industri petrokimia di situ. Industri petrokimia berkembang pesat, padahal ironinya gas yang dipakai Malaysia itu 40% dari kita. Kemudian diubah jadi produk petrokimia, dia ubah terus dia ekspor lagi barangnya ke Indonesia,” tutur Iwan. Bukan hanya Malaysia, Taiwan yang juga mengimpor gas dari Indonesia, kemudian balik mengekspor barang-barang olahan dari gas ke Indonesia, misalnya plastik.
“Sama dengan Taiwan, dia itu pemain industri petrokimia nomor 3 di dunia. Tidak ada gasnya, gasnya dari kita. Dia ubah jadi bahan plastik, macam-macam,” katanya.
Ekonom dari Universitas Airlangga, Dr Nafik HR mendesak pemerintah Indonesia menghentikan ekspor gas dalam bentuk mentah karena dinilai justru menguntungkan negara lain yang bisa memperoleh keuntungan dan nilai tambah.
“Negara lain yang beli gas Indonesia mendapatkan nilai tambah setelah diubah jadi pupuk dan petrokimia, dan selanjutnya dibeli lagi oleh Indonesia sehingga nilai tambah dinikmati oleh negara lain,” kata dosen yang juga aktif di kepengurusan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim ini. Menurut Nafik, di tengah lesunya harga minyak dan gas di pasar dunia, pemerintah dinilai perlu memberikan perhatian terhadap sektor itu, antara lain dengan mendorong pembangunan pipa untuk distribusi gas dari sumbernya.

Mendorong Pengembangan Infrastruktur
Perlunya pemerintah mendorong pertumbuhan sektor gas, mengingat Indonesia hanya menghasilkan sekitar 830 ribu barel minyak per hari sehingga harus impor banyak BBM yang berarti membutuhkan subsidi tinggi.
“Padahal cadangan gas Indonesia masih bisa 50 tahun lagi. Untuk itu yang dilakukan pemerintah harus segera genjot eksplorasi gas,” kata Nafik. 20-pgn-pembangunan-pipa-gasDia mengakui untuk mendorong pertumbuhan gas saat ini juga belum optimal karena kendala utama adalah belum tersedia infrastruktur yang salah satunya terpenting adalah rencana lama pemerintah membangun pipa gas terintegrasi Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai Natuna belum terealisasi. Nafik mengusulkan agar pemerintah harus mempercepat pembangunan pipa gas terintegrasi karena sumber gas adanya di luar Jawa, sedangkan konsumen terbesar adanya di Pulau Jawa.
“Jadi kita harus membawa sumber energi dari tempatnya ke Jawa dan salah satu metode paling murah adalah dengan pipa, dan kalau yang lebih jauh jaraknya bisa memakai LNG,” tambahnya.
Saat ini, katanya, industri nasional butuh gas, baik untuk listrik juga untuk bahan baku dari produknya yang saat ini justru susah diperoleh yang sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya alamnya.  Pengadaan pembangunan pipa transmisi gas sebenarnya sudah ditenderkan sejak 2006/2007 tapi nyatanya sampai kini belum juga selesai. Dia berharap, Presiden Joko Widodo sudah menggenjot pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan pelabuhan.
“Saatnya presiden genjot juga infrastruktur untuk migas,” tambahnya. Swasta nasional dinilai sangat siap bangun jaringan pipa gas. Sekarang ada tiga ruas terbesar jaringan gas terbesar, yakni Kalimantan-Jawa, Semarang-Gresik, dan Semarang-Cirebon. Penggunaan sumber energi nasional 2025 nasional diharapkan 35 persen menggunakan gas dari yang sekarang baru di bawah 20 persen.
Menurut Nafik, di awal tahun 2016 yang lalu, harga minyak dunia mengalamai penurunan hingga 70 persen dari harga semula menyebabkan harga komoditas primer juga ikut turun. Banyak negara merasa tidak diuntungkan dengan turunnya harga minyak. Momentum tersebut sesungguhnya bisa mempercepat keinginan mengalihkan pemanfaatan sumber energi sebagai modal pembangunan. Selama ini, kata Nafik, pemerintah selalu menjadikan sumber energi sebagai komoditas komersial seperti gas yang  40 persennya diekspor untuk menghasilkan devisa. Namun, pemanfaatan gas bumi untuk pengembangan industri hulu belum sepenuhnya dilaksanakan.
“Selalu dipandang dari sisi finansial namun dari sisi ekonomi belum. Padahal, pengembangan industri hulu akan memberikan manfaat ekonomi dan mafaat strategis,” ungkapnya.
Menurutnya, sumber daya energi tidak boleh dijadikan sebagai komoditas komersial. Menjadikan minyak, batu bara, dan gas bumi sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa bukanlah keputusan cerdas.
“Seharusnya diolah, harus ada proses nilai tambah, knowledge dan skill,” katanya. Untuk mendukung kebijakan energi nasional dalam memperkuat ketahanan ekonomi, kata Nafik sudah ada PP 79 tahun 2014 yang mengamanatkan pemerintah untuk mengendalikan ekspor batubara dan gas.
“Jangan sampai menjual sumber daya alam untuk devisa. Tapi diolah memberi nilai tambah dan ekonomi,” paparnya

Tantangan Pengembangan Gas Bumi
Secara geografis, Indonesia sebenarnya memiliki banyak cekungan migas. Di lapangan, penemuan lapangan baru cadangan gas bumi cenderung lebih banyak dari pada minyak bumi. Jika dibanding dengan tingkat produksi saat ini, produksi minyak bumi diperkirakan akan habis dalam jangka waktu 20 tahun lebih, adapun cadangan gas bumi masih cukup tersedia dalam jumlah besar untuk diproduksi selama 50 tahun lebih.
20-pgn-pipa-gas-di-batamBerdasar catatan dari Ditjen Migas (2014), cadangan gas Indonesia tersebar dengan jumlah terbesar berturut-turut terdapat di Kawasan Natuna sebanyak 51,46 TSCF (33,65 persen), Sumatera sebanyak 33,48 TSCF (21,9 persen), Papua sebanyak 24,32 TSCF (15,91 persen), Kalimantan sebanyak 18,33 TSCF (12 persen), Laut Timur – Arafuru 15,22 TSCF (9,95 persen). Sementara sisanya berada di Jawa sebesar 10,1 TSCF (6,1 persen) dan Sulawesi sebesar 4,23 TSCF (2.8 persen). Konfigurasi cadangan gas ini didukung oleh tren penemuan cadangan di bagian timur Indonesia dan umumnya di daerah laut dalam.
Produksi gas bumi Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, sementara produksi minyak bumi terus mengalami penurunan. Artinya, di sektor migas Indonesia telah bergeser dari dominasi minyak ke dominasi gas. Tren ini akan terus berlanjut seiring dengan kecenderungan lebih banyaknya penemuan daerah prospek gas dibanding prospek minyak.
Penurunan ekspor ini selain karena peningkatan kebutuhan dalam negeri juga karena habisnya beberapa kontrak ekspor. Peningkatan konsumsi dalam negeri di beberapa tahun mendatang diperkirakan masih belum signifikan sehubungan dengan keterbatasan transmisi dan jaringan distribusi di Indonesia.
Direktur Sumber Daya Mineral, Energi dan Pertambangan  Badan Perencanaan pembangunan nasional Ir Montty Girianna, MSc, MCP, PhD menjelaskan sesuai dengan karakteristik kepulauan, Indonesia memiliki tantangan dalam pengembangan konektifitas nasionalnya. Masalah jaringan perhubungan, logistik, maupun infrastruktur energi seperti halnya gas menjadi tantangan untuk Indonesia. Selain itu khusus yang terakhir, posisi geografis dari sumber cadangan gas dan pusat kebutuhan gas yang terpisah membutuhkan perencanaan infrastruktur yang komprehensif dari hulu ke hilir agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan gas dalam negeri. Dalam kaitan tersebut, sudah seharusnya kebijakan yang ada saat ini lebih diarahkan pada intensifikasi pengembangan infrastruktur gas.
Menurut Montty sejak beberapa tahun lalu, gas lebih berfungsi sebagai komoditi dengan tujuan ekspor. Dengan kebijakan itu, Indonesia menjadi salah satu negara pelopor pengembangan infrastruktur LNG sebagai moda transportasi ekspor. Seiring dengan pulihnya pembangunan setelah era reformasi, kebutuhan akan gas sebagai sumber energi meningkat. Terlebih lagi dengan menipisnya cadangan minyak yang selama ini menjadi energi utama Indonesia disertai peningkatan harga yang signifikan di tahun akhir tahun 2000-an. Dengan perubahan paradigma ini, Indonesia sudah mulai mencanangkan pengutamaan gas untuk keperluan dalam negeri. Walaupun demikian, sampai saat ini pasokan gas Indonesia yang cukup besar belum cukup memenuhi kebutuhan akan gas itu sendiri. Hal ini disebabkan pasokan gas yang ada sudah diikat melalui perjanjian ekspor yang dilakukan sebelumnya dengan pertimbangan ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri.
Pertimbangan ini selain faktor harga menjadi alasan produsen lebih cenderung menjual gas ke luar negeri. Akibatnya kontrak gas ke dalam negeri umunya lebih pendek yang berkisar 2-10 tahun. Padahal dari segi ekonomi, pay back period investasi dari industri tersebut umumnya berjangka panjang 20-30 tahun.
Menurut Montty, dengan sifat fisiknya, gas memerlukan infrastruktur khusus untuk menyalurkan dari produsen ke konsumen. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki karakteristik geografis kepulauan yang terpisah-pisah. Moda transportasi gas dapat berupa pipa atau LNG beserta FSRU dan fasilitas regasifikasinya. Selain moda transportasi, fasilitas pengolahan berupa kilang atau SPBG untuk keperluan transportasi menjadi hal yang tersendiri. Khusus untuk infrastruktur transportasi, jaringan pipa masih menjadi benchmark sebagai syarat penting pengembangan gas termasuk di Indonesia.
Dosen Teknik Sipil ITS Surabaya Dr Machsus Fawzy mengakui Indonesia memiliki cadangan gas bumi yang cukup besar dan berpotensi dapat memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Potensi gas yang dimiliki Indonesia masih dapat dieksploitasi guna memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan pembangkit listrik. Namun demikian, dosen kelahiran Bangkalan Madura ini mengingatkan bahwa terlepas dari potensi yang menjanjikan tersebut, pemanfaatan gas sesungguhnya lebih menantang dari pemanfaatan minyak bumi. Empat tantantang pemanfaatan gas bumi di Indonesia ini menurut Machsus adalah butuh teknologi, investasi yang besar, insfrastruktur penampung gas dan minimnya jaringan gas bumi.
Dalam hal teknologi, jelas Machsus temuan cadangan gas baru umumnya berlokasi di wilayah timur Indonesia (Blok Masela di Laut Arafura; Blok Muara Bakau dan Proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) di Selat Makassar adalah berada di wilayah yang nantinya kegiatan eksplorasi dan produksi gas pada wilayah ini lebih sulit, membutuhkan teknologi yang lebih canggih.
“Pemenuhan teknologi yang canggih untuk eksploitasi memberikan konsekuensi pengembangan gas membutuhkan investasi yang sangat besar, sehingga investor akan sangat berhati-hati dalam mengkalkulasi,” jelas Machsus. Aspek keekonomian pengembangan lapangan pun lanjut Machsus akan menjadi perhatian ketika memanfaatkan gas, terutama saat penentuan harga.
Terkait Karakteristik gas bumi membuat proses pemanfaatannya lebih kompleks ketimbang minyak bumi. Dengan bentuk yang cair, minyak mudah ditampung dan diangkut. Gas tidak bisa ditampung, sehingga begitu keluar dari dalam bumi harus segera dimanfaatkan. Oleh karena itu, pengembangan lapangan gas baru dapat dilaksanakan setelah mendapat kepastian pembeli. Apabila pembelinya berlokasi jauh dari lapangan produksi gas, dan tidak memungkinkan dibangun pipa, alternatifnya dibangun fasilitas gas alam cair atau dikenal dengan liquefied natural gas (LNG). Dengan teknologi ini, gas terlebih dahulu dicairkan menjadi LNG, baru kemudian diangkut dengan kapal khusus pengangkut LNG. Saat sampai di daerah tujuan, gas cair kembali diubah menjadi gas sebelum dimanfaatkan oleh pengguna akhir. Dengan gambaran ini, bisa dipahami bahwa gas yang ditemukan di Papua tidak bisa serta merta diangkut untuk memenuhi kebutuhan industri di Sumatera dan Jawa. Perlu infrastruktur untuk mengubah gas itu menjadi LNG sehingga bisa diangkut. Selain itu, tantangan lain pengembangan gas bumi di tanah air adalah kenyataan bahwa saat ini, jaringan pipa distribusi gas masih minim. Alhasil, ketika ada daerah yang surplus produksi gas, tidak dapat dikirimkan ke daerah yang kekurangan gas. Contoh konkret, produksi gas di Jawa Timur lebih besar dari kebutuhannya. Kelebihan pasokan ini tidak dapat dikirimkan ke Jawa Barat yang kebutuhan gas tinggi karena belum ada jaringan pipa yang menghubungkan kedua wilayah ini. Cadangan gas Indonesia cukup berlimpah. Namun, apabila keekonomian tidak terpenuhi dan infrastruktur tidak tersedia, cadangan tersebut tetap tidak akan bisa dimanfaatkan baik untuk menghasilkan penerimaan negara maupun memasok energi domestik.
“Semua pemangku kepentingan perlu turut memperhatikan dua aspek ini sehingga potensi besar gas bumi dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat,” tegas Machsus berharap.

Menyingkap Misteri Harga Gas Bumi
Kegaduhan akibat ketidaksesuaian antara harga gas di hulu dengan di pengguna akhir sesungguhnya mengemuka secara nasional sejak beberapa tahun ini. Salah satu perusahaan BUMN, PT Pupuk Indonesia Holding Company (Persero) misalnya, pernah mengeluhkan harga gas industri di Indonesia sangat mahal. Padahal, gas menjadi salah satu kimponen utama produksi perseroan, dengan persentase sekitar 70%. Patut diingat, pupuk merupakan salah satu industri prioritas bagi sektor pertanian. Pupuk  menyumbang 20% terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian dan juga berkontribusi 15-30 persen dalam struktur biaya usaha pertanian padi.
20-pgn-pupukAnggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran mengingatkan gas bumi  merupakan tulang punggung dari proses industrialisasi di tanah air.
“Energi ini bisa menjadikan industri dalam negeri mampu berdaya saing secara global,” jelas Tumiran. Bagi PLN jelas Tumiran, gas ini merupakan energi primer dan energi sekunder untuk listrik. Ketika gas yang didapat PLN harganya mahal, maka PLN jual listrik ke industri juga mahal.
Kontribusi gas sebagai energi di dalam industri tekstil dan produk tekstil misalnya, rata-rata hampir 25%, dan ini menyebabkan barang produksi dalam negeri sulit bersaing. Harga jual gas idealnya ditentukan dua hal, yaitu harga produksi gas serta harga minyak dunia.
Logikanya, bila harga minyak mentah dunia mengalami penurunan, harga gas seharusnya secara otomatis juga ikut turun. Namun, akibat tidak pernah dibukanya formula perhitungan harga gas yang pasti, pembuat kebijakan yang dalam hal ini SKK Migas, terkesan menentukan harga jual sesuka hati.
Di pasar internasional, harga gas bumi saat ini sedang mengalami penurunan seiring anjloknya harga minyak mentah dunia. Tak heran jika negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam mematok harga gas jauh lebih murah dibandingkan Indonesia. Malaysia hanya membanderol harga gas industrinya US$ 4per MMBTU. Singapura yang impor gas dari Indonesia, hanya mematok harga jual sebesar US$ 4 per MMbtu, jauh lebih murah ketimbang harga gas di Indonesia yang berada di kisaran 12-14 US dolar per MMbtu.
“Saat ini tata niaga perdagangan gas di Indonesia terlalu kompleks dan complicated, dimana harga gas yang berasal dari dalam negeri dan di jual di dalam negeri malah cenderung mahal dibandingkan negeri importir gas dari Indonesia,” kata Tumiran  penuh tanya.
Menurut anggota DEN dua periode ini, sangat tidak masuk akal, ketika pemerintah mampu menjual gas ke luar negeri dengan harga murah lebih murah dibanding harga di dalam negeri, pemerintah bahkan tidak punya harga yang baku untuk harga jual gas untuk industri. Ini yang mengakibatkan, para broker atau trader bebas memainkan harga di tingkat end-user.
“Mahalnya harga jual gas untuk industri di Indonesia, lebih dikarenakan panjangnya tata kelola gas, dari hulu ke hilir. Banyak pihak yang bermain di tata kelola gas untuk industri ini,” tegasnya.
Akibat kondisi seperti itu, industri petrokimia lokal kewalahan saat menghadapi serbuan impor. Wakil Ketua Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Suhat Miyarso mengatakan, harga barang Tiongkok lebih murah, namun berkualitas rendah.
“Derasnya impor menghambat pemasaran produk hilir. Apalagi, harga gas juga tidak kunjung turun, sehingga produk lokal sulit bersaing dari sisi harga. Alhasil, pasar petrokimia hilir domestik banyak diisi produk asing,” kata Suhat kepada Bhirawa, Jumat (16/9). Suhat mengatakan, tahun ini, pasokan bahan baku plastik dari industri petrokimia hulu berkisar 4,5-5,5 juta ton, sedangkan produksi barang petrokimia hilir seperti plastik berkisar 5-6 juta ton aneka produk di hilir. Dari jumlah itu, sebanyak 80% produk hilir dipasok untuk pasar domestik. Dengan demikian, jika barang impor lebih murah merangsek ke pasar, pangsa pasar industri dalam negeri akan terkikis.
Akibat banjirnya produk impor dari Tiongkok, kata Suhat, kinerja industri petrokimia dalam negeri pun menyusut. Dia pesimistis target pertumbuhan industri petrokimia di atas 6% dapat tercapai. Padahal, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, seharusnya pertumbuhan industri petrokimia bisa lebih tinggi 1% atau 6%. Namun, dengan kondisi saat ini, industri petrokimia hanya bisa tumbuh lebih tinggi 0,4-0,5% dari ekonomi atau berkisar 5,4-5,5%.
“Target 6% pasti tidak bisa tercapai, karena pasar dalam negerinya tergerus jadi produsen dalam negerinya terus terkena,” kata Suhat.
Suhat menilai, industri lokal sulit bersaing dengan impor, karena kebijakan industri negara eksportir lebih kondusif. Selain itu, sebanyak 45% bahan baku industri hulu diimpor. Imbasnya, harga petrokimia hulu dan hilir domestik sulit bersaing. Beberapa produk yang harus bersaing dengan produk impor adalah alas kaki, barang-barang plastik, terpal plastik.
“Jadi dari hulu saja bahan baku untuk industri hilir saja impor, bagaimana bisa berperang dengan barang impor?” kata Suhat.
Suhat berharap pemerintah bisa mengambil tindakan tegas untuk membendung produk impor. Salah satunya dengan menerapkan SNI wajib untuk semua produk hilir. Ini akan membuat produk yang tidak memenuhi standar tidak bisa menembus pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor plastik dan barang dari plastik Januari- Juli 2016 mencapai US$ 3,88 miliar. Dia menambahkan, Inaplas mendesak pemerintah segera merampungkan beleid penurunan harga gas, karena sudah molor terlalu lama.

Peran Kepala Daerah Perluas Jargas
Mendorong hasil ekplorasi gas bumi Indonesia hingga dapat dimanfaat sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Lantaran itu, semua pihak perlu pula mendorong pemerintah khususnya pemerintah daerah, perusahan BUMN, BUMD dan swasta untuk memanfaatkan gas bumi sepenuhnya untuk kebutuhan dalam negeri dan semaksimal mungkin membangun Infrastruktur gas bumi dengan jaringan pipa. Sebagai kekayaan alam, tentu diharapkan bukan hanya kalangan industri saja yang bisa menikmati gas bumi ini, tetapi juga kalangan masyarakat pun harus bisa memanfaatkan potensi gas bumi ini. Dalam upaya memperluas pemakaian gas bumi inilah maka perluasan jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (Jargas) menjadi menemukan relevansinya.
“Selain menjaga ketahanan energi Nasional, jargas yang telah dibangun dan dimanfaatkan, juga telah maksimalkan distribusi gas bumi membuktikan bahwa energi gas bumi lebih efisien, aman, murah, ramah lingkungan dan bebas dari spekulasi-spekulasi yang menguntungkan sepihak,” kata peneliti energi dari Kampus ITS Dr Machsus Fawzy.
Ke depan,  Machsus berharap pengguna gas bumi semakin meningkat, regulasi dan pengawasan lebih tertata, sehingga keberlangsungan gas bumi nasibnya tidak seburuk minyak bumi. Cadangan gas bumi terus meningkat dan dapat dimanfaatkan rakyat Indonesia tidak sebatas 50-100 tahun, namun berkesinambungan sampai berabad-abad. Keterlibatan kepala daerah menjadi penting karena pemanfaatan gas bumi adalah bagian dari upaya penyejahteraan masyarakat setempat.
“Jangan sampai berpikir bahwa jargas ini adalah program PGN sehingga kepala daerah hanya pasif menonton. Ini harus jadi program nasional sehingga semua pihak ikut terlibat. Setidaknya kepala daerah memfasilitasi pembangunan insfrastruktur di masing-masing wilayah,” kata Machsus.
Dalam pengamatan peneliti kelahiran Bangkalan ini, program jargas seolah hanya program sektoral PGN yang ingin jualan gas, padahal harus dipahami apa yang dilakukan PGN adalah untuk masa depan bangsa Indonesia di masa depan khususnya dalam menopang mewujudkan ketahanan energi nasional.
“Pengembangan dan pemanfaatan energi gas bumi yang cerdas adalah salah satu jalan untuk mewujudkan ketahanan energi di masa mendatang,” tegas Machsus.
Area Head PGN Surabaya, Misbachul Munir saat dikonfirmasi terkait pengembangan Jargas ini menjelaskan Pemerintah telah melakukan pembangunan jargas sejak tahun 2009, dengan Surabaya dan Palembang menjadi pilot project-nya. Pembangunan infrastruktur Jargas jelas Munir, bertujuan meningkatkan pelayanan umum dalam penyediaan energi yang murah, bersih, aman dan mudah pemakaiannya serta mengurangi beban subsidi BBM khususnya subsidi minyak tanah dan LPG, yang merupakan komponen subsidi terbesar. Dengan menggunakan jargas, masyarakat dapat berhemat sekitar 40-60% dibandingkan menggunakan LPG.
Pemerintah secara masif telah membangun jargas di berbagai daerah. Pada tahun 2016, jargas  yang dibangun mencapai 189.000 sambungan rumah (SR) di 6 lokasi yaitu Tarakan, Surabaya, Batam, Prabumulih, Cilegon dan Balikpapan. Khusus untuk Surabaya, jargas dibangun di 14 kelurahan sebanyak 24.000 SR dan ditargetkan rampung akhir 2016. Hingga saat ini, pembangunan telah mencapai 18,8 persen.
PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) membidik 34.073 pelanggan baru di Jatim sepanjang tahun ini. Target tersebut dipatok mengusul rampungnya pembangunan proyek infrastruktur pipa distribusi gas bumi baru di sejumlah wilayah. Yakni, ruas Jetis Mojokerto – Ploso Jombang sepanjang 27 kilometer dan ruas Kejayan-Purwosari di Kabupaten Pasuruan sepanjang 15 km.
Lebih lanjut menurut Munir, dengan penambahan infrastruktur pipa distribusi gas bumi tersebut, jumlah pelanggan pengguna baru akan terus digenjot. Baik pelanggan dari kalangan industri, komersial maupun rumah tangga.
“Target kami, hingga akhir tahun 2016 nanti, minimal ada tambahan 34.073 pelanggan baru,” ujarnya kepada Bhirawa, Jumat (10/9). Para pelanggan baru tersebut, kata Misbachul akan dibagi dalam beberapa segmen. Untuk pelanggan industri ditarget minimal 27, lalu 54 pelanggan komesial, 9.992 pelanggan rumah tangga dalam program PGN Sayang Ibu, dan 24.000 pelanggan rumah tangga dari penugasan pemerintah ke PGN.
Adanya jargas untuk rumah tangga atau kepentingan umum seperti rumah sakit dan pembangkit listrik, juga industri penujang lainnya, bukan semata terjaminnya sisi keamanan, efisien, murah dan memutus mata rantai para spekulan. Namun, ketika menerawang lebih dalam lagi, progam ini setidaknya telah menerapkan amanat konstitusi sebagaimana mestinya. Yakni Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.  Maka dalam mewujudkan ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945, penting sekali pemerintah membangun infrastruktur jargas di seluruh wilayah Indonesia. Sehinga di masa yang akan datang seluruh masyarakat Indonesia merasa mudah mengakses gas bumi, tanpa harus antre sebagaimana antre ingin mendapatkan minyak tanah dan gas dalam kemasan tabung seperti yang sebelumnya sering terjadi. ***

Tags: