Pentaskan ‘Para Pensiunan’, Butet Kertarejasa Sajikan Cerita Jenaka dan Lucu

Butet Kertaradjasa aktor utama dalam naskah Para Pensiunan yang dimainkan Teater Gandrik saat menggelar jumpa pers di Surabaya. [Zainal Ibad]

Teater Gandrik Sambang Suroboyo
Kota Surabaya, Bhirawa
Jagat teater di Kota Surabaya akhir-akhir ini seperti mati suri. Hampir tidak pernah ada pementasan teater berkelas yang menggebrak Kota Pahlawan. Namun di penghujung 2019 ini, warga Surabaya yang rindu akan pementasan teater bisa terobati, karena salah satu teater terbaik dan masih eksis di tanah air akan pentas di Surabaya. Teater Gandrik itulah namanya.
Setelah lama tak mentas di Kota Surabaya, akhirnya Teater Gandrik akan menghibur warga Kota Pahlawan dalam pentas yang mengambil lakon ‘Para Pensiunan’. Pementasan teater yang berdurasi sekitar 2,5 jam itu digelar di Ciputra Hall Surabaya, pada 6 dan 7 Desember 2019 pukul 19.00 WIB.
Naskah ‘Para Pensiunan’ ini merupakan hasil saduran dari karya Heru Kesawa Murti (almarhum) tahun 1986 yang berjudul ‘Pensiunan’. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya naskah ini ditulis kembali oleh Agus Noor dan Susilo Nugroho dan berganti menjadi ‘Para Pensiunan’.
Gaya Teater Gandrik dikenal sangat akrab di mata penontonnya. Menghadirkan humor-humor cerdas, namun tanpa kehilangan nilai kritisnya. Teater Gandrik telah lama menjadi bagian dari perkembangan teater Indonesia. Gaya pementasannya pernah dikenal khas dengan gaya sampakan. Pementasannya menyatu dengan hati penontonnya.
Salah seorang pentolan Teater Gandrik, Butet Kertaradjasa, dalam jumpa pers yang digelar di Surabaya, kemarin, mengatakan, pementasan teater di Surabaya ini merupakan pementasan ketiga yang digelar setelah Jogjakarta sebelum pilpres dan di Jakarta setelah pilpres. Dalam dua pementasan sebelumnya mendapat sambutan luar biasa dari penonton.
“Sejak dulu kami sudah sering main teater di Surabaya. Bahkan permainan teater kami banyak dipengaruhi teater di Surabaya. Dulu sering tampil di TVRI Surabaya. Jadi bisa dikatakan pentas teater ini adalah mengulang jejak sejarah kami di Surabaya,” ujar Butet.
Salah seorang penulis naskah ‘Para Pensiunan’ Susilo Nugroho menambahkan, naskah ‘Para Pensiunan’ ini adalah naskah jelek. Jadi sudah empat kali mengalami perbaikan. “Dalam tradisi di Teater Gandrik, semua naskah pasti dibilang jelek. Termasuk naskah ‘Para Pensiunan’ ini juga dibilang jelek. Makanya mengalami perbaikan-perbaikan,” ujar Susilo.
Dalam naskah ‘Para Pensiunan’ ini, Susilo menggambarkan, Teater Gandrik adalah segerombolan orang bodoh yang sok pintar. Ingin lucu tapi tidak bisa lucu. Makanya saat naskah tersebut jadi, langsung dicap jelek oleh semua orang yang tergabung dalam Teater Gandrik. Sehingga naskah mengalami perbaikan-perbaikan.
“Dalam perjalanannya, kami harus kehilangan sang sutradara yakni Djaduk Ferianto karena meninggal dunia. ‘Para Pensiunan’ ini adalah lakon terakhir beliau. Termasuk dalam persiapan pentas di Surabaya ini, beliau sudah mempersiapkan dengan matang untuk latihan dan lain-lain. Tapi akhirnya mendahului kita semua,” ungkapnya.
Sementara itu, panitia penyelenggara pentas teater ‘Para Pensiunan, Arif Afandi mengatakan, di Surabaya sudah lama tidak pernah ada pentas teater. Untuk itu pentas teater dari Teater Gandrik ini adalah sebagai perangsang pertunjukan kebudayaan yang saat ini kurang bergairah di Surabaya.
“Kita ingin gerakkan lagi kebudayaan di Surabaya lewat kesenian teater. Pentas ‘Para Pensiunan’ sebelumnya telah sukses di Jogjakarta dan Jakarta. Semoga di Surabaya juga bisa sukses dan lebih sukses. Jika kali ini sukses, saat ada produksi lagi dari Teater Gandrik pasti akan menggelar pentasnya di Surabaya lagi,” ujarnya.
Untuk tempat, kata Arif, memang sengaja di pilih di Ciputra Hall. Alasannya gedung pertunjukan yang paling representatif di Surabaya saat ini hanya di Ciputra Hall. Sebab tempat lain seperti di gedung Cak Durasim dan Balai Pemuda kurang representatif untuk akustiknya.
“Konon di Balai Pemuda itu untuk akustiknya kurang bagus. Jika terjadi hujan suara hujan itu kedengaran. Begitu pula di Cak Durasim, suara-suara dari luar itu bocor. Begitu pula dengan kapasitasnya kurang besar. Sedangkan di Ciputra Hall kapasitasnya mencapai 710 seat dan akustiknya bagus,” tandasnya. [Zainal Ibad]

Tags: