Pentingnya Acara Halal Bihalal

Ahmad FatoniOleh:
Ahmad Fatoni
Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang

Suatu saat Nabi Muhammad SAW menyatakan: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut? Para sahabat menjawab orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan kekayaan. Jawab Nabi, bukan yang itu. Orang yang bangkrut dari golongan umatku adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa shalatnya, puasanya dan zakatnya. Akan tetapi ia juga datang dengan perilaku buruknya. Ia datang dengan umpatannya terhadap si anu, ia datang dengan tuduhan kejinya kepada si anu, ia datang dengan mengkorupsi harta si anu, melukai tubuh si anu, berlaku kasar kepada si anu. Maka semua itu akan ditebus dengan memberikan pahala kebaikannya kepada masing-masing si anu. jika pahalanya habis sebelum semuanya terlunasi, maka akan diambilkan dari dosa kejelekan masing-masing anu, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka.”
Dari pertanyaan Rasulullah tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang bangkrut, bukanlah orang yang miskin, tetapi orang yang kaya (kaya pahala) tetapi tidak bisa memanfaatkan kekayaannya sebab harus diberikan kepada orang lain, harus dibayarkan untuk melunasi tanggungannya. Ini ibarat seorang pedagang sedang meraup banyak keuntungan, namun ternyata ia salah mengelolanya, sehingga keuntungan yang banyak itu akhirnya ludes untuk menebus kesalahan-kesalahannya.
Urusan hutang-piutang hak sesama manusia memang tidak bisa dihapus kecuali dengan meminta maaf dari orang yang pernah dizhaliminya. Jika kita mendapat kerelaan dari yang bersangkutan maka tabungan pahala kita akan aman, tidak berkurang sedikit pun,. tidak akan diutak-atik untuk menebus ini atau itu, bahkan akan mendapat saldo tambahan dari pahala meminta maaf.
Karena alasan itulah masyarakat kita umumnya tetap membudayakan acara “halal bihalal”. Tujuan utamanya, antara lain, untuk membayar kesalahan kita kepada sesama dengan cara meminta maaf dan memperbarui kembali jalinan tali silataturahim. Jadi esensi acara “halal bihalal” adalah demi kebaikan hidup kita, baik di dunia dan akhirat kelak.
Memaknai Halal Bihalal
Secara historis, istilah “halal bihalal” kemungkinan berasal dari ungkapan wa ahallahu`alaik (semoga Allah rela kepada anda) yang biasa diucapkan para sahabat Rasulullah ketika saling berpapasan usai melaksanakan shalat Idul Fitri, selain mereka juga mengatakan: taqabbalallahu minna wa minka (semoga Allah menerima jerih payah saya dan jerih payah anda).
Jika istilah “halal bihalal” berasal dari ungkapan “wa ahallallaahu`alaik” berarti memohon kerelaan Allah sebab kita telah berjuang sekuat tenaga agar tidak mengecewakan-Nya dengan penyia-nyiaan kesempatan.). Dengan demikian, maksud istilah “halal bihalal” adalah “saling mendoakan semoga Allah rela atas ibadah puasa kita”
Namun yang menonjol dalam tradisi masyarakat kita, “halal bihalal” kemudian dimaknai dengan “saling bermaafan”. Maksud “saling bermaafan” di sini ialah masing-masing saling mengharap kerelaan saudara, sanak kerabat, sahabat atau siapa saja atas kesalahan yang pernah diperbuat, bukan mengharap kerelaan Allah secara langsung.
Tak pelak, acara “halal bihalal” lebih merupakan upaya agar tidak kehilangan pahala ibadah di bulan Ramadan. Setelah sebulan penuh berpuasa, melakukan shalat tarawih dan shalat malam, membaca al-Qur’ân, memberi sedekah dan membayar zakat, serta semua bentuk kebaikan lainnya, setiap diri kita menginginkan pahala itu tetap menjadi tabungan di akhirat, tidak diutak-atik demi menebus kesalahan ini atau tanggungan lainnya.
Lantas kita pun mencari solusi dengan cara meminta maaf kepada orang-orang tertentu yang pernah kita lukai, yang kita zhalimi, yang kita salahi atau yang kita gunjing dan sebagainya. Kita ingin memiliki semua pahala yang telah kita raih dan tidak ingin dikurangi. Bahkan kita pun masih ingin menambahnya pahala tersebut dengan cara meminta maaf kepada sesama.
Mau meminta maaf dan mengakui kesalahan berarti akan mendapatkan pahala tersendiri dari Allah. Mendapatkan maaf dari orang yang bersangkutan berarti akan menghapuskan tanggungan kita kepadanya. Mau memberi maaf berarti akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah dari pada pahala tebusan yang akan diterimanya di hari kiamat, juga akan mencairkan suasana yang selama ini membeku.
Pertanyaannya, bolehkah tradisi sosial tersebut dilakukan? Tentu, meminta maaf kepada orang lain adalah perbuatan terpuji. Bahkan agama Islam tidak membatasi waktu-waktu tertentu untuk meminta maaf kepada sesama. Permintaan maaf boleh dilakukan kapan saja, tidak harus menunggu hari raya. Akan tetapi, mengapa Idul Fitri sering dipilih menjadi saat untuk meminta maaf dan memberi maaf?
Momen Kegembiraan
Idul Fitri adalah momen saat seseorang bergembira. Secara psikologis, orang yang sedang bergembira akan mudah memberi, baik memberi maaf atau memberi apa saja. Karena sedang berbahagia, hati seseorang dalam kondisi lapang dan berbunga-bunga. Suasana perasaan semacam itu akan melahirkan kepuasan tersendiri bagi orang yang mengalaminya serta menginginkan kebahagiaannya berlangsung lama dengan memberi maaf bagi kesalahan orang lain.
Karena itu, banyak orang lalu memanfaatkan momen Idul Fitri untuk meminta maaf. Orang yang dimintai maaf pun dengan mudah mengatakan: iya sama-sama, saya juga minta maaf dan ungkapan sejenisnya. Padahal sebelum bermaaf-maafan, hubungan mereka terasa beku dan kaku. Usai bersalaman dan mengatakan ucapan maaf, niscaya hubungan mereka menjadi cair dan lega, minimal tidak merasa terlalu bersalah lagi.
Memilih saat yang tepat memang salah satu kunci kesuksesan. Jika ingin sukses mendapat maaf dari seseorang, kiranya memilih saat-saat ia bergembira. Di antaranya, pas hari raya Idul Fitri. Sama halnya bila menginginkan hadiah atau traktiran dari orang lain, hendaknya memilih saat orang itu mendapat gajian, saat mendapat kenaikan pangkat atau saat gembira lainnya, kemungkinan besar tidak akan mengalami penolakan.
Alhasil, acara “halal bihalal” merupakan media yang sangat strategis guna mendapat kerelaan atau pemberian maaf dari orang yang kita kehendaki. Akan tetapi, terlebih dahulu hendaklah kita berhalal-halalan kepada Allah, yaitu memohon perkenan-Nya agar menerima amal kebaikan serta mengampuni dosa-dosa kita setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu.

                                                                                           ———————— *** ———————–

Rate this article!
Tags: