Pentingnya Edukasi Pemenuhan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan 

Pembahasan serius soal gizi buruk di seminar

(Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045)

Surabaya, Bhirawa
Gizi buruk masih membayangi peringatan Hari Gizi Nasional 25 Januari 2019 lalu. Data-data anak dengan gizi buruk kembali mengemuka baik di pemberitaan media massa, maupun forum-forum diskusi. Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) yang peduli terhadap kesehatan anak turut mengemukakan temuannya tentang anak-anak kurang gizi di Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten. Temuan tersebut dipaparkan dalam diskusi publik “Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045”, belum lama di LBH Jakarta.
Hadir sebagai pembicara Ir. Doddy Izwardy, MA., Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Anisyah S.Si,Apt, MP, Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM, Arif Hidayat, SH.MH., Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), serta aktivis KOPMAS Yuli Supriaty. Sementara Dede Macan Yusuf Efendi, Ketua Komisi IX DPR RI turut berdiskusi melalui video call.
Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), Arif Hidayat mengatakan, meskipun berdasarkan  Riskesdas   2018   menunjukkan  adanya   perbaikan   status  gizi  pada   balita  di Indonesia, namun ancaman gizi buruk dan stunting akan terus menghantui anak-anak di Indonesia. Hal itu berakar dari minimnya edukasi masyarakat mengenai 1.000 HPK dan tumbuh kembang anak. “Dari hasil pemantauan kami di beberapa wilayah, permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah akses kesehatan yang sulit dijangkau, belum memiliki atau terkendala BPJS hingga pengetahuan masyarakat tentang gizi dan tumbuh kembang anak sangat minim. Kami masih menemukan bayi dan balita yang mengonsumsi susu kental manis bahkan minuman ringan rasa kopi susu, karena orang tua beranggapan minuman tersebut adalah susu yang dapat mencukupi gizi anak,” jelas Arif.
Lebih lanjut, Arif mengatakan perlu adanya sinergi baik pemerintah dan swasta maupun lembaga-lembaga non pemerintah atau LSM. Karena itulah, KOPMAS hadir mengajak serta membantu pemerintah untuk bersama-sama dalam  upaya mengurangi  gizi  buruk,  dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya generasi muda.
“Melalui ini, KOPMAS menyampaikan apresiasi terhadap pemerintah, Kemkes & BPOM yang telah mengeluarkan PerBPOM No.31 Th 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diharapkan dapat menjadi langkah awal perbaikan gizi masyarakat dimasa mendatang. Meski demikian, langkah ini tak berhenti dengan penerbitan regulasi, namun juga harus berlanjut pada edukasi kepada masyarakat dan produsen makanan dan minuman, pengawasan serta penindakan yang tegas apabila ada pelanggaran. Untuk inilah dibutuhkan sinergi antara masyarakat, LSM/ NGO dan pemerintah,” papar Arif.
Terkait aturan tentang Label Pangan Olahan tersebut, Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah Ssi.,Apt, MP menegaskan BPOM segera menyosialisasikan, terutama kepada produsen. “Meski grace periode)nya ditetapkan 30 bulan, tapi kita akan dorong pengusaha agar melakukan penyesuaian secepatnya, termasuk mengenai produk SKM. Kita sudah mapping dan memang ditemukan lebih banyak produk kriemer yang beredar dibanding susu kental manis,” jelas Anisyah.
Salah satu lingkup kerja KOPMAS adalah menerima pengaduan dari masyarakat akan adanya persoalan kesehatan anak, terutama gizi buruk. Berdasarkan pengaduan yang diterima KOPMAS pada periode Nov – Desember 2018, KOPMAS melakukan peninjauan langsung ke sejumlah keluarga di Jawa Barat dan Banten. Sebanyak 12 keluarga di Jawa Barat dan  1 keluarga di Malang.
Berdasarkan hasil temuan KOPMAS, mereka kesulitan akses kesehatan seperti BPJS Kesehatan. Sebanyak 12 anak terindikasi mengalami gizi buruk: di Kabupaten Bandung 1 anak, Kabupaten Bandung Barat 4 anak, Indramayu 4 anak, Cirebon 2 anak dan Malang 1 anak .
Arif menambahkan, dari kunjungan tersebut masih ditemukan orang tua yang memberikan susu kental manis (SKM) sebagai minuman bernutrisi. Akibatnya, mereka justru kekurangan nutrisi bahkan terindikasi mengalami gizi buruk. “Pemahaman yang salah di masyarakat kita hingga saat ini bahwa SKM adalah susu yang memiliki nutrisi tinggi bagi anak-anak terutama bayi padahal diketahui kandungan gula pada SKM sebesar 50%.” Ujar Arif.
Perlu diketahui, Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi  30,8%.  Demikian  juga  proporsi  status  gizi  buruk  dan  gizi  kurang  turun  dari 19,6% (Riskesdas  2013)  menjadi  17,7%.  Namun  yang  perlu  menjadi  perhatian  adalah  adanya  tren peningkatan  proporsi  obesitas  pada  orang  dewasa  sejak  tahun  2007  sebagai  berikut  10,5% (Riskesdas 2007), 14,8% (Riskesdas 2013) dan 21,8% (Riskesdas 2018).
Kalau kita datang langsung ke kampung-kampung yang aksesnya sulit dijangkau, mungkin kita akan menemukan lebih banyak lagi penderita gizi buruk. Hanya saja kita belum tahu.” Kata Arif.(ma)

Tags: