Pentingnya Perempuan Berliterasi Informasi

Oleh :
Siti Fatimah
Pustakawan Pertama di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur

Apa yang diperlukan perempuan dalam berliterasi informasi? Bukankah literasi itu maknanya luas bukan hanya sekedar membaca dan menulis saja tetapi lebih luas dari itu, implementasi dari hasil menulis dan membaca, yaitu kemampuan seseorang dalam mencari, mengoleksi, mengevaluasi, atau menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan informasi dari berbagai sumber secara efektif ( Chicago: American Library Association, 1989 dalam Suherman, 2009).

Perempuan sebagai makhluk yang serba bisa, secara kodrat perempuan ditakdirkan untuk hamil, melahirkan, menyusui sehingga peran – peran pengasuhan dari awal kelahiran lebih melekat pada perempuan. Dan ini bukan berarti pengasuhan hanya ibu saja yang menjadi penanggung jawab tetapi keterlibatan kedua orangtua, ayah dan ibu. Sayangnya peran yang luar biasa ini masih belum sejalan dengan anggapan masyarakat secara umum, secara konstruksi sosial yang terbentuk. Perempuan selalu saja dianggap lemah, dianggap sebagai warga kelas dua, dan kadang juga perempuan sendiri memposisikan dirinya sebagai peran yang lemah, contohnya saja ketika mengangkat barang, pasti ada perempuan yang memposisikan lemah dan hanya bisa dilakukan oleh laki – laki, padahal urusan angkat mengangkat itu persoalan tenaga, kuat atau tidak. Bagaimana kalau laki – lakinya lemah kan juga tidak bisa mengangkat itu barang. Satu hal lagi urusan memasak. Entah dari mana awalnya memasak ini menjadi pekerjaan perempuan yang melekat. Padahal ketika saya membaca buku yang ditulis oleh Masdar F. Mas’udi bahwa pekerjaan rumah tangga itu adalah tanggung jawab laki – laki dan perempuan tidak harus melakukan pekerjaan itu (Masdar F. Mas’udi: Islam dan Hak – hak Reproduksi Perempuan, ?). Dari sinilah perempuan harus menghargai dirinya sendiri, tidak menganggap dirinya lemah dan kelas dua dari lelaki. Ini persoalan sederhana yang sering dijumpai di kehidupan sehari – hari. Bagaimana dengan peran yang lain?

Dari awal sudah dijelaskan bahwa perempuan mempunyai peranan penting dalam pengasuhan anak. Dari ibulah yang notabene seorang perempuan, anak pertama kali mengenal bahasa, mengenal perilaku, mengenal lingkungan. Dan di sinilah seorang ibu harus mempunyai pemahaman, pengetahuan yang sangat luas karena ibu menjadi perpustakaan utama bagi perkembangan anak, seperti dalam ungkapan Arab, al umm madrasatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak – anak. Menempuh pendidikan, menuntut ilmu itu berlaku bagi siapa saja, bahkan di dalam ajaran agama pun sudah jelas disampaikan bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya baik bagi laki – laki ataupun perempuan. Sehingga jelas dari perintah ini, laki – laki dan perempuan mempunyai kewajiban yang sama dalam pendidikan. Hukumnya wajib yang artinya harus dijalani baik bagi laki – laki ataupun perempuan. Dengan berdasar perintah yang wajib ini tidak ada alasan menomorduakan perempuan untuk menempuh pendidikan. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan untuk menuntut ilmu dari sejak lahir hingga sampai masuk liang lahat. Artinya, teruslah mencari ilmu selama hayat masih di kandung badan, baru berhenti ketika nafas sudah tidak menyatu dengan badan, dan ini artinya pula sepanjang hidup kita menuntut ilmu dan selalu belajar, long life education to be spiritual human being.

Karena budaya yang sudah mengakar inilah, perempuan harus terus belajar, menghapus stigma atau stereotype yang sudah terlanjur melekat pada perempuan. Istilahnya affirmative action, yaitu suatu tindakan atau langkah – langkah khusus yang dilakukan guna mempercepat tercapainya keadilan kesetaraan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dan menghapus stigma yang terlanjur melekat pada perempuan tersebut. Tidak mudah memang tetapi dengan adanya usaha dan tindakan itu semua akan bergeser secara perlahan. Bahkan seorang pendahulu kita, yang gigih mempertanyakan posisi perempuan di mata dunia, yang membandingkan hak dan kewajiban perempuan dari negerinya dengan perempuan dari negeri para sahabatnya, yang selalu gelisah dengan peran – peran yang harus disandang oleh perempuan pada masanya, sehingga semua kegelisahan – kegelisahan itu terangkum dalam bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Ya, beliau adalah RA. Kartini yang menginspirasi perempuan Indonesia hingga kini untuk memperoleh hak dan menjalankan kewajibannya yang sama dengan jenis kelamin lain. Apa yang diharapkan Kartini mungkin belum sepenuhnya terwujud dan tugas perempuan penerusnyalah yang akan memperjuangkan cita – cita Kartini, di mana perempuan seharusnya berada, di mana perempuan harus peranan dalam bermasyarakat. Perlu keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di masyarakat dan perempuan harus faham dengan tindakan yang diambil. Pemahaman ini tentu tidak dengan serta merta diperoleh tanpa belajar dan menambah wawasan. Apapun yang dilakukan oleh para perempuan, para ibu sudah selayaknya memberikan kontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak sekali cara meningkatkan pengetahuan dan wawasan apalagi jaman yang serba mudah ini, kuncinya hanya ada dua: membaca dan memahami!

Bacalah semua buku, dalam berbagai bentuk, ambillah semua pemahaman yang ada, bebaskan pikiran tanpa ada prasangka sebelum mencerna. Bacalah semua buku dari berbagai subyek, jangan menutup diri dengan pengetahuan yang linear saja, bacalah semua buku tentang agama, spiritual, kehidupan, seni, buku yang berhaluan kiri ataupun yang berhaluan kanan, bacalah tanpa ada keberpihakan. Bebas nilai dalam mengambil pengetahuan. Carilah informasi sebanyak – banyaknya. Bukankah informasi sebelum diterima nalar harus dicerna terlebih dahulu? Di situlah pikiran akan terbuka dan bisa mengambil nilai – nilai secara positif.

Lalu di mana peran penyedia informasi dalam usaha pemberdayaan perempuan ini? Sudahkah penyedia informasi ikut terlibat dalam pemberdayaan perempuan? Sudah sejauh manakah?

Pustakawan dan perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi harus menangkap peluang di era industri 4.0. Pustakawan harus ikut arus perkembangan jaman karena jika tidak, akan tergerus oleh jaman itu sendiri. Jika sebelumnya pustakawan dan perpustakaan dalam melayani masih konvensional, saat ini sudah bisa lebih luas dalam memberikan informasi. Bukan hanya lempar bola tetapi juga menjemput bola dalam melayani bahkan bisa memanfaatkan media online. Literasi untuk kesejahteraan masyarakat, demikian saat ini yang sedang digaungkan oleh pemerintah melalui Perpustakaan Nasional. Dari peluang yang diberikan oleh perpustakaan nasional ini bisa diambil oleh perempuan sebagai bagian dari affirmative action Perempuan. Sudah saatnya perempuan berliterasi dengan baik dan benar. Salam sehat selalu.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: