Penutupan Dolly dalam Kacamata Sosiologis

imagesOleh:
Fika Andriyani
Asisten Dosen dan Staf di Laboratorium Bahasa Arab Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, Gang Dolly yang dikabarkan akan diruntuhkan pada bulan ramadan tahun 2014 ini kian menjadi sebuah dilema unik bagi segenap pihak-pihak terkait. Berbagai lontaran ketidakadilan, ketidakmanusiawian muncul sebagai alih-alih enggan  ditutupnya tempat pelacuran tersebut. Meski demikian adanya berbagai tuntunan  bahkan demonstrasi besar-besaran, Wali Kota surbaya, Tri Rismaharini tetap teguh pendirian dan bertekat kuat untuk menutup wilayah remang-remang tersebut.
Menilik kembali rencana Wali Kota  Surabaya, bahwa beliau akan memberikan bantuan modal usaha sebesar 4-7 juta rupiah. Para pekerja seks komersial (PSK) juga akan diberikan keterampilan khusus untuk mengembangkan perekonomiannya secara mandiri dan dalam jalur yang halal dan penuh kehormatan. Penulis melihat ide ini memang sudah sangat bagus dan kiranya perlu untuk mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Namun lagi-lagi akan tetap ada bantahan logis dari para PSK dan germo-germo serta ekonomi (penjual sandang pangan) di daerah itu.
Miris jika melihat moral bangsa yang semakin lama semakin merosot, salah satu buktinya adalah karena banyaknya seks bebas dan pelanggaran lokalisasi. Sehingga siapapun baik itu remaja hingga para tua, baik itu pelajar hingga pejabat, baik itu rakyat biasa hingga konglomerat bisa mendapat fasilitas pelayanan seks secara bebas di sana.
Gang Dolly dalam Kacamata Sosiologis
Gang Dolly yang dikabarkan sudah dibuka semenjak pemerintahan Belanda, saat Indonesia belum merdeka tentunya akan menjadi polemik besar jika tiba-tiba akan ditutup. Pasalnya di sanalah satu-satunya tempat mereka mencari penghidupan dan kepuasan batin. Dan tentunya Gang Dolly sudah dijauhkan dari hati mereka karena sudah cukup lama berdiri dan eksis tanpa halangan apapun. Sehingga system sosial di sana sudah cukup kuat dan sudah cukup kuat dan sudah barang tentu akan sulit dibuyarkan begitu saja. Mengingat jumlah mereka terhitung tidak sedikit.
Pertimbangan akan ditutup ini mengingat tempat semacam itu memang tidak layak untuk berkembang di Indonesia. Bahkan dalam agama baik itu Islam, Kristen ataupun lainnya sudah barang tentu tidak melegalkan prostitusi.
Jika diperinci ada tiga pokok pertimbangan sosiologis sebelum penutupan gang tersebut. Pertama, mengingat lokalisasi ini sudah dibangun semenjak Belanda sehingga sudah mendarah daging pada hidup masyarakat. System kemasyarakatan dan struktur sosial ekonomi di sana akan sulit untuk dihancurkan begitu saja. Kalaupun jadi ditutup kemungkinan akan terjadi sikap apatis dari pihak-pihak tertentu apalagi jika disokong oleh para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatakan bahwa penutupan Dolly tidak sesuai dengan HAM.
Kedua, wilayah ekonomi yang saat ini menjadi salah satu factor utama penolakan penutupan, memang tidak bisa dipungkiri kekuatannya. Ekonomi menjadi satu-satunya pijakan mereka kenapa tetap bertahan di Dolly tersebut. Seluruh kekuatan hidup para mucikari, PSK dan pedagang lainnya menggantungkan hidup di sana. Jika betul ditutup maka jelas akan membuat banyak orang mengalami pengangguran.
Ketiga, faktor religiusitas juga menjadi salah satu pertimbangan kontra ditutupnya Dolly ini. dari sisi agama, baik PSK dan para mucikari jelas-jelas termasuk melanggar lalu lintas agama baik itu agama Islam ataupun agama lainnya. Bahkan ketika melihat realitas yang terjadi di negeri ini banyak sekali kasus-kasus remaja bahkan di bawah umur yang sudah tidak asing lagi dengan dunia sex bebas. Sehingga dengan ditutupnya Dolly terutama diawali pada Ramadan kali ini diharapkan mampu memberikan sedikit suasana cerah di langit Indonesia. Mengurangi kenakalan remaja dan lain sebagainya.
Keempat pertimbangan medis. Dalam hal ini isu ditutupnya Dolly juga dikarenakan agar warga Indonesia semakin sehat terutama dalam penyakit HIV. Ketika Dolly tidak ditutup, maka disana selamanya akan menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit terkutuuk tersebut. Akan tetapi di sisi lain, saat Dolly ditutup maka pertimbangan berbahayanya adalah para penderita penyakit HIV justru tidak mempunyai ruang penyaluran yang benar. Sebab saat Dolly ditutup mereka akan mencari mangsa pelampiasan nafsu mereka dan menularkan penyakit terkutuk itu di segala tempat dan tak pandang bulu. Bahkan para mantan mucikari dan PSK yang tidak benar-benar bertaubat akan semakin gencar mencari mangsa lain. Dan menurut hemat penulis pertimbangan paling berbahaya di sini adalah masalah penularan penyakit HIV dan semakin menyebarkan para mucikari dan PSK tersebut baik di kalangan anak-anak, remaja atau dewasa.
Dari beberapa faktor inilah muncul beberapa ide kecil dari penulis. Pertama, saat ditutupnya Dolly nanti, pemerintah setidaknya mempunyai program mentaubatkan para mucikari dan PSK baik melalui pengajian-pengajian khusus, terapi ataupun pembinaan khusus. Kedua, benar-benar memberikan jatah modal usaha yang dijanjika tersebut tanpa meleset sedikitpun, karena jika tidak maka mereka justru akan mencomooh balik para petinggi pemerintah. Ketiga, memberika follow up yang nyata dan terus-menerus setelah mereka keluar dari zona prostitusi tersebut, supaya mereka enggan kembali pada dunia kelam itu. Bahkan bisa jadi melibatkan mereka dalam sosial kemasyarakatan sehingga mereka akan merasa hidup kembali dan dibutuhkan oleh masyarakat. Karena salah satu dampak psikologis ketika mereka mulai bergabung kembali dengan masyarakat, maka mereka pastinya akan mendapat noda hitam dan stempel buruk dari masyarakat. Keempat, menutup seluruh lokalisasi baik yang dalam skala kecil atau sedang agar tidak memunculkan protes ketidakadilan akrena Dolly ditutup sedangkan yang lain dibiarkan saja.
Akhir kata, semoga penutupan Dolly nanti akan menjadi penutupan yang benar-benar membawa manfaat baik untuk para mantan PSK dan mucikari ataupun bagi masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda bangsa Indonesia.

———— *** ———–

Tags: