Penyair dan Korupsi

Judul : Korupsi di Korona, Puisi Menolak Korupsi 8
Penulis : 94 Penyair Indonesia
Penyunting : Sosiawan Leak dan Rini Tri Puspohartini
Penerbit : Buana Grafika Yogyakarta
Tahun terbit : Juli 2021
ISBN : 978-623-7358-65-7
Peresensi : Ahmad Muhli Junaidi
Penulis adalah pemerhati sastra kritik sosial. Aktif juga sebagai penulis sanja’ dan carpan di JPRM sejak 2017. Juga sebagai Guru di SMA 3 Annuqayah.

Saya meyakini bahwa buku ini merupakan representasi para penyair yang bergulat dengan isu-isu keseharian terkait korupsi korona. Dan saya pun amat yakin bahwa ia merupakan rekam jejak nyata yang disuarakan para pemilik hati nurani bersih tentang nasib bangsa di tengah pandemi yang entah sampai kapan akan berakhir. Serta saya yakin bahwa sesungguhnya himpunan sajak ini adalah fakta yang terjadi di daerah masing-masing di mana sang penyair itu bertempat tinggal.

Buku ini adalah himpunan dari 94 penyair Indonesia dengan judul ‘Korupsi di Korona’ yang tergabung dalam mahaseri buku PMK (Puisi Menolak Korupsi). Dan buku ini merupakan seri ke-8. Perlu diketahui secara nyata, bahwa sesungguhnya PMK ialah berisi gagasan-gagasan besar dari para sastrawan Indonesia, lebih-lebih yang berkutat di dunia kepenyairan, tentang bagaimana negeri tercinta ini suatu saat dapat terbebaskan dari panyakit kronis yang bernama korupsi. Perlu diketahui juga, korupsi di negeri ini makin hari semakin sulit dikendalikan, bahkan KPK pun semakin hari makin dibuat tumpul dan tak bertaring lagi guna memberantas korupsi. Dan PMK ini dimotori oleh Sosiawan Leak, seorang tokoh penyair Indonesia yang tinggal di Surakarta, Jawa Tengah.

Tentu saja, dunia sastra, khususnya puisi, adalah dunia majas-majas, dunia perumpamaan, dunia aligoris, dan dunia kata-kata, yang tak semua orang bisa memahaminya, kecuali para sastrawan itu sendiri. Kritik yang tercurah dalam menyikapi korupsi korona, tentu tidak senyata tulisan nonsastra. Dunia sastra tetap menyimpan maknawi mendalam walaupun dihadapan para sastrawan itu berlaku hal-hal sarkastis. Ini perlu saya ejawantahkan agar para pembaca tak salah arah menyikapi isi buku ini. Sehingga mengira, karya sastra dalam buku ini berisi misuh-misuh, kasar, dan tanpa aling-aling. Tidak! Buku ini tetap sebagai wujud sastra yang bermutu tinggi

Mari, saya akan membedah secara acak sajak-sajak yang ditulis oleh sebagian sastrawan sebagai bukti betapa kritik yang mereka sampaikan memang begitu indah namun tetap pedas dan memilukan.

Di halaman pertama, kita menemukan puisi berjudul ‘Di Rumah Saja’ karya Aang A.K. sebagai berikut; dalam sunyi//kita sembunyi//dalam sembunyi//kita sebunyi; lapar. Perhatikan untaian bait di atas. Kritik pedas terlontar kepada pihak yang menangani kebijakan terkait korona yang tanggung, ambigu, tak tegas, dan mencla-mencle. Mengapa? Coba kita teroka. Kita suruh di rumah saja, terkungkung di dalam kesunyian diri, disuruh sembunyi, salat di rumah saja, berhari raya di rumah saja, kerja dari rumah, dan bla-bla lainnya. Eh, pasar tak pernah sepi, orang dari luar negeri tak pernah berhenti masuk ke negeri ini. Bagi mereka golongan awam, seperti para petani, tetap disuruh bekerja, tanpa berani dipenuhi kebutuhan hidup berupa sembako lantaran mereka takut tak bertanggung jawab jika sembunyi dan tak kerja, akan kelaparan. Aneh, sepertinya korona hanya penyakitnya para punggawa pemerintah saja yang telah bergaji itu. Jelas sekali, mereka tak akan kelaparan sumbunyi karena telah bergaji tetap.

Saya melompat ke halaman 64, bertemu dengan penyair dari Banten bernama Imat Al-Bantani. Ia menulis puisi dengan judul ‘Di Sudut Rumah Sakit’ dengan bait; Di sudut rumah sakit//Seorang anak kecil menangis//Matanya berkaca-kaca//Ayahnya meninggal divonis korona//Di atas meja rumah sakit//Terjadi persekongkolan//Oknum-oknum bermain diagnosa//Mengganti riwayat sakit seorang ayah//Terkena virus korona….

Bagaimana pembaca? Apa perlu lagi saya urai konten bait-bait di atas? Sepertinya, sudah teramat jelas maksud penyair ini seperti apa dan bagaimana. Lihat fakta sekarang. Jangan sembunyi di baliknya atau berpura-pura tidak tahu akan hal itu. Betapa vonis korona sungguh menzalimi hak-hak pasien dan keluarga besar mereka. Betapa vonis itu datang setelah pasien meninggal. Bukan di awal-awal pemeriksaan! Padahal, yang tervonis mempunyai penyakit bawaan sejak dahulu, seperti asma, tbc atau radang paru-paru, dan panyakit pernafasan lainnya. Wajar saja, jika di masyarakat awam terlontar frasa ‘si Anu dikoronakan’. Sebab, pangkalnya sudah kongkalikong seperti dalam sajak di atas.

Mari kita lihat di akhir halaman buku setebal 206 halaman ini. Kita berjumpa dengan penyair Yustinus Harris, dengan bunyi sajak; Si ibu bermimpi//anaknya minta mandi//Lalu ibu memohon pada penjaga makam//untuk menggali kubur itu lagi//Setelah satu setengah meter digali//Ditemukan sudarwati terlentang//tanpa selembar kain kafan//Cuma memakai daster dan terbungkus plastik//persis seperti yang terakhir dipakainya//di ruang isolasi covid rumah sakit//tiga hari yang lalu.

Sama halnya dengan sajak kedua, sajak ini pun sangat mudah kita cermati. Isi yang hendak disampaikan penulisnya sangat mudah kita tangkap, dan ini suatu yang kerap terjadi selama pandemi. Hanya berkedok hukum darurat, hukum-hukum kifayah seorang Muslim terabaikan. Konon, yang meninggal karena korona adalah mati syahid. Orang yang wafat karena syahid tak usah dimandikan dan dikafani. Demikian mungkin pandangan pemulasaraan janazah korona. Sebuah anggapan yang tidak memahami bagaimana mati syahid itu.

Pada akhirnya, sengkurat korona semakin nyata terlihat di depan kita membuat kita semakin pilu. Kebijakan pemerintah pusat terkait penanganannya berikut kebocaran anggaran pun kian tak terelakkan. Terlebih dengan terjadinya penangkapan terhadap penilap bantuan bagi masyarakat terdampak serta temuan statistik (penularan) yang rapuh validitasnya, dan aroma korupsi serta manipulasi yang dilakukan oleh oknum pemerintah kian tersuar.@

———– *** ———–

Rate this article!
Penyair dan Korupsi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: