Penyebaran Dokter di Provinsi Jawa Timur Belum Merata

Foto Ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Penyebaran dokter umum di Jawa Timur rupanya belum merata. Meski jumlah lulusan dokter diklaim cukup, sejumlah daerah masih kerap dijumpai kekurangan dokter.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur, Dr dr Kohar Hari Santoso, Senin (23/9) kemarin. Menurutnya, rasio dokter umum di Jawa Timur adalah satu banding 5900. “Artinya satu dokter di Jatim harus melayani 5900 orang. Idealnya, 1 banding 3000,” ujarnya.
Lebih lanjut, dr Kohar menambahkan untuk Surabaya jumlahnya sudah terpenuhi. Berbeda dengan Madura yang rasionya satu banding 10.000. “Bisa dibilang distribusinya yang kurang merata. Karena sebagian besar dokter-dokter ini membuka praktik di kota, sementara untuk di pedesaan rasio jumlah dokter dengan masyarakat tidak seimbang,” katanya.
Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama RSU dr Soedono Madiun berharap lulusan dokter baru tidak hanya terkosentrasi di perkotaan, melainkan melihat juga kawasan pedesaan. “Karena masih banyak di daerah-daerah pinggiran yang kekurangan dokter umum,” jelas Kohar.
Untuk dokter spesialis yang ada di rumah sakit daerah, lanjut Kohar, standarnya sudah terpenuhi. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini mengatakan persebaran dokter spesialis sudah tercukupi. “Kalau mencari dokter spesialis jantung di ujung Madura ya tidak ada. Makanya kami melakukan review kelas rumah sakit beberapa waktu lalu. Jadi rumah sakit tipe C, dokter spesialis untuk penyakit dasar itu sudah ada,” terangnya.
Sementara itu, anggota DPRD Jatim Agung Mulyono mengatakan untuk menyikapi kekurangan dokter, Dinkes harus melakukan pendataan atau pemetaan. Setelah mendapatkan data, kemudian harus dikelompokkan daerah-daerah mana yang paling kekurangan hingga yang sudah terpenuhi. “Lalu harus dicarikan solusinya,” katanya.
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan Dinkes harus melakukan komunikasi dan sosialisasi ke seluruh Perguruan Tinggi di Jatim terkait tenaga dokter. Ia meyakini seluruh Perguruan Tinggi ingin agar lulusannya segera bekerja.
“Kalau sampai saat ini banyak lulusan yang kerja setelah enam bulan hingga setahun lulus kuliah, sedangkan tenaga dokter dianggap kurang, ini jelas kontradiktif,” pungkas Agung. (geh)

Tags: