Penyelesaian Kemelut Demokrat

Oleh :
Hananto Widodo
Dosen Hukum Tata Negara dan Ketua Pusat Kajian Hukum Dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya.

Persoalan konflik internal Partai Demokrat yang berujung pada Kongres Luar Biasa (KLB) dan menghasilkan kepengurusan yang baru, bukanlah persoalan Partai Demokrat semata. Namun, ini sangat berkaitan dengan masa depan kehidupan partai politik di Indonesia. Ingat, konflik internal parpol pasca reformasi bukan kali ini saja terjadi. Kita tentu ingat, dengan peristiwa konflik internal PPP dan Golkar. Bukan tidak mungkin, ke depan akan terjadi lagi kasus serupa yang akan dialami oleh Partai Politik lainnya.

Pada konteks konflik internal Partai Demokrat sebagaimana yang pernah dialami oleh Golkar dan PPP, semua akan tergantung pada keputusan Pemerintah yang akan mengesahkan kepengurusan yang mana. Kepengurusan versi KLB yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum atau tetap mengakui kepengurusan yang dinahkodai Agus Harimurti Yudhoyono. Pilihan dari Pemerintah untuk mengakui mana dari dua kepengurusan yang sah tersebut tentu bukan sesuatu yang mudah, walau Pemerintah memiliki tolok ukur untuk mengakui salah satu dari dua kepengurusan tersebut.

Tolok ukur yang digunakan oleh Pemerintah tentu adalah peraturan perundang-undangan dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari Partai Demokrat. Menurut undang-undang No. 2 Tahun 2011 perselisihan terkait kepengurusan partai politik akan diselesaikan secara internal melalui Mahkamah Partai Politik. Putusan Mahkamah Partai Politik ini bersifat final dan mengikat secara internal. Dalam hal penyelesaian melalui Mahkamah Partai Politik tidak tercapai maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri terkait dengan penyelesaian perselisihan kepengurusan adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan Pemerintah tidak akan melakukan intervensi terkait dengan perselisihan kepengurusan Partai Demokrat. Oleh karena itu, penyelesaian kemelut di Partai Demokrat akan diserahkan pada internal Partai Demokrat. Persoalan menjadi muncul ketika kepengurusan KLB mengajukan permohonan keabsahan kepada Kemenkumham. Di sinilah komitmen dari Pemerintah akan diuji. Memang Pemerintah akan mengkaji persyaratan administratif yang diajukan oleh kubu KLB. Namun demikian, keputusan yang akan diambil oleh Pemerintah akan memiliki resiko yang tidak ringan.

Langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah adalah meminta untuk menyelesaikan perselisihan internal melalui mekanisme yang ditentukan dalam UU Parpol. Yang jadi masalah ketika kedua kubu sama-sama bersikukuh tidak mau menyelesaikannya melalui jalur hukum, dengan alasan kepengurusan mereka sah jika dilihat pada AD/ART Partai Demokrat. Tentu ini juga akan membuat Pemerintah pada posisi yang sulit. Jika Pemerintah tidak mengakui salah satu dari dua kepengurusan dari Partai Demokrat, maka dapat dipastikan akan terjadi dualisme kepengurusan Partai Demokrat dan ini tentu membawa implikasi politik yang serius terhadap Partai Demokrat.

Kita tentu ingat sekitar tahun 2013, ketika pada tahapan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, Khofifah yang pada waktu itu menjadi Rival Soekarwo dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai Calon Gubernur oleh KPU Jatim, karena salah 1 Parpol pendukungnya memiliki dualisme kepengurusan, di mana kepengurusan yang satu mendukung Soekarwo, sedangkan kepengurusan yang satunya mendukung Khofifah. Untung saja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di bawah kepemimpinan Jimly Asshidiqie telah melakukan terobosan hukum dengan memerintahkan KPU RI untuk memulihkan haknya sebagai Calon Gubernur Jawa Timur.

Kasus Pilgub Jawa Timur hanyalah sebagai salah satu contoh implikasi politik yang akan diterima oleh Parpol yang memiliki dualisme kepengurusan. Tentu ada implikasi politik lainnya yang tidak kalah pentingnya, seperti konsolidasi politik yang harus dilakukan oleh Partai Demokrat. Sebagaimana kita ketahui nasib Partai Demokrat pasca lengsernya SBY sebagai Presiden dapat dikatakan kurang baik. Konsolidasi politik sebagai upaya untuk menaikkan elektabilitas Partai Demokrat bukan perkara mudah, apalagi jika Partai Demokrat dilanda kemelut internal yang tidak kunjung usai.

Mendirikan Partai baru juga bukan persoalan yang mudah. Memang ada beberapa Partai baru yang merupakan pecahan dari Partai induknya tidak kalah kuatnya dengan Partai induknya. Partai tersebut antara lain adalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang merupakan pecahan dari Partai Golkar. Namun demikian, kita tidak bisa menjadikan Partai Gerindra sebagai rujukan bagi Partai Demokrat di bawah kepengurusan AHY untuk mendirikan Partai baru, karena problem yang sekarang dihadapi oleh Partai Demokrat berbeda dengan problem yang dihadapi oleh Partai Gerindra. Partai Gerindra dan Partai Demokrat sama-sama memiliki karakteristik yang sama, yakni sama-sama mengandalkan figur pimpinannya. Partai Gerindra mengandalkan figure Prabowo Subianto sedangkan Partai Demokrat mengandalkan figur SBY.

Persoalannya sekarang Partai Demokrat sedang mengalami krisis elektabilitas pada pemilu 2019. Meskipun Partai Demokrat tetap lolos Parliamentary Threshold (PT), tetapi jika kemelut internal ini tidak terselesaikan, bukan tidak mustahil jika Partai Demokrat pada Pemilu 2024 akan tidak memiliki wakil di parlemen. Untuk mengantisipasi hal itu maka jalur hukum seyogyanya ditempuh oleh kubu AHY. Logika kenapa kubu AHY yang harus menempuh jalur hukum, karena kubu AHY yang merasa dirugikan dengan adanya KLB yang telah menetapkan Moeldoko sebagai Ketua umum.

Meskipun harus melalui Mahkamah Parpol dan kemungkinan putusan Mahkamah Parpol tidak akan diakui oleh kubu KLB, karena Mahkamah Parpol kemungkinan dianggap terlalu berpihak kepada kubu AHY, tetapi itu harus dilakukan. Jika melalui Mahkamah Parpol tidak terselesaikan maka akan bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan. Jika putusan pengadilan telah menyatakan salah satunya sebagai pengurus yang sah, maka Pemerintah dengan tanpa beban bisa memutuskan kepengurusan yang dimenangkan oleh Pengadilan. Dengan demikian, keputusan Pemerintah hanya bersifat deklaratif, yakni hanya menguatkan putusan pengadilan.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: