Penyikapan Turunnya Minyak Dunia

Agustin Dwi HaryantiOleh :
Agustin Dwi Haryanti
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Keputusan pemerintah kembali menurunkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter dari harga Rp 7.600 per liter. Fakta tersebut merupakan penurunan kedua setelah penurunan pertama dari Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Hal itu dilakukan setelah harga minyak dunia kembali turun menjadi 46 dolar AS per barel.
Sikap masyarakat
Kenyataan itu sontak membuat masyarakat merasakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni  penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) premium dua kali dalam beberapa bulan ini. Karena itu, yang terjadi di lapangan pun berkebalikan dengan yang sering terjadi. Dulu, menjelang diberlakukan kenaikan harga, biasanya antrean kendaraan mengular di tiap SPBU hingga menjelang tengah malam.
Kemarin ini, mungkin masyarakat justru menahan diri dan menunggu sampai hari saat harga baru diberlakukan. Dengan demikian pengendara bisa memperoleh Premium dengan harga murah, atau dengan kata lain dengan uang yang sama bisa memperoleh Premium lebih banyak dibanding pada akhir tahun lalu. Hal tersebut  tentu cukup melegakan, setidak-tidaknya bisa meringankan dari sisi pengeluaran biaya transportasi, meskipun harga barang-barang yang telanjur naik agak susah turun.
Melihat kenyataan naik, turun, dan turun lagi harga BBM ini bisa dipetik beberapa pelajaran. Intinya rupa-rupanya Presiden Jokowi by design sedang menyiapkan kultur masyarakat untuk siap dengan perubahan harga BBM, baik naik maupun turun, mengikuti harga minyak dunia. Penampilan Kepala Negara yang mengumumkan sendiri, tidak menyerahkan kepada menteri rencana penurunan harga BBM menunjukkan desain kultural itu. Ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang memahami masyarakatnya.
Pencabutan subsidi BBM mau tak mau harus dilakukan karena subsidi memang menjadi beban APBN. Meskipun pada akhir 2014 ada tren harga minyak dunia turun, pemerintah tetap menaikkan harga Premium. Lihatlah perubahan perilaku masyarakat, dari semula terbiasa mengonsumsi BBM bersubsidi secara sukarela beralih kepada BBM nonsubsidi. Hal ini karena perbedaan harga premium dan Pertamax yang sangat sedikit. Lebih mahal sedikit, tetapi dapat BBM lebih bersih.
Warga yang sudah pernah merasakan harga Premium tinggi, sekarang ini menjadi terbiasa membeli Pertamax. Apalagi harga Pertamax juga ikut turun menjadi sama dengan harga Premium pada akhir tahun lalu. Tanpa terasa dan tanpa dipaksa, masyarakat  mengubah pola konsumsi BBM dari yang bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Kebijakan harga seperti ini ternyata lebih efektif dibandingkan imbauan di berbagai SPBU dan memasang stiker bahwa BBM bersubsidi hanya untuk warga kurang mampu. Untuk selanjutnya penghapusan subsidi BBM ini akan menjadi lebih mudah. Tekanan terhadap APBN bisa dikurangi, karena subsidi berkurang.
Dana subsidi bisa dialihkan ke penggunaan yang lebih efektif dan lebih produktif, berbarengan dengan kebiasaan masyarakat yang sudah mengonsumsi BBM nonsubsidi. Pertanyaannya sekarang, karena harga BBM dalam negeri mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, siapkah masyarakat dengan harga BBM sangat tinggi jika harga minyak dunia membubung? Seharusnya siap. Siapa yang salah dari naik turunya harga BBM?
Harga minyak dunia
Banyak pihak kemudian ”menyalahkan” pemerintah dengan mengatakan bahwa mestinya pemerintah tidak perlu cepat-cepat menaikkan harga BBM dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 pada 18 November 2014. Pasalnya, pemerintah pasti sudah mengetahui tren bahwa harga minyak dunia akan terus turun.
Tren turunnya harga minyak dunia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, meningkatnya pasokan (supply) minyak dunia karena keputusan negara-negara OPEC mempertahankan kuota produksi; ditemukannya metode baru pembuatan minyak di AS dengan cara memanaskan bebatuan (disebut shade oil); kemenguatan nilai tukar dolar AS terhadap hampir semua mata uang dunia; serta menurunnya permintaan minyak dunia karena lesunya ekonomi Eropa, Tiongkok, Jepang, dan India.
Pihak-pihak yang ”menyalahkan” kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM premium dari Rp 6.500 pada 18 November 2014 tersebut juga mengatakan akibat negatif dari kebijakan itu ikut menyumbang tingginya tingkat inflasi tahun 2014 sebesar 8,36 persen. Menurut saya kebijakan menaikkan harga BBM pada 18 November 2014 tidaklah salah.
Pertama; bagaimanapun pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang pada APBN 2014 sudah mencapai Rp 250 triliun. Jika tidak dicabut, subsidi BBM di APBN 2015 bisa mencapai Rp 300 triliun, bahkan lebih. Besarnya subsidi BBM menimbulkan persepsi negatif di kalangan pelaku pasar modal dan pasar uang. Para pemilik uang akan segera mengalihkan dolarnya kembali ke AS karena ekonomi negara adidaya itu sedang dalam proses pemulihan.
Kedua; sebenarnya siapa pun tak pernah menduga bahwa harga minyak dunia akan terus turun seperti sekarang. Pada saat pemerintah menaikkan harga BBM jadi Rp 8.500 per liter dari Rp 6.500 pada 18 November 2014 masih ada keyakinan kuat bahwa harga minyak dunia akan kembali normal menjadi sekitar 80-90 dolar AS per barel. Kenyataan ternyata berbicara lain karena harga minyak dunia cenderung terus turun dan kini sampai 46 dolar AS per barel.
Operasi pasar
Penurunan harga BBM premium sampai dua kali, bahkan di masa mendatang akan bisa turun lagi atau sebaliknya kembali dinaikkan sesuai dengan fluktuasi harga minyak dunia memang membuat banyak kalangan terkejut atau heran. Mereka tidak terbiasa menerima penurunan harga BBM berkali-kali, bahkan nanti juga kemungkinan kembali naik. Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama; melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa harga BBM bisa naik-turun mengikuti harga minyak dunia. Faktor lain yang diperhitungkan pemerintah untuk menaikkan/menurunkan harga BBM adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Jika dolar AS menguat terhadap rupiah atau rupiah melemah terhadap dolar AS maka harga BBM akan naik, dan sebaliknya. Pengguna solar untuk industri dan pertamax sudah terbiasa dengan fluktuasi harga seperti itu dan tidak kaget. Kedua; yang menjadi masalah memang adalah bahwa kenaikan premium menyebabkan kenaikan harga barang-barang lain. Celakanya, ketika harga premium sudah turun, harga-harga barang lain itu tidak ikut turun. Hal ini memang sifat dari harga yaitu ”fleksibel ketika naik, tetapi kaku ketika harus turun”.
Untuk itu, kebijakan yang harus diambil adalah kalau yang mengalami kenaikan itu adalah harga barang-barang kebutuhan pokok maka pemerintah lewat Bulog bisa melakukan operasi pasar dengan menjual barang-barang kebutuhan pokok yang harganya naik. Operasi pasar selama ini sering salah sasaran karena dilakukan di pasar-pasar dan yang membeli justru pedagang pasar yang memiliki modal besar.
Seyogianya operasi pasar dilakukan di lingkungan perumahan agar pembelinya rumah tangga yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mencermati ulah spekulan yang memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga barang melebihi kewajaran dan menimbun barang. Di tiap daerah sudah ada tim pengendali inflasi daerah (TPID) yang anggotanya merupakan gabungan dari berbagai lembaga, termasuk penegak hukum seperti kepolisian.
Polisi bisa menindak para spekulan ini karena ada landasan hukumnya, yaitu UU tentang Pergudangan. Regulasi itu menyebutkan bahwa pihak yang bisa atau boleh menimbun barang di gudang adalah mereka yang memiliki izin pergudangan. Pihak yang tidak memiliki izin itu andai menimbun barang bisa dikategorikan melanggar hukum atau menjalankan praktik spekulan yang akan berhadapan dengan hukum.

                                               ———————— *** ————————

Rate this article!
Tags: