Per-gula-an (Makin) Getir

GulaIndustri gula memasuki babak paling sulit, bagai simalakama. Pabrik Gula (PG) yang telah berusia tua tidak effisien. Namun jutaan petani terlanjur menggeluti kebun tebu sebagai nafkah utama. Produktifitas simbiose (antara petani dengan PG) masih tinggi. Pilihan sulit, masih ditambah dengan persaingan tidak fair dengan gula bermutu rendah eks-impor. Diperlukan biaya sekitar Rp 9 trilyun untuk membangun beberapa PG baru dengan kapasitas 100 ribu ton per-hari.
Pada sisi onf-farm (lahan tebu) juga menyimpan masalah tak kalah pelik. Yakni, rendemen tebu hasil panen terus merosot, kini tinggal 8%. Inilah yang menyebabkan harga gula dalam negeri tergolong mahal. Karena sewa lahan mahal, dan sistem tanam dan kondisi lahan yang tidak sesuai baku mutu. Lahan yang tidak subur diobati dengan penambahan pupuk dengan dosis makin tinggi. Porosi (kerusakan lahan) makin akut. Ujung-ujungnya, rendemen semakin rendah.
Di Jawa, rendemen tertinggi dicapai oleh PG Mojopanggung milik PTPN X (itupun hanya sebesar 8,16). Padahal dulu, era 1930-an rendemennya mencapai 12%.  Sampai tahun 2016, panen tebu tidak pernah “meledak.” Proses giling di PG (Pabrik Gula) juga dilakukan bagai sekedar “pemanasan” mesin. Kelesuan produksi gula hanya demi mempertahankan stok ideal, agar masyarakat memperoleh harga wajar. Dan petani masih memperoleh penerimaan yang adil.
Maka diharapkan pemerintah tidak impor gula, khususnya gula kristal putih. Karena stok gula masih sebanyak 1 juta ton, persediaan yang cukup sampai musim giling tahun ini. Sebenarnya, kapasitas produksi PG sebanyak 2,3 juta ton per-tahun. Tetapi stok di gudang hasil musim giling tahun 2015 masih melimpah (1,6 juta ton). Stok melimpah di gudang secara langsung juga menyebabkan mengendurnya kinerja PG. Termasuk mengurangi sewa lahan.
Itu bagai simalakama PG, tetapi menjadi win-win solution. Agar PG tidak semakin terpuruk, dan tidak terbebani utang gula milik petani. PG juga mengurangi sewa lahan petani, niscaya hasil tanam juga berkurang. Banyak sisi positifnya, terutama efisiensi. Pada sisi kepentingan petani, uga bisa dianggap sebagai “jeda tanah” agar tanah tidak jenuh terhadap tanaman tebu. Prinsipnya, stok harus dihabiskan, agar tidak berubah warna, rasa, dan aroma.
Kelebihan stok gula nyaris mustahil di-ekspor, karena HPP dalam negeri sangat mahal (di atas Rp 8.000,- per-kilogram). Sebagai bandingan, HPP di Thailand cuma Rp 4.500,- per-kilogram. Penyebab utama mahalnya HPP, adalah ongkos sewa lahan. Hal itu disebabkan mayoritas lahan tebu (75%) masih terpusat di pulau Jawa (dengan harga sewa lahan sangat mahal). Padahal rendemen tebu terbaik diperoleh di Lampung.
Problem gula semakin tidak semanis rasanya. Pada realisasi tata-niaga juga harus bergelut dengan kuota gula rafinasi (untuk industri) yang merembes memasuki pasar. Wajar petani menolak kebijakan pemerintah mengimpor gula tahun (2016) ini. Berdasarkan peraturan, impor gula hanya dilakukan oleh BUMN per-gula-an. Namun ternyata juga dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki  “core” bisnis gula.
Industri per-gula-an makin terseok-seok. Tetapi bukan berarti harus menutup seluruh PG. Harus diakui, PG tua (berusia lebih dari 80 tahun) sudah tidak effisien. Enam diantaranya (di jajaran PTPN X dan XI) telah tutup. Saat ini tersisa empat PG yang operasional agak memadai. Keempat PG ini masih layak dipertahankan dengan revitalisasi.
Tetapi belum bebas masalah. Antaralain, lokasi lahan tebu yang tersebar sampai jauh dari PG. Sangat mempengaruhi kualitas tebu, rendemen makin anjlok. Maka revitalisasi PG mesti diikuti pemetaan sentra lahan. Namun impor gula rafinasi masih menjadi keniscayaan!

                                                                                                             ———   000   ———

Rate this article!
Per-gula-an (Makin) Getir,5 / 5 ( 1votes )
Tags: