Per Juni 2017, LSF Jatim Mulai Bekerja

Pemprov Jatim, Bhirawa
Per 1 Juni 2017, Tenaga sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) Perwakilan Provinsi Jawa Timur mulai bekerja melakukan penyensoran film termasuk musik daerah agar potensi budaya daerah yang bermuatan lokal tetap eksis dan bertahan.
Wakil Ketua LSF Pusat, Dody Budiatman mengatakan, keberadaan LSF di daerah berfungsi untuk menekan pengaruh negatif film dan mendorong berkembangnya budaya daerah yang sangat menonjolkan kearifan lokal.
Ia mengatakan, dibentuknya tenga sensor di daerah provinsi merupakan tindak lanjut dari amanah UU No 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman yang didalamnya mengamanatkan agar keberadaan lembaga sensor film tidak hanya berada di Jakarta, akan tetapi dapat pula dibentuk perwakilan lembaga sensor di daerah.
“Hal ini tentunya sesuai amanat pasal 57 dan 58 ayat 4, perwakilan itu ditempatkan di ibukota provinsi. Untuk itulah kenapa di provinsi Jatim, LSF ditempatkan di Surabaya. Hal ini memudahkan juga agar pembuat/produksi film yang ada daerah, dan tidak lagi jauh mengurus ke Jakarta,” katanya.
Selain itu, keberadaan tenaga sensor perwakilan di daerah diharapkan mampu sebagai garda terdepan mempertahankan budaya bangsa dari pengaruh negatif perfilman. “Tidak hanya itu, mereka juga harus mampu sebagai penerang dan pendorong tumbuh kembangnya perfilman nasional,” tandasnya.
Dikatakannya, LSF di daerah juga harus mendorong pada pendekatan kearifan lokal dan mengembangkan budaya daerah agar tetap lestari di negeri sendiri. “Karena itu, film yang beredar harus mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS, red),” katanya saat sosialisasi Kebijakan dan Keberadaan Perwakilan Lembaga Sensor Film (LSF) Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (18/5)
Sementara, Juru Bicara LSF Pusat, Rommy Fibri Hardianto mengatakan, perkembangan produksi film di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jika tahun 2015 ada 25 ribu film, pada 2016 menjadi 49 ribu film.
Dari jumlah itu, sebanyak 7 persen merupakan hadir produksi dari Jawa Timur, baik berupa mataraman, madura, osing, termasuk musik daerah.   “Perlu diapresiasi antusias dan hasil karya budaya daerah ini. Karena itu mengapa Jawa Timur jadi provinsi pertama yang kita bentuk tenaga sensornya. Selanjutnya, kita juga akan membentuk di Makasar dan Medan,” katanya.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim menyambut positif dan dukungannya atas terbentuknya tenaga sensor perwakilan Jawa Timur. “Adanya LSF ini maka para produsen dan sineas film dapat lebih mudah dan tidak perlu ke Jakarta untuk meminta STLS atas produknya,” kata Kabid Kebudayaan Disbudpar Jatim, Dra Hartini MM.
Dikatakannya, Jatim punya seni budaya di 38 kabupaten kota yang luar biasa serta ada 7 sub etnis, salah satunya budaya arek, osing, dan mataraman. Hal ini perlu diapresiasi secara cermat agar budaya daerah tetap eksis dan berkembang.
“Saya berharap, produser dan sineas muda untuk terus mengembangkan produksi film di Jawa Timur, Disbudpar siap membantu fasilitasi dan pendampingan di objek objek Jawa Timur. Secara tidak langsung, perfilman juga bisa mendorong kepariwisataan di Jawa Timur,” katanya.
Seperti diketahui, tujuh tenaga sensor yang dilantik, yakni Muhammad Roissudin, Fatur Rohman, M Natsir, Anwar Hudijono, HM Lukman Hidayat, Budi Santosa, dan Aditya Rizka Ashar. Ketujuh tenaga sensor film tersebut tenaga profesional di bidangnya dan perwakilan dari berbagai unsur, yakni akademisi, pemerintah, serta masyarakat umum. [rac]

Tags: