Perajin Gerabah dan Batu Bata di Probolinggo Gundah

Mohammad perajin gerabah di Desa Besuk tata gerabahnya yang banyak pecah akibat hujan. [wiwit agus pribadi]

Produksi Mereka Hancur Diguyur Hujan, Usaha Tersendat dan Terus Saja Merugi
Kab Probolinggo, Bhirawa
Hujan deras yang turun tak menentu beberapa hari belakangan, tidak hanya menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Kabupaten Probolinggo. Perajin gerabah dan batu bata di Kabuaten Probolinggo, khususnya di Kecamatan Besuk ikut merasakan dampaknya. Produksi mereka hancur diguyur hujan. Usaha tersendat dan tentu saja merugi.
Pemandangan tak biasa terlihat di jalan desa RT 6/RW 3, Dusun/Desa Alaskandang, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo. Di depan rumah yang ada di sepanjang jalan itu, terlihat gundukan tanah cukup tinggi. Selain gundukan tanah, di rumah-rumah yang rata-rata memiliki halaman luas itu tertata rapi sejumlah kerajinan dari tanah liat. Seperti cobek, vas bunga dan celengan dengan berbagai bentuk.
Gundukan tanah itu adalah bahan dasar untuk membuat gerabah. Ya, Dusun/Desa Alaskandang memang dikenal sebagai salah satu penghasil gerabah di Besuk. Bila ada gundukan tanah di depan sebuah rumah, bisa dipastikan si empunya rumah adalah pengrajin gerabah.
Salah satunya Sunami, wanita 54 tahun itu sibuk menata ratusan cobek yang dibuatnya selama seminggu. Sesekali, wanita berambut putih itu membalikkan cobek yang sudah kering di halaman rumah berdinding gedek itu. Dibantu seorang temannya berusia kira-kira sama. “Dia Bibi saya. Sejak dulu profesinya pengrajin cobek. Ada bosnya. Jadi setiap cobek yang dibuat sudah ada yang membeli,” kata Muhammad, warga setempat.
Namun, para pengrajin gerabah di Besuk belakangan sedang gundah. Sebab, hujan masih saja turun. Padahal menurut perhitungan mereka, seharusnya saat ini sudah masuk musim kemarau. Dan kemarau adalah masa berproduksi bagi pengrajin gerabah. Karena itulah, sejak dua pekan lalu mereka mulai memproduksi gerabah. Tepatnya saat hujan diprediksi tidak akan turun lagi.
Sunami misalnya, memproduksi sekitar 300 cobek. Cobek-cobek itu lantas dijemur di halaman rumah. Namun, tak disangka hujan deras tiba-tiba turun pada malam harinya. “Malam saat sedang enak-enaknya tidur, tiba-tiba turun hujan deras. Mau dimasukkan ke rumah pun sudah dak nutut. Akhirnya ya dibiarkan saja,” katanya pasrah.
Seluruh cobek yang baru dijemur itupun rusak diguyur hujan. Sunami pun mengalami kerugian hampir Rp 1 jutaan. Sebuah nominal yang sangat besar bagi para pengerajin gerabah dan batu bata. “Bagi orang biasa kelihatannya kecil kerugiannya. Namun, bagi kami para pengrajin gerabah, nilai itu besar. Membuat 300 gerabah itu adalah pekerjaan selama satu minggu. Perhari produksi kami paling banter 50 cobek,” tutur Muhammad.
Hujan memang laksana pantangan bagi para pengrajin gerabah. Sebab, proses pengeringan gerabah sangatlah membutuhkan matahari. Jika tidak ada matahari, maka produksi akan tersendat. “Tanpa matahari, produksi kami sangat terganggu. Bahkan, kami bisa merugi. Seperti yang terjadi belakangan ini. Produksi kami rusak karena hujan,” lanjutnya.
Tidak hanya kerugian materiil, para pengrajin juga mengalami kerugian waktu dan tenaga selama proses produksi. Sebab, mereka harus membuat lagi dari awal. “Kalau sudah sudah rusak kan harus buat lagi dari awal. Tentu hasil kerja selama sepekan tidak ada. Yang ada hanya capek,” tandas Sunami.
Terlebih kerajinan yang dibuat sudah memiliki tuan atau pemesan. Maka, para pengerajin harus memutar otak agar pemesan tidak merasa dibohongi. Sebab, para pemesan sudah memiliki jadwal untuk mengambil pesanan. “Kepercayaan kan harus dijaga. Kalau sudah rusak, biasanya ngambil ke tetangga yang ada barangnya,” lanjutnya.
Desa Alaskandang sendiri adalah salah satu wilayah penghasil gerabah dan batu bata. Dan saat ini, sejumlah pengrajin mulai berproduksi di rumah masing-masing. “Semua pengrajin mulai produksi. Tapi kalau hujan pasti tersendat,” tandas Sunami.
Namun, para pengerajin gerabah dan batu bata itu tetap bersyukur. Sebab sejak pandemi Covid-19 menurun, mulai banyak yang memesan kerajinan gerabah. “Selama pandemi, tidak ada pesanan sama sekali. Mau mawarkan kesana kemari juga tidak ada yang mau. Alhamdulillah sekarang sudah ada pemesan. Walaupun hujan jadi kendalanya,” katanya.
Bila produksi tersendat, tentu tidak ada barang yang bisa dijual. Sementara kebutuhan hidup terus berjalan. Dalam kondisi seperti itu, biasanya pengrajin gerabah ini melakukan pinjaman ke bank untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tidak ada jalan lain, pinjam ke bank. Untuk ngirim anak apa yang mau dikasih. Penghasilan satu-satunya sudah tersendat. Jadi nanti diberi rezeki (bisa produksi dan laku, red) dibuat bayar utang,” terangnya.
Subairi, pengrajin batu bata di Besuk juga merasakan kesulitan yang sama. Sepekan lalu di mengalami kerugian sekitar Rp 300 ribu. Sebab, hujan turun dan merusak batu bata yang sedang dijemur. “Biasanya ditutup plastik. Tapi waktu itu lupa sampai malam. Karena kan menurut kami sudah masuk kemarau. Ternyata malamnya hujan deras. Hancur semua,” terangnya.
Sekitar seribuan batu bata milik Subairi yang kena hujan. Harganya Rp 300 ribuan. Semuanya rusak. Dia pun harus membuat ulang dari awal. “Ya harus buat ualng. Rugi janji, rugi waktu dan tenaga,” tambahnya. [wiwit agus pribadi]

Tags: