Perajin Gerabah Tradisional di Nganjuk Menunggu Punah

Pengrajin gerabah di sentra gerabah Desa Gemenggeng Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk terancam gulung tikar.

Pengrajin gerabah di sentra gerabah Desa Gemenggeng Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk terancam gulung tikar.

Tak Pernah Mendapat Bantuan Pemerintah
Nganjuk,Bhirawa
Tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, satu persatu pengrajin tradisional peralatan dapur dari gerabah di Nganjuk mulai gulung tikar. Jika kondisi ini dibiarkan bukan tidak mungkin pengrajin di Kota Angin itu akan punah dan produksi gerabah tidak akan ditemui di pasaran.
Sentra pengrajin gerabah di Dusun Babadan Desa Gemenggeng Kecamatan Bagor yang dulunya jumlahnya ratusan kini, tinggal 8 orang yang masih menekuni pekerjaan warisan turun temurun itu.
Karena minimnya sarana dan prasarana serta perkembangan teknologi, pengrajin gerabah yang rata-rata memproduksi alat-alat dapur, seperti cowek, layah, klowong, wajan, kuali, dan lain-lain tersebut tidak mampu berproduksi secara rutin.
Selain tidak memiliki modal yang cukup untuk membeli bahan baku dan kayu bakar produk para pengrajin gerabah tidak dapat langsung terjual karena pangsa pasarnya sudah mulai tergantikan dengan produk-produk dari bahan lain.
Salah satu perajin gerabah asal Desa Gemenggeng, Wiji (60) mengatakan penyebab utama minimnya produksi, adalah masalah modal dan peralatan  yang masih cukup kuno. Untuk proses pembuatan hingga pembakaran saja membutuhkan waktu sekitar 20 hari. Itu pun bila kondisi matahari cukup terik untuk melakukan penjemuran, seperti musim kemarau saat ini. Jika musim hujan, perngrajin gerabah tradisional butuh waktu lebih dari sebulan untuk baru produknya dapat dipasarkan. “Semua dikerjakan dengan tangan dan kaki, jadi butuh waktu lama. Dalam proses produksi, saya dibantu suaminya dan anak-anak,” kata perempuan beranak tiga itu.
Hal serupa disampaikan Tarsi,(48) perngrajin gerabah yang ikut membantu proses pembakaran bersama beberapa pengrajin lainnya. Tarsi mengaku, setiap proses pembakaran, delapan perngrajin selalu gotong-royong, mulai menata hingga membongkar dari tumpukan. Untuk bisa diturunkan, menunggu kondisi gerabah dingin sekitar semalam. Mereka memilah-milah, antara gerabah yang utuh dengan yang pecah.
Barang-barang yang terpilih dihargai bervariasi, tergantung tingkat kesulitan pembuatan dan ukuran. Untuk ukuran kecil dengan tingkat pembuatan mudah dihargai rata-rata Rp 1250 hingga Rp 2000 per bijinya. Seperti, klowong, layah, kendil, kuali. Sedangkan untuk gerabah dengan tingkat kesulitan tinggi dan lebih besar, rata-rata dihargai Rp 3000, seperti maron dan wajan. “Produksi gerabah kami diborong pengepul, dijual di pasar-pasar, seperti Gondang dan Rejoso,” kata Tarsi.
Kendati hampir tiap hari mencetak gerabah, Tarsi mengaku mendapat untung sangat kecil. Hasil penjualan dari tangan pengepul hanya bisa untuk biaya hidup sehari-hari, selebihnya untuk membeli tanah liat dan kayu bakar. “Bayangkan saja, untuk bisa sampai ke pembakaran, butuh waktu 20 hari, kalau sudah matang dan tidak cepat terjual, berarti harus ngutang dulu untuk makan dan beli bahan lagi,” keluh Tarsi.
Sebenarnya, lanjut Tarsi, yang menjadi kendala utama para perajin gerabah adalah alat pelumat tanah liat. Masalahnya, waktu banyak tersita untuk menginjak-injak tanah liat bercampur pasir itu. Di samping itu tenaga secara manual tidak dapat menghasilkan kualitas lebih bagus dibanding menggunakan tenaga mesin. Diperkirakan, bila perajin menggunakan mesin, bisa menghemat separo waktu hingga ke pembakaran. “Sepuluh hari sudah bisa dibakar dan hasilnya pasti lebih baik dan tidak banyak yang pecah,” katanya.
Kendala kedua adalah masalah pemasaran, setelah produksi menumpuk, tidak cepat laku terjual. Sementara, kebutuhan pengepul juga terbatas untuk bisa menampung hasil karya mereka. Diakui, memang beberapa kali mendapat pesanan dari luar daerah, seperti Kediri, Madiun dan Jombang dalam jumlah besar, namun perajin tidak dapat memenuhi, lantaran pekerjaan semua dilakukan secara manual. Sedangkan, harapan bantuan mesin dari pemerintah tidak kunjung ada. [ris]

Tags: