Peralihan Kepemimpinan Pemerintahan

Moh Mahrus Hasan

Oleh:
Moh. Mahrus Hasan
Pengurus Pesantren Nurul Ma’rifah Poncogati Bondowoso dan Guru MAN Bondowoso 

“Saya ingin program di bidang perikanan, pendidikan, dan kesehatan bisa sustain pada pemerintahan gubenur mendatang. Program yang paling penting untuk dilanjutkan adalah aman nyaman. Nggak aman nyaman, nggak akan ada pembangunan.” (Gubenur Jawa Timur Soekarwo). (Jawa Pos, 1/1/2018)
“Saya berharap bupati selanjutnya bisa meneruskan apa yang dinilai baik dan memperbaiki yang kurang baik. Dan pemimpin yang berhasil itu adalah orang yang menyiapkan kepemimpinan setelahnya.” (Bupati BondowosoAmin Said Husni), dan “Sudah semestinya kita memilih figur yang bisa meneruskan tata kelola pemerintahan Bondowoso yang diapresiasi inklusif dan elegan oleh Lakpesdam PBNU.” (Ketua PCNU BondowosoKH. Abdul Qodir Syam). (Disampaikan oleh keduanya pada Silaturahim Masyayikh dan Tokoh Masyarakat di Pesantren Nuruth Thalabah Pancoran Bondowoso, 28-12-2017).
Demikian harapan dua pemimpin pemerintahan dan ketua pengurus cabang salah satu organisasi sosial keagamaan mengenai peralihan kepemimpinan pemerintahan di tahun 2018 ini. Tentunya, kita juga berharap demikian.
Namun demikian, peralihan kepemimpinan yang dimaksud harus dimaknai sebagai upaya meneruskan tongkat estafet kepemimpinan dengan melanjutkan program dan kebijakan yang baik, bahkan membuatnya lebih baik lagi. Bukan pergantian pemimpin dan peralihan kekuasaan semata, apalagi dengan prinsip pokoknya harus ganti.
Kepemimpinan Untuk Kemaslahatan Umat
Dalam Islam, kepemimpinan begitu penting sehingga mendapatkan perhatian yang sangat besar. Setiap perkumpulan(komunitas) diharuskan memiliki pimpinan, bahkan dalam skala terkecil sekalipun. Nabi Muhammad bersabda “Apabila tiga orang keluar bepergian, hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin.” (Mujamil Qomar: 2007).
Kepemimpinan dalam Islam harus berprinsip”Tashorruf al-imam ‘ala al-ra’iyyati manuthun bi al-maslahah.Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan.” Berpijak pada kaidah ini, maka peralihan kepemimpinan melalui perhelatan pilkada harusbertujuan memilih pemimpin yang bisa menjalankan amanah umat demi kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu saja (baca: pengusung dan pendukung pasangan peserta pilkada).
Dengan demikian, kita tentu tidak ingin proses-proses peralihan kepemimpinan itu menjadi ajang show of force (unjuk kekuatan) masing-masing kubu pengusung dan pendukung pasangan peserta pilkada dan bertujuan memenangkan pertarungan politik semata. Karena, jika ini yang terjadi, maka kubu yang menang akan semena-mena dan akan terus menerus menindas kubu yang kalah. Kubu pemenang akan menjalankan pemerintahan yang sekiranya hanya menguntungkan pihaknya. Dan semua sumber kesejahteraan yang tangible maupun yang intangible akan dikuasai sepenuhnya, tanpa peduli pada kubu yang kalah.
Karena diperlakukan demikian, kubu yang kalah pasti sakit hati dan dendam. Dan kita tahu bahwa sakit hati akan menyebabkan ‘sakit’ pada lainnya: pikiran yang tidak normal, mulut yang kotor, tulisan yang agitatif-provokatif, tingkah laku yang tidak sopan dan santun, dan lain sebagainya. Kubu yang kalah akan terus menjadi oposisi yang tidak mengerti posisi yang seharusnya.
Jika kubu yang kalah itu menjadi pemenang pada pertarungan di babak-babak berikutnya, maka kemungkinan besar politik balas dendam akan diterapkan. Mereka akan mengulang sejarah penindasan yang pernah dilakukan oleh lawannya itu. Demikian seterusnya, silih berganti. Politik balas dendam seperti ini akan terus berlanjut tiada hentinya. Jika demikian, siapa yang dirugikan? Pasti kita sebagai rakyat kecil yang tidak paham berbagai konspirasi politik ‘tingkat dewa’ itu.
Kita tahu dari sejarah dan merasakan bahwa peralihan kepemimpinan nasional kita dari masa ke masa tidak berjalan mulus dan model politik balas dendam cenderung dilakukan. Orde Lama ditumbangi oleh Orde Baru. Orde Baru diruntuhkan oleh Orde Reformasi. Masa kepemimpinan di Orde Reformasi juga diisi dengan perebutan kekuasaan dengan cara yang cenderung kurang elegan. Dan anehnya, hampir semua peralihan kepemimpinan di tingkat apa pun di negeri ini cenderung dilakukan dengan berbagai intrik, melalui dunia nyata maupun dunia maya. Dan bisa jadi, peralihan kepemimpinan yang tidak elegan itu menjadi pemicu munculnya politik balas dendam tersebut.
Pemimpin dan Rakyat Harus Bijak
Menjadi pemimpin berarti siap melayani seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu dan kubu, karena “Pemimpin sebuah kaum (sejatinya) adalah pelayan mereka.” Pemimpin harus bisa mensinergikan semua potensi yang ada, serta merangkul semua kalangan: ‘kuning’, ‘biru’, ‘orange’, ‘ungu’, dan ‘warna’ lainnya, serta yang ber-‘Jas Merah’, ‘Jas Hijau’, bahkan ‘Jas Hitam’ sekalipun, utamanya di tahun 2018 ini dan 2019 mendatang. Dan pemimpin harus siap mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan rakyat dan di akhirat kelak, “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Oleh karena itu, pemimpin harus cermat dan bijak dalam menyikapi aspirasi masyarakatnya yang bisa jadi tidak mengarah pada kemaslahatan. Nabi Muhammad Sang Pemimpin Agung itu saja diingatkan, “Jika kamu (Muhammad) mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, maka mereka akan menyesatkanmu (jauh) dari jalan Allah” (QS. Al-An’am: 116), apalagi pemimpin-pemimpin zaman now.
Bagi para pemimpin dan pemegang kekuasaan-dan para calonnya juga-agar mengingat pesan Sayyidina Ali, bahwa “Seseorang yang memperoleh kekuasaan sering menindas dan berbuat sewenang-wenang”, karena “Kekuasaan itu syahwat. Syahwat itu seperti ular, halus dijamahnya tetapi berbisa.”
Sedangkan kita selaku rakyat, harus sadar dengan apa yang diucapkan Sayyyidina Ali saat rakyatnya mengeluhkan keadaan yangtidak aman dan nyaman seperti masa-masa kepemimpinan sebelumnya. Sayyidina Ali dengan cerdas menjawab kurang lebih demikian, “Karena pada masa kepemimpinan sebelum saya, rakyatnya adalah seperti saya. Sedangkan pada kepemimpinan saya sekarang, rakyatnya adalah seperti kalian.” Semoga berkah!

——– *** ———

Rate this article!
Tags: