Perampingan Lembaga Negara

Karikatur perampinganMASA 100 hari pelaksanaan pemerintahan Jokowi wajib terus melakukan pembenahaan, terutama pada sisi kelembagaan dan manajerial. Sangat banyak kelembagaan malah terasa sebagai “preman” yang memperpanjang birokrasi. Juga sangat membebani keuangan negara untuk operasional kelembagaan. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah. Banyak intitusi dewan-dewan daerah menjadi parasit SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Presiden Jokowi telah membubarkan 10 kelembagaan non-struktural, dan menyusul 40 lainnya pada tahun 2015. Dua diantara yang dibubarkan termasuk Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, dan Dewan Gula Indonesia. Setelah dibubarkan, tugas dan fungsi (serta pembiayaan, dokumen dan keadministrasian kelembagaan) diserahkan kepada Kementerian terkait. Dus, kelembagaan akan semakin ramping.
Dalam sepuluh tahun terakhir, penambahan kelembagaan tergolong sangat fantastis. Lebih dari 60 institusi, yang pada masa sebelumnya tidak dikenal. Penambahan kelembagaan ada yang dikelola oleh pemerintah, dan ada pula yang mandiri. Misalnya yang berbentuk komisi-komisi. Umumnya (seolah-olah) terkait pelayanan publik. Sebagian diantaranya dibentuk berdasarkan undang-undang (UU). Di daerah ada yang berdasarkan pada Peraturan Daerah.
Padahal dalam UU tidak pernah di-amanat-kan dengan frasa kata “wajib” membentuk kelembagaan non-struktural. Melainkan hanya tentatif dengan kata “dapat.” Amanat bersifat tentatif itu dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh dengan ambisi dan kegenitan. Dengan gertakan itu pemerintah membentuk kelembagaan yang permanen, termasuk pemberian gaji (setidak-tidaknya di-istilah-kan honor) atau insentif. Selain itu pemerintah juga harus menyediakan ruang kerja. Semuanya berkonsekuensi pada anggaran.
Pembentukan kelembagaan non-struktural, awalnya bertujuan membantu kinerja  kementerian atau lembaga negara terkait. Tak jarang juga didirikan untuk “meneropong,” sebagai counter-part. Pada sisi lain masyarakat juga membentuk kelembagaan secara sukarela dan mandiri, membentuk LSM. Beberapa LSM terbukti sangat efektif meningkatkan peran serta masyarakat. Misalnya, ICW, Kontras, dan Walhi.
Terbentuknya kelembagaan non-struktural, sejatinya menunjukkan lemahnya fungsi pemerintah. Boleh jadi sebagai euphoria gerakan reformasi. Juga pertanda ke-tidak percaya-an masyarakat terhadap institusi yang ada (Kementerian dan lembaga struktural lainnya. Sehingga berbagai kelembagaan non-struktural cukuplah sebagai LSM. Atau maksimal bersifat ad-hock dengan batasan waktu (selama-lamanya setahun) dan dengan target kinerja dan evaluasi. Setelah itu bubar.
Karena itu pembubaran kelembagaan non-struktural patut dilanjutkan. Termasuk yang seolah-olah berdasar UU, tetapi kontribusinya sangat minimal untuk negara. Di daerah, beberapa lembaga non-struktural nyaris tidak memberikan sumbangan apapun untuk kemajuan pelayanan Pemerintah Daerah. Padahal setiap tahun Pemerintah Daerah mengucurkan anggaran dari APBD. Juga memberi fasilitasi lain, termasuk bantuan staf pegawai.
Beban keuangan negara seyogianya dijaga benar, karena defisit neraca berjalan masih sangat besar. Sudah terdapat benteng untuk menjaga pengeluaran negara. Yakni melalui UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Dengan ketiga UU tersebut, sistem keuangan bukan sekadar bersifat financial administration, melainkan lebih sebagai pengelolaan keuangan (financial management).
Lebih lagi untuk keuangan daerah terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada pasal 4 disebutkan: “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis…dan manfaat untuk masyarakat.” Asas-nya harus berpegang teguh pada kemanfaatan masyarakat.
Namun di tengah upaya perampingan kelembagaan, ternyata pemerintah Jokowi juga akan membentuk lembaga non-struktural baru. Yakni, Badan Ekonomi Kreatif. Seyogianya, ekonomi kreatif bukan berupa kelembagaan, melainkan program yang melekat pada seluruh kementerian, terutama sektor perekonomian. Cukup sebagai nomenklatur kegiatan
Tetapi yang lebih strategis, adalah menghindari kebijakan tidak populer, yang menggerus keuangan rakyat banyak. Begitu pula, menjaga inflasi tidak melaju tinggi lebih urgen dibanding blusukan.

                                                 ————————– 000 —————————–

Rate this article!
Tags: