Peran Negara Menghadapi Ancaman di Era VUCA

Oleh :
Dr Arman Hakim Nasution
Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri DRPM ITS 2020 – 2025
Sarah Dalglish, dosen dan peneliti pada Pusat Ketahanan Kesehatan John Hopkins University, AS merilis Indeks Ketahanan Kesehatan Global 2019 dalam jurnal kesehatan terbarunya pada Maret 2020
Indeks tersebut merupakan perbandingan kesiapan 195 negara dalam menghadapi wabah, yang dinilai dari aspek pencegahan, deteksi dini dan pelaporan, respon cepat, sistem kesehatan, serta iklim resiko.
Di tengah ancaman global Covid-19 (Corona) saat ini, hasil rilis Indeks ini seakan-akan hanya bualan. Mengapa demikian?
Bayangkan, dalam indeks ini AS dinyatakan sebagai Negara yang paling siap (ranking 1) dalam menghadapi wabah, disusul Inggris dan Belanda. Padahal kenyataan di tahun 2020 ini, AS dan Inggris menjadi Negara yang sedang mengalami pandemik hebat dibandingkan Negara dengan ranking dibawahnya.
Korea Selatan, Singapura, dan China dalam indek tersebut diletakkan pada ranking (secara berurutan) 9, 24, dan 51. Meski pengindekan adalah melaporkan kesiapan selama tahun ke – (N-1) pada saat dipublikasikan, hasil penelitian ini menjungkir balikkan kenyataan yang ada.
China yang diletakkan dalam gap ranking hingga ke 55 dibanding AS ternyata mampu mengatasi wabah pandemic jauh lebih cepat dibandingkan AS dan Inggris yang kesulitan menghadapinya.
Kunci Keberhasilan
Kuncinya ternyata adalah belajar dari masa lalu. Penyakit pernapasan adalah pengalaman berharga bagi ketiga negara tersebut. Dimulai tahun 2003 dengan adanya SARS, dan tahun 2015 dengan MERS, dan sekarang tahun 2020 dengan Covid-19. Dengan demikian, penyakit pernapasan akut akan selalu ada dikemudian masa, dan akan selalu menjadi momok pandemi global, karena virus yang bermutasi.
Yang perlu dicermati adalah bagaimana kita mampu belajar dari penyelesaian kasus pandemic tersebut, sehingga kecepatan mutasi virus bisa dikalahkan oleh kecepatan riset vaksin.
Dalam hal pengaruh pandemik terhadap suatu Negara, Covid-19 mengajarkan kepada dunia, bahwa kolaborasi antar Negara menjadi penting. Tengok bagaimana tenaga ahli China membantu penyelesaian kasus pandemic ini di Italia, demikian juga tenaga medis Kuba dan Negara kecil lainnya membantu Negara besar yang kewalahan.
Covid – 19 juga mengajarkan kepada negara kita, bahwa yang namanya pandemik akan merusak ketahanan ekonomi, dan pada akhirnya bila tidak dimanajemen dengan baik, akan merusak ketahanan Negara.
Redefinisi peran Negara dalam memperkuat ketahanan nasional di era VUCA ini menjadi penting. Bila dahulu yang namanya perang adalah perebutan wilayah dan sumber daya (energy, mineral, komoditas), kemudian dilanjutkan konsep proxy war (informasi, idiologi), maka ketahanan nasional setelah kasus Covid – 19 ini akan teredefinisi menjadi: kemampuan Negara dalam memobilisasi sumber daya menghadapi wabah dan bencana.
Kerjasama erat antara dokter, perawat, rumah sakit, polisi, tentara, BUMN, serta semua rakyat akan ditunjukkan dalam wabah ini. Bagaimana dengan wabah ini, yang namanya BUMN bersatu membangun Commad Centre, dan didukung oleh innovator-inovator muda dalam mengelola BIG DATA dan alat analisis canggih berbasis AI ainnya.
Demikian juga bagaimana institusi PT yang biasanya bermain nyaman di menara gading, sekarang berlomba-lomba berkontribusi untuk bela negara. Ada PT yang membuat APD dengan biaya produksi hanya Rp.5500 (Lima Ribu Lima Ratus Rupiah saja), sementara kalau beli di pasaran dengan kualitas yang sama harganya Rp 45.000. Ada juga PT yang membuat ventilator dengan biaya produksi 10 Juta Rupiah, sementara kalau beli di pasaran, harga ventilator medis untuk bantuan pernapasan harganya 300 sd 700 juta.
Dengan demikian, kata kunci : kolaborasi menjadi sangat penting dan menemukan maknanya secara hakiki. Di level dunia kita melihat bahwa Arab Saudi, Iran, dan Turki sudah saling akur akibat musuh bersama yang tak terlihat ini, corona. Demikian juga AS yang arogan dengan perang dagangnya sudah mulai melunak dengan meminta bantuan China untuk mengatasi Covid-19. Dengan demikian, ketahanan masing-masing Negara secara parsial akan membentuk Ketahanan Global secara agregat. Sudah saatnya lemhanas kita memasukkan kurikulum ketahanan menghadapi/mengelola (survival dan pemulihan) bencana dan wabah ini secara lebih spesifik dan mendalam.
Ditengah ancaman virus Corona yang mengguncang secara global, semua Negara harusnya sadar bahwa perlombaan senjata, serta saling intervensi atas nama idiologi dan ekonomi tidak ada artinya dibandingkan kerusakan yang diciptakan oleh virus Corona. Demikian juga untuk Indonesia, semua politisi diharapkan menyadari akan pentingnya esensi persatuan dan kebersamaan, serta mengutamakan kesejahteraan manusia dan kehidupan, dibandingkan hal-hal yang sifatnya material.
Secara lebih spesifik, dalam hal kebijakan kesehatan, sudah seharusnya kita tidak tergantung pada mafia obat-obatan asing dan supplier Alkes, toh dalam negeri mampu berinovasi dan berkreasi. Bukankah kita tidak ingin BPJS jebol karena biaya kesehatan mahal? Oleh karena itu, segala bentuk proteksi bisnis yang dibungkus dengan alasan sertifikasi kelayakan misalnya, sudah harus di Omnibus Law-kan.
Saatnya kita ambil kesempatan besar ini, yang tidak akan terjadi apabila tidak ada kesempitan besar yang bersifat global. Salah seorang kawan mengatakan bahwa nantinya dunia secara tidak langsung harus berterima kasih kepada musuh tak tampak ini, karena virus ini secara tidak langsung akan membuat tatanan baru dunia yang lebih ramah dan kolaboratif.
Terima kasih corona, semoga engkau cepat berlalu untuk kami mengatur tatanan yang lebih baik lagi, serta memaknai esensi kehidupan dan kebersamaan secara lebih baik lagi.
————– *** —————

Tags: