Peran Orangtua Membangun Kemandirian Anak

Oleh :
Mulyanto
Staf SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya

Seorang teman, guru BP sekolah favorit di Balikpapan mengisahkan kejadian pilu kepada saya. Yaitu si Roni, bukan nama asli, pasiennya, kalau hendak berangkat ke sekolah di perjalanan dalam mobil acap menangis sesegukan. Bahkan bocah kelas 3 SD ini terbiasa manyun, gondok, bahkan dongkol sampai bibirnya dimoncongkan nyaris setiap hari waktu diantar mobil mahal ke sekolah oleh Marni, sebut saja nama mamanya itu, dan tanpa Marni tahu sebab musababnya.
Kemudian sesampainya di sekolah, kalau diantar mamanya, Roni keluar mobil lalu menyelinap begitu saja berlari masuk ke kelas, seolah ingin segera berada di kelas dan jarang main ke halaman atau bersenda gurau dengan sebayanya. Apalagi untuk menghampiri sang mama di jam istirahat yang lagi kopdar di ‘ruang tunggu’ para orangtua di komplek sekolah itu. Roni tampak memelihara rasa aneh dalam dirinya. Di kelas ia tidak masalah dengan pelajaran, dengan gurunya, tetapi ia tidak tahan diejek ‘anak mama’ oleh rekan sebayanya.
Tetapi kalau tengah dijemput bis antar jemput sekolah, ia nampak semringah, perangainya ceria dan banyak mendominasi kalau lagi bercerita dengan sesama teman di dalam mobil. Di sekolahpun ia berani tampil tanpa takut ‘hantu’ salah jawaban. Kalau di sekolah sang mama acap mengintip Roni di kelas saat jam belajar. Ini masalah selanjutnya. Ini yang membunuh potensi percaya diri anak. Padahal kata Konsultan Pendidikan Suhadi fadjaray, penyebab anak tidak percaya diri dan mandiri ada tiga hal. Pertama karena orang tua tidak tega, kedua tidak peka, dan ketiga tidak telaten.
Sudah seharusnya anak dididik mandiri dan percaya diri dengan konsep orangtua ‘tega’ dan percaya penuh potensi anak. Jangan dibayang-bayangi melulu. Suhadi menyebut, rumah butuh kurikulum kesengsaraan yang terukur. Orangtua sebisa mungkin jangan memudahkan atau terburu-buru mengambil alih kesulitan yang dihadapi anak. Orangtua juga jangan membiarkan anak-anak lalai dalam  ibadah dan kebaikan. Supaya anak belajar dan terbiasa mandiri dan percaya diri.
“Kalau sudah kelas 1 SD nali sepatu tak perlu dibantu.” Contoh Suhadi pada seminar parenting yang diadakan SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, 1 Oktober 2016.
Senada dengan Suhadi, Satria Dharma, pendidik, mengatakan banyak anak seolah-olah telah bersekolah tapi terkadang mereka tidak mendapatkan pendidikan. Mereka hadir ke sekolah tapi tidak mendapatkan apa-apa. Maka langkah terbaik orangtua adalah memberikan lahan seluas-luasnya untuk anak berkreasi dan berinteraksi dengan teman sebayannya.
Kasus Roni acap terjadi di situasi kekinian. Ini bukan salah Roni –dan yang senasib dengannya- tentu saja. Ini salah orangtuanya, mama khususnya. Situasi sekolah seharusnya yang sreg dengan hati anaknya bukan yang teduh bagi ibunya. Sehingga sanggup berlama-lama di ‘ruang tunggu’ sekolah itu.
Orangtua harus paham dan bersinergi dengan sekolah. Sekolah anak harus diperhitungkan kenyamana  bagi anak. Bukan orangtua senyamannya merasa mendampingi anak. Karena bisa jadi kasus Roni pun tengah mendera anak-anak bangsa kini.
Roni –dan yang senasib- adalah anak yang mentah. Dia tidak matang kepribadiannya. Ciri anak matang pribadinya yaitu yang mampu melepaskan diri dari orangtuanya, diterima di sosialnya, dapat bekerjasama, mampu menyelesaikan tugas sendiri, dan mampu melakukan hal lain yang baik.
Dian Setia Prameswari, psikolog, menyarankan orangtua dalam peranan pendidikan anak wajib memperhatikan unsur sosialisasi anak. Sebaiknya, saran Dian, orang tua membuka lebar-lebar ruang sosialisasi anak dengan teman-temannya. Biarlah ia memilih teman sendiri yang sevisi dengannya dengan pola pikir dan daya sortir dunia anak dan dapat menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapinya.
Yang perlu disiapkan orangtua, saran Dian adalah memberi bekal tameng pemahaman yang cukup kepada anak untuk kepentingan pribadi, menyangkut akhlaqnya, misal membaca doa sebelum makan, berbagi dengan rekannya, dan bahkan cara menangkis pukulan jika ada temannya usil. Selain itu orangtua harus memberi ruang yang luas terhadap daya kreasi, inovasi, bahkan ruang agar anak mampu menginspirasi rekannya. Orangtua jangan memasung daya kreatif anak dengan membayang bayangi setiap saat. Bikinlah selalu suasana belajar anak bagai bermain. Karena ungkap Kak Seto Mulyadi, priskolog, sebaik-baik momen belajar anak adalah saat bermain. Bermain bola, basket, gobak sodor, dan bermain apa saja tanpa takut dimarahi orangtuanya disitulah proses kematangan kepribadian anak  mulai berlangsung. Maka berilah rasa mandiri dan percaya diri anak dengan sepenuhnya.
Malu dapat menghambat daya berpikir anak dan juga membunuh potensi kematangan kepribadian anak. Padahal dua unsur ini teramat penting tatkala kita cermati sukses anak di masa depan ternyata tidak dipengaruhi deretan angka-angka rapor/akademik hari ini. Tetapi bagaimana ia bisa memanaj emosinya dan membangun relasi sosial dengan baik.
Anak yang terbiasa malu ia meritis rasa bersalah dalam hidupnya. Sebaliknya anak yang sukses kaprahnya adalah berangkat dari tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi. Maka, berilah anak ruang yang sangat luas untuk percaya diri.

                                                                                              ———— *** ————

Tags: