Peran Pemda Mendukung Program JKN-KIS

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang mulai diberlakukan 1 Januari 2014 sejatinya  untuk memberikan perlindungan kesehatan semesta (universal health coverage) seluruh rakyat Indonesia. Setelah hampir 3,5 tahun berjalan, sorotan tajam yang sering dialamatkan kepada JKN-KIS adalah terkait defisit anggaran yang terus saja terjadi. Merujuk laporan BPJS Kesehatan, dana jaminan sosial JKN-KIS mengalami defisit sebesar Rp 4,35 triliun pada 2014, Rp 5,74 triliun pada 2015 dan menjadi Rp7 triliun pada 2016 kemarin.
Terjadinya defisit dalam jumlah yang besar dan berlangsung secara terus-menerus akan mengancam kesinambungan penyelenggaraan sistem JKN-KIS. Kondisi ini perlu dihindari dan harus segera dicarikan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya mengingat sangat luasnya cakupan kepesertaan dan sangat besarnya dana yang diperlukan untuk membiayai penyelenggaraan sistem JKN-KIS.
Penguatan Peran Pemda
Dalam penyelenggaraan JKN-KIS, defisit dan kesinambungan (sustainability) merupakan dua isu strategis yang harus memperoleh porsi perhatian ekstra. Defisit anggaran kalau terus dibiarkan tentu akan mengganggu kesinambungan program tersebut. Dengan demikian, berbagai langkah strategis harus dilakukan untuk memangkas defisit anggaran JKN-KIS.
Penguatan peran pemerintah daerah merupakan alternatif paling mungkin untuk mengatasi defisit pembiayaan jaminan kesehatan nasional. Keterlibatan pemerintah daerah dalam mengurangi defisit JKN-KIS adalah sebuah keniscayaan karena fakta menunjukkan bahwa pemerintah daerah juga memberikan kontribusi terhadap defisit JKN-KIS tersebut. Mereka memiliki kewajiban untuk membayar iuran pegawai daerah, selain membayar iuran warga miskin dan hampir miskin yang belum dilindungi APBN melalui APBD.
Dukungan pemerintah daerah (Pemda) terhadap keberlangsungan program JKN-KIS, demi mencapai cakupan semesta (universal health coverage) sangatlah strategis. Bentuk dukungan tersebut salah satunya dengan mengintegrasikan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke program JKN-KIS.
Menurut data Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2016 menemukan adanya pemerintah daerah yang menunda pembayaran iuran JKN dan beberapa masih belum menggabungkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke JKN. Padahal, menurut Peta Jalan JKN 2012-2019, seluruh Jamkesda harus sudah terintegrasi dengan JKN pada akhir 2016.
Hingga saat ini sebanyak 450 dari 514 Kabupaten/Kota di Indonesia telah mengintegrasikan Jamkesda-nya ke BPJS Kesehatan. Di akhir tahun 2017 ini diharapkan seluruh Jamkesda dapat terintegrasi dalam program JKN-KIS, dan seluruh Pemda dapat mendukung terwujudnya Universal Health Coverage, sehingga program ini dapat semakin dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Penundaan pembayaran iuran JKN oleh pemerintah daerah itu disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah keterbatasan anggaran. Keengganan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan Jamkesda ke JKN juga akibat keterbatasan anggaran. Mereka menganggap pendanaan Jamkesda lebih murah dibanding membayar iuran JKN. Selain itu, banyak yang merasa rugi jika bergabung dengan JKN karena dana yang sudah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. Hal itu berbeda dengan Jamkesda; bila dana tahun ini tidak terserap semua, sisa dana masih dapat dipakai untuk tahun depan.
Berdasarkan Pasal 67 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah melaksanakan program strategis nasional. Selain itu kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan serta melaksanakan program strategis nasional.  Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenai sanksi mulai dari sanksi administrative sampai dengan sanksi pemberhentian tetap. Oleh karena itu, kepada seluruh Pemda untuk membayar iuran tepat waktu sesuai ketentuan yang ada, baik untuk Iuran Wajib Pemda maupun iuran Integrasi Jamkesda. Selain itu, Pemda juga diminta untuk memperluas akses pendaftaran bagi masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS sebagaimana yang telah dilakukan salah satu Pemerintah DaerahProvinsi, yang baru-baru ini telah membuka kanal pendaftaran peserta JKN-KIS melalui Kantor Kelurahan.
Dukungan Pemda terhadap JKN-KIS di antaranya meliputi penganggaran APBD, kepesertaan, Peraturan Daerah (Perda), maupun pembangunan infrastruktur pelayanan kesehatan. Undang-Undang 36 Nomor 2009 tentang Kesehatan mewajibkan Pemda mengalokasikan 10% dari APBD untuk sektor kesehatan, sedangkan APBN sebanyak 5%. Besaran anggaran tersebut di antaranya untuk promosi kesehatan masyarakat, pemenuhan fasilitas kesehatan (faskes) beserta kelengkapannya termasuk dokter.
Pemda perlu memberikan kemudahan bagi masyarakatnya dalam mendaftar menjadi peserta JKN-KIS. Terbukanya akses pendaftaran peserta JKN-KIS seluas-luasnya tentu akan mempercepat tercapainya universal health coverage dan membantu kesinambungan finansial JKN-KIS. Lebih jauh lagi, Pemda juga harus mampu menjadi promotor pola hidup sehat kepada masyarakat setempat, karena sustainibilitas program JKN-KIS sangat bergantung kepada iuran peserta yang sehat untuk membayar biaya pelayanan kesehatan peserta yang sakit.
Sebagai salah satu tulang punggung JKN-KIS, Pemda diharapkan dapat mengoptimalkan perannya demi mewujudkan cita-cita universal health coverage (UHC) yang ditargetkan terealisasi paling lambat 1 Januari 2019 mendatang.
Investasi Masa Depan
Sistem JKN-KIS jelas memiliki peran krusial mewujudkan negara yang sejahtera. Masyarakat perlu diyakinkan dan diedukasi akan manfaat JKN dan menjaga kesehatan adalah yang terbaik. Program promotif-preventif oleh Kementerian Kesehatan idealnya berjalan optimal sehingga dapat mencegah lonjakan orang sakit. Tak kalah penting adalah peran BPS dan Kementerian Sosial dalam mendata warga, sehingga pemegang kartu penerima bantuan iuran (PBI) atau warga yang tak mampu membayar iuran, tepat sasaran.
Bahwa hanya membincangkan JKN-KIS dari sisi defisit anggaran saja tentu juga kurang fair. Publik juga harus diedukasi bahwa program (JKN-KIS) sesungguhnya tidak hanya berdampak pada akses layanan kesehatan yang makin luas, tapi juga menumbuhkan perekonomian nasional.
Merujuk hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (2017) misalnya, menunjukkan kontribusi total JKN-KIS terhadap perekonomian Indonesia di tahun 2016 mencapai Rp 152,2 triliun.
Dampak JKN-KIS terhadap perekonomian Indonesia ini sifatnya positif dan berkelanjutan. Dalam jangka pendek, program JKN-KIS akan mendorong aktivitas ekonomi untuk sektor yang bersinggungan dengan JKN-KIS, seperti jasa kesehatan pemerintah (rumah sakit dan Puskesmas), industri farmasi, alat kesehatan dan non kesehatan (industri makanan dan minuman). Sedangkan, dalam jangka panjang, program JKN-KIS mendorong peningkatan mutu modal manusia. Mutu modal manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Bertambahnya peserta JKN-KIS meningkatkan investasi di sektor kesehatan, seperti pembangunan fasilitas kesehatan, produksi obat dan alat kesehatan. Hal itu mendorong peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Di bidang ketenagakerjaan, program JKN-KIS berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja sebesar 1,45 juta orang pada tahun 2016 dan akan meningkat jadi 2,26 juta orang di 2021 mendatang.
Akhirnya, program JKN-KIS adalah mimpi bangsa agar semua warga mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa terkendala biaya perawatan yang memberatkan. Mimpi itu pasti akan terwujud. Tak akan ada lagi ungkapan “orang miskin tak boleh sakit” karena setiap individu yang tak mampu telah ditanggung oleh sistem JKN-KIS. Karena itu, upaya menjaga keberlangsungan JKN wajib didukung semua pihak.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

                                                                                                ————- *** —————

Rate this article!
Tags: