Perangi Hoax dengan Akurasi, Nilai dan Kode Etik

Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Betapa masifnya peredaran berita palsu (hoax) di tengah kehidupan masyarakat. Tak hanya masyarakat arus bawah yang dibuat kisruh, pemerintah pun merasakan dampaknya. Presiden Joko Widodo dalam sambutan pada acara puncak Hari Pers Nasional di Ambon, Maluku, Kamis (9/2) menyatakan bahwa hadirnya media sosial turut memusingkan, terutama karena hoax berseliwerannya. Setiap orang bisa memproduksi berita tanpa melalui proses yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pemerintah telah menangkal penyebaran hoax dengan memblokir situs-situs yang memuat konten menonjolkan hasutan dan mengarah pada sentimen tertentu. Namun, pemblokiran itu sepertinya seiring sejalan dengan lahirnya situs baru karena gampangnya membuat akun-akun baru di dunia maya. Bisa saja momentum pilkada turut mendorong munculnya hoax bermuatan politik praktis.
Namun, kiranya tak gampang membendung hoax setelah pilkada berakhir. Kondisi tersebut mestinya memberikan kesadaran pengelola media arus utama untuk mengedepankan profesionalitas dengan menjaga standar tinggi nilai-nilai jurnalistik. Publik memerlukan informasi akurat dan bisa dipercaya. Pada ranah itulah media arus utama hadir dengan menyampaikan berita-berita terverifikasi, menyajikan fakta, kebenaran tinggi, dan akuntabel.
Profesionalitas Pers
Media massa sebagai penyedia informasi harus menyuguhkan fakta empiris tanpa perlu mengonstruksi realitas. Ada pendapat menyatakan kecenderungan masyarakat terhadap media sosial tidak terlepas dari informasi yang disajikan media arus utama. Misalnya media menjadi partisan yang menyuarakan kegiatan partai tertentu saja, atau menjadi media kampanye pemilik yang ikut mengelola partai politik. Jamak pula dijumpai media menyajikan kesamaan informasi.
Jurnalistik jelas lebih memiliki harga diri di tengah gejolak kabar-kabar bohong (hoax)yang menciptakan atmosfer kekacauan dan darurat informasi. Akan tetapi, jangan mudah mengklaim kredibilitas pasti dimiliki oleh para pelaku jurnalistik. Butuh banyak persyaratan untuk meraih predikat profesional, yang tercakup dalam pemahaman kaffah: cakap teknis dan arif etis.
Profesionalitas mensyaratkan kompetensi bagi para jurnalis untuk merasa memiliki harga diri. Getah hoax saat ini, yang juga disinggungkan ke dunia media patut mendorong dunia kewartawanan bermusahabah tentang seberapa besar kita butuh menggerakkan kekuatan profetik. Sehingga, wajar adanya jika ada yang memandang hoax sebagai bentuk perlawanan atas kerja-kerja jurnalistik yang menjauhi nilai-nilai idealisme. Dari sisi kecepatan dan aktualitas, media arus utama akan kerepotan melawan media sosial. Pertaruhannya adalah kredibilitas.
Media massa memperkaya narasumber yang kompeten dan mendudukkan masalah secara jernih. Juga sebagai agen perubahan untuk demokrasi sehingga memiliki peran vital dalam menjernihkan isu-isu, bukan justru memperkeruh dan merusak tatanan berbangsa. Sebab media berperan menjadi perekat dari berbagai perbedaan sikap dan pandangan masyarakat.
Hadirkan nilai dan kode etik
Era digital seperti sekarang harus kita akui bahwa produksi berita bukan hanya berasal dari perusahaan pers. Perorangan yang gandrung dengan media sosial bisa membuat lalu menyebarkan informasi secara luas. Berita palsu pun mudah menyebar, dan naifnya berita itu dianggap sebagai kebenaran. Karena itulah, media massa harus selalu menghadirkan karya-karya jurnalistik yang memperhatikan kode etik, yakni aturan yang bersifat untuk melindungi para jurnalis, bukan sekadar pengendalian.
Sekadar kegundahan media cetak melihat migrasi kultur membaca ke media digital dengan perilaku-perilaku baru dalam bermedia, tentu tak akan menyelesaikan persoalan. Bukankah fenomena kabar bohong, perilaku berjurnalitik, dan penghayatan beretika merupakan persoalan nilai-nilai?
Berangkat dari pusaran masalah ini akan memuara pada sejauh mana kompetensi dijadikan modal utama mengarungi profesi ini serta menjawab bias-bias yang muncul. Setiap tahun Hari Pers Nasional (HPN) diperingati, kali ini digelar di Kota Ambon. Tahun lalu, dalam puncak acara di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Presiden Joko Widodo menyentil tentang kinerja media, khususnya online yang banyak berinsinuasi dalam menyajikan berita.
Presiden bahkan sampai memaparkan contoh-contoh teknis untuk menggambarkan betapa terjadi sajian pemberitaan yang cenderung makin mengentengkan disiplin verifisikasi dan bertendensi dalam pembingkaian sudut pandang. Sentilan itu bermuara pada perilaku bermedia, yang bersimpulan pada penghayatan nilai-nilai. Kegelisahan tentang masalah ini sebenarnya bukan baru sekarang ini mengemuka. Persoalan etika jurnalistik akan menjadi bahasan pada tiap waktu dengan konteks kepentingan dan persambungan zaman masing-masing.
Kalau kembali ke filosofi dasar bahwa tujuan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran dan menggali rasa keadilan, sejatinya UKW dan barcode media hanya melengkapi tanggung jawab yang (seharusnya) melekat otomatis dalam profesi kewartawanan. Namun bias akan selalu ada dalam pekerjaan apa pun. Justru tanggung jawab moral keprofesian membutuhkan pengaturan tentang segi-segi perilaku yang menyangkut kepatutan. Maka, Kode Etik Kewartawanan yang melekat dalam profesi jurnalistik hakikatnya lebih merupakan payung pelindung bagi masyarakat. Idealitanya, menjadi wartawan dan menyelenggarakan perusahaan media bukan hanya untuk kepentingan wartawan dan medianya, melainkan untuk kemaslahatan publik.
Memang tantangan dunia pers dari masa ke masa tak pernah sepi, tetapi guna menanggapi masalah ini harus dilakukan secara proporsional dan lebih bijak. Kembali ke dasar saja: fakta itu suci, opini itu bebas. Melawan hoax, ya dengan menyuguhkan fakta yang sesungguhnya. Jika pers mainstream kalah dengan media penyebar hoax, perlahan-lahan media ini telah mulai kehilangan relevansinya dalam masyarakat.
Pada era digital seperti sekarang, produksi berita bukan hanya berasal dari perusahaan pers. Perorangan yang gandrung dengan media sosial bisa membuat lalu menyebarkan informasi secara luas. Berita palsu pun mudah menyebar, dan naifnya berita itu dianggap sebagai kebenaran. Karena itulah, media massa harus selalu menghadirkan karya-karya jurnalistik yang memperhatikan kode etik, yakni aturan yang bersifat untuk melindungi para jurnalis, bukan sekadar pengendalian.

                                                                                                      ———– *** ————-

Tags: