
Foto Ilustrasi
Lebih separuh budaya di Indonesia berlatar agama. Berbagai perayaan budaya selalu ber-iringan dengan pesan ke-mulia-an moral sesuai ajaran agama. Selama berabad-abad berbagai agama “mengasuh” budaya kearifan lokal.Tak terkecuali seni budaya alat musik (dan seni suara). Pada masa kini perayaan budaya keagamaandapat dijadikan media pencerahan masyarakat. Bahkan manakala ditata, dapat menjadi sumber perekonomian kreatif.
Pelaksanaan budaya keagamaan, dapat pula meningkatkan kegiatan sektor UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Antaralain perayaan hari raya Idul Fitri, Imlek, dan Saraswati. Bahkan pengelolaan dengan profesional dapat menjadikan budaya keagamaan sebagai kalender wisata yang sangat diminati. Misalnya (yang telah kesohor), perayaan “Ogoh-ogoh,” serta “Grebek Suro.”Seluruhnya, secara simbolik selalu meng-gelora-kan pesan keluhuran moral.
Uniknya, pelaksanaan budaya keagamaan selalu diikuti (dan diminati) kalangan antar-umat. Terasa bagai bukan milik satu agama. Seperti terjadi pada perayaan “Grebek Suro” (muslim), diikuti pula umat agama lain. Begitu pula iring-iringanpatung kertas Bhuta Kala, tetap menjadi ikon perayaan “ogoh-ogoh.” Pada perayaan tahun 2017 lalu (tahun saka 1940), sekaligus dijadikan momentum pesan moral masyarakat.
Selain patung kertas raksasa Bhuta-Kala, disampingnya juga terdapat “patung” eskavator (alat berat pengeruk). Di bawah patung bertuliskan, “masyarakat desa adat Legianmenolak reklamasi pantai Benoa.” Nampaknya, ogoh-ogoh masa kini, juga “meng-akomodir” permasalahan sosial yang sedang berkembang. Dus, perayaan budaya keagamaan, tetap menjadi sarana ampuhpenglipur kegelisahan masyarakat.
Perayaan ogoh-ogoh, rutin diselenggarakan sehari sebelum hari raya (umat Hindu) Nyepi. Iring-iringan ogoh-ogoh, memiliki istilah sebagai pengerupukan (penggerebekan dan penangkapan) sifat buruk. Disimbolkan dengan bentuk raksasaBhuta-Kala (kekuatan besar zaman). Karena diyakini, setiap zaman selalu terdapat permasalahan sosial yang cukup besar. Boleh jadi, permasalahan sosial yang menggejala, berupa krisis ekonomi, korupsi, serta terorisme dan peredaran narkoba.
Maka ogoh-ogoh, melambangkan kebersamaan untuk mencari solusi penyelesaian yang dihadapi masyarakat. Patung raksasa Bhuta Kala (yang tertangkap), selanjutnya akan dibakar. Namun pembakaran ruh jahat, mesti di-ikuti laku nyepi. Yakni, mengurangi nafsu ke-dunia-an, menghindari berfoya-foya, dan tidak meng-eksploitasi kekayaan (alam). Harus terdapat “jeda” kesibukan sehar-hari, untuk ber-kontemplasi (mawas diri).
Perayaan ogoh-ogoh, seolah-olah mengalami”penggalian kembali” budaya, sejak tahun 1983. Ketika itu pemerintah telah menetapkan hari raya Nyepi, sebagai hari libur nasional. Saat itu umat Hindu di Bali mulai membuat semacam perwujudan Bhuta-Kala untuk menyambut Nyepi.Dimaksudkan sebagai pengembalian Bhuta-Kala ke asalnya. Sekarang,perayaan ogoh-ogoh menjadi semacam ritual wajib yang dilaksanakan sehari sebelum Nyepi.
Sebagai iringan ritual Nyepi, sebenarnya ogoh-ogoh telah melampaui zaman (ke-emas-an Hindu di Indonesia). Ogoh-ogoh telah menjadi budaya nasional. Bukan hanya di Bali, melainkan juga telah populer di seantero Jawa. Diantaranya di Yogya, Kediri, dan Jombang (Jawa Timur). Peserta ogoh-ogoh, juga bukan hanya umat Hindu, tetapi juga diikuti umat Islam, Kristen, dan Katolik.
Telah terjadi akulturasi budaya bersendi agama. Seperti perayaan Megengan (menjelang puasa Ramadhan). Serta adat Grebek Sura di Ternate. Di Ternate, menandai Tahun Baru Islam (Hijriyah)dijadikan sebagai waktu potong rambut pada mahkota raja. Selain bertabur manik-manik permata dan batu mulia, mahkota raja Ternate juga dilengkapi rambut asli. Uniknya, rambut pada mahkota raja terus tumbuh. Sehingga harus dipotong, setahun sekali pada awal tahun Hijriyah.
Perayaan (pesata) budaya keagamaan, dapat menjadi inspirasi yang mencerahkan kerukunan sosial. Di Indonesia telah terbukti, bahwa antara adat budaya dengan agama, tidak saling “menghunus pedang.” Melainkan selalu rekatberiringan, menjawab tantangan sosial.
——— 000 ———